Jumat, 06 Mei 2011

mudharabah

Sistem Mudharabah (Investasi) dan Hukum-Hukumnya

04 Mei 2008 | Dibaca : 5348 kali | 0 Komentar | Kategori: Hukum - Hukum Perdagangan
Definisi Mudharabah

Mudharabah atau penanaman modal disini artinya adalah menyerahkan modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan. Bentuk usaha ini meli-batkan dua pihak: pihak yang memiliki modal namun tidak bisa berbisnis. Dan kedua, pihak yang pandai berbisnis namun tidak memiliki modal. Melalui usaha ini, keduanya saling melengkapi.
Disyariatkannya Penanaman Modal

Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma' ulama yang membolehkannya.

Diriwayatkan dalam al-Muwaththa' dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia menceritakan, "Abdullah dan Ubaidullah bin Umar bin Al-Khaththab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraq. Ketika mereka kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa al-Asy'ari, yakni gubernur Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata, "Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat kalian, pasti akan kulakukan." Kemudian beliau me-lanjutkan, "Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul Mukminin. Saya me-minjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuatu di Iraq ini, kemudian kalian jual di kota Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil." Mereka berkata, "Kami suka itu." Maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin Al-Khaththab agar Amirul Mukminin itu meng-ambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota Madinah, mereka menjual barang itu dan mendapatkan keun-tungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar lantas bertanya, "Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?" Mereka menjawab, "Tidak." Beliau berkata, "Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia memberi kalian pinjaman? Kembalikan uang itu beserta keun-tungannya." Adapun Abdullah, hanya membungkam saja. Semen-tara Ubaidullah langsung angkat bicara, "Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggung jawab." Umar tetap berkata, "Berikan uang itu semuanya." Abdullah tetap diam, sementara Ubaidullah tetap membantah. Tiba-tiba salah se-orang di antara sahabat Umar berkata, "Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai Umar?" Umar menjawab, "Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal." Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, se-mentara Abdullah dan Ubaidullah mengambil setengah keuntungan sisanya."

Diriwayatkan juga dari al-Alla bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Utsman bin Affan memberinya uang sebagai modal usaha, dan keuntungannya dibagi dua.

Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan perjanjian usaha semacam itu hingga jaman sekarang ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan secara turun temurun hingga jaman Nabi, beliau mengetahui dan membiarkannya.

Satu hal yang logis, bila pengembangan modal dan pening-katan nilainya merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan melalui pemu-taran atau perdagangan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berjual-beli. Dan tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu bisnis penanaman modal ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan keduabelah pihak.

Rukun-rukun Bisnis Investasi

Seperti bentuk usaha yang lain, bisnis penanaman modal ini juga memiliki tiga rukun: Dua atau lebih pelaku, objek transaksi dan pelafalan perjanjian.

Pertama: Dua atau Lebih Pelaku.

Kedua pihak di sini adalah investor dan pengelola modal. Keduanya disyaratkan memiliki kompetensi beraktivitas. Yakni orang yang tidak dalam kondisi bangkrut terlilit hutang. Orang yang bangkrut terlilit hutang, orang yang masih kecil, orang gila, orang ediot, semuanya tidak boleh melaksanakan transaksi ini. Dan bukan merupakan syarat bahwa salah satu pihak atau kedua pihak harus seorang muslim. Boleh saja bekerja sama dalam bisnis penanaman modal ini dengan orang-orang kafir Ahlu Dzimmah (orang kafir yang dilindungi, pent.) atau orang-orang Yahudi dan Nashrani yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti ada-nya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga aktivitas tersebut terbebas dari riba dan berbagai bentuk jual beli yang berdasarkan riba.

Kedua: Objek transaksi.

Objek transaksi dalam penanaman modal ini tidak lain adalah modal, usaha dan keuntungan.

1. Modal

Dalam soal modal ini disyaratkan harus merupakan alat tukar, seperti emas, perak atau uang secara umum. Penanaman modal ini tidak boleh dilakukan dengan menggunakan barang, kecuali bila disepakati untuk menetapkan nilai harganya dengan uang. Sehingga nilainya itulah yang menjadi modal yang digunakan untuk memulai usaha. Dengan dasar itulah hitung-hitungannya dianggap selesai untuk masa kemudian.

Alasan dilarangnya sistem penanaman modal dengan meng-gunakan barang komoditi tersebut karena konsekuensi ketidakje-lasan keuntungan saat pembagian. Karena harga barang itu diketahui dengan perkiraan dan rekaan saja, dan itupun bisa ber-beda-beda dengan perbedaan alat tukar yang digunakan. Ketidak-jelasan itulah yang akhirnya akan menimbulkan kerusakan dan pertikaian. Karena ketika ia mengambil barang, harganya sekian. Dan ketika ia mengembalikannya, harganya sudah berbeda pula. Hal itupun berimbas pada ketidakjelasan keuntungan dan modal.

Boleh saja melakukan penanaman modal dengan hutang yang ada di tangan orang lain, selama orang itu bukan orang yang kesulitan membayarnya, berdasarkan pendapat yang benar dari para ulama.

Dan dibolehkan juga melakukan penanaman modal dengan menggunakan uang titipan, kecuali kalau uang yang dititipkan tersebut sudah dibelanjakan dan berubah menjadi hutang dalam tanggungan yang dititipi, karena pada saat itu ia berubah menjadi penanaman modal dengan hutang. Itu sudah dibahas dalam pem-bahasan sebelum ini, dibolehkan kalau pihak yang berhutang mam-pu membayarnya, namun kalau ia orang yang kesulitan, tidak dibolehkan.

Penambahan atau Penarikan Modal

Investor boleh-boleh saja menambahkan dana segar ke dalam modal yang ditanamkan, dengan syarat ia harus meneliti dahulu modal yang digerakkan oleh pengelola secara nyata dalam bentuk jual beli, dengan menghitung modal baru itu sebagai kesatuan tersendiri, dengan segala konsekuensi untung ruginya.

Dengan dasar ini, tidak ada salahnya memberi tambahan dana segar bila modal pertama belum dioperasikan, seperti halnya bila ia memberikan modal sekian juta secara langsung. Dan boleh juga diberikan setelah modal pertama dioperasikan, kalau modal itu telah kembali menjadi uang kontan sebagaimana adanya tanpa bertambah dan tidak juga berkurang. Bentuk ini sama dengan sebelumnya. Atau modal itu sudah mengalami penambahan atau pengurangan dan sudah diselesaikan hitung-hitungannya. Masing-masing sudah mendapatkan kembali haknya, untung ataupun rugi. Lalu keduanya menjalankan jual beli dengan sistem pena-naman modal baru. Pada saat itu, ia boleh menambahkan modal yang sudah ada sesuka hati.

Namun kalau ia memberikan modal baru setelah dioperasi-kannya modal pertama dengan jual beli, lalu disyaratkan untuk dicampurkan dengan modal pertama, itu tidak sah. Karena konsekuensi terjadinya penambalan kerugian yang satu dengan keuntungan yang lain.

Seorang investor boleh saja menarik sebagian modalnya kembali yang dia tanamkan dan membatalkan kerja sama penana-man modal pada modal yang telah diambilnya. Kemudian kalau itu dilakukan sebelum jelasnya keuntungan dan kerugian usaha, maka bagian yang diambil itu hanya bagian dari modal saja.

Namun kalau itu dilakukan setelah jelas keuntungannya, maka bagian yang diambil itu dianggap sebagai keuntungan seka-ligus modal yang diambil dari total keuntungan dan modal yang ada. Hak dari pengelola tetap diambil dari keuntungan yang sudah disisihkan. Usaha pengelola modal tidak akan mengubah status modal yang telah terkurangi dan keuntungan yang didapat-nya tidak terpengaruh oleh kerugian yang terjadi selanjutnya.

Dan apabila penarikan modal itu dilakukan setelah terlihat kerugian, kerugian itu dibagi-bagikan pada modal yang diambil dan pada modal yang tersisa. Dan kerugian pada bagian yang telah diambil tidak bisa ditutupi, meskipun setelah itu memper-oleh keuntungan.

2. Usaha

Asal dari usaha dalam penanaman modal adalah di bidang perniagaan atau bidang-bidang terkait lainnya. Di antara yang tidak termasuk perniagaan adalah bila pengelola modal mencari keuntungan melalui bidang perindustrian. Bidang perindustrian tidak bisa dijadikan lahan penanaman modal, karena itu adalah usaha berkarakter tertentu yang bisa disewakan. Kalau seseorang menanamkan modal untuk usaha itu, maka penanaman modal itu tidak sah, seperti menanamkan modal pada usaha pemintalan benang yang kemudian ditenun dan dijual hasilnya. Atau untuk usaha penumbukan gandum, lalu setelah menjadi tepung diadoni dan dijual. Demikian seterusnya. Hanya saja kalangan Ham-baliyah berpandangan bahwa penanaman modal semacam itu dibolehkan, yakni dengan cara menyerahkan alat-alat perindus-trian ke sebuah perusahaan industri dengan imbalan sebagian dari keuntungan perusahaan. Hal itu dikiyaskan dengan musaqat dan muzara"ah. Mereka yang membolehkan beralasan bahwa alat itu adalah materi yang dikembangkan melalui usaha, sehingga sah diikat dengan perjanjian usaha dengan imbalan sebagian keun-tungan perusahaan. Seperti modal pohon dalam musaqat dan modal tanah dalam muzara"ah.

Pengelola modal tidak boleh bekerjasama dalam penjualan barang-barang haram berdasarkan kesepakatan ulama. Seperti jual beli bangkai, darah, daging babi, minuman keras, dan jual beli riba atau yang sejenisnya.

Investasi dengan Kriteria Tertentu.

Usaha dengan sistem penanaman modal terkadang bersifat bebas, terkadang memiliki kriteria tertentu. Usaha dengan sistem penanaman modal bebas adalah dengan cara menyerahkan uang kepada pengelola tanpa menentukan jenis, bentuk, tempat dan waktu usaha, juga tanpa menentukan mitra usaha yang diajak bekerjasama.

Adapun penanaman modal dengan kriteria tertentu adalah dengan menentukan salah satu dari faktor tersebut di atas. Pada asalnya, setiap kriteria tertentu bisa disahkan, selama memang bermanfaat sebagaimana yang diriwayatkan bahwa al-Abbas pernah memberikan persyaratan kepada orang yang mengelola dana yang beliau tanamkan: agar tidak boleh dibawa berlayar di lautan, tidak boleh dibawa melewati lembah, tidak untuk dibe-likan benda hidup. Namun kalau kriteria itu tidak berguna, dianggap batal dan dianggap tidak ada.

Parameter untuk menentukan apakah kriteria itu bermanfaat atau tidak adalah hukum kebiasaan. Dan tidak bisa dihalangi bahwa bisa saja terjadi perubahan fatwa dalam persoalan itu ka-rena perubahan jaman dan tempat, selaras dengan perubahan kebiasaan yang ada.

Pembatasan Waktu Penanaman Modal

Tidak ada salahnya membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat ulama yang paling benar, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, dikiyaskan dengan sistem penjaminan pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.

Mempekerjakan Orang Untuk Melakukan Investasi

Boleh-boleh saja seorang pengelola menyewa orang untuk melakukan hal-hal yang tidak harus dikerjakannya sendiri dari usaha itu, seperti menawarkan barang dagangan, memindahkan-nya ke gudang penyimpanan dan sejenisnya. Pembatasan per-soalan ini hanya dikembalikan kepada kebiasaan. Namun selain itu, hendaknya pengelola modal mengurusnya sendiri tanpa menerima bayaran tersendiri.

Pihak pengelola juga bisa menjual barangnya dengan sistem pembayaran tertunda, atau membawa modalnya melakukan per-jalanan dengan hukum dasar transaksi mutak lagi dibatasi dengan kebiasaan dan kemaslahatan saja. Karena kebiasaan dunia niaga dan kepentingan usaha dengan penanaman modal itu meng-haruskan adanya sistem yang lentur dalam persoalan ini.

Melakukan Usaha Berantai dengan Penanaman Modal

Pengelola modal, bila diizinkan oleh pemilik modal atau diserahkan untuk mengurus modal itu dengan pemikirannya sendiri, boleh saja ia menamkan modal itu kembali kepada orang lain. Kalau ia juga ikut andil dalam pengelolaannya, ia juga men-dapatkan bagian keuntungan. Tetapi kalau ia tidak ikut andil dalam usaha, bahkan melepaskan diri dari usaha penanaman modal itu dengan menjadikan dirinya sebagai perantara saja, maka ia tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, kecuali kalau ada kesepakatan bahwa ia mendapatkan upah dengan jumlah tertentu sebagai perantara.

Dan dalam kondisi ia ikut andil dalam usaha dan keun-tungan, apakah diserahkan kepada pemilik modal apa yang telah ia syaratkan berupa keuntungan ia mendapatkan keuntungan dari seluruh modal, atau dari bagian dia sebagai pengelola modal per-tama? Ukurannya adalah kesepakatan yang tegas, atau dikem-balikan kepada lafal yang diucapkan dalam perjanjian antara pemilik dengan pengelola modal. Kalau pemilik modal menga-takan, "Ini modal untuk Anda kelola, keuntungannya nanti bila diberikan oleh Allah, akan dibagi dua di antara kita." Maka pe-ngelola modal kedua bisa mengambil ketetapan serupa, yakni pembagian keuntungan antara dia dengan pengelola pertama. Baru sisanya, dibagikan antara pengelola pertama dengan inves-tor. Namun kalau investor mengatakan, "Keuntungan yang Anda peroleh sebagai rezeki dari Allah, harus dibagikan di antara kita dengan prosentase sekian." Maka pengelola pertama harus me-nyerahkan keuntungan kepada investor kedua dan pemilik modal dari seluruh modal yang ada. Kalau ada yang tersisa setelah diam-bil prosentase keuntungan mereka, baru pengelola pertama bisa mengambil keuntungan. Kalau tidak ada, ia tidak mendapatkan keuntungan apa-apa.

Syirkah dengan Penanaman Modal

Pengelola modal yang telah diberi kekuasaan penuh mengelola modal seseorang, bisa saja mengajak orang lain untuk ber-syirkah dengannya dengan modal tadi, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah. Ia juga boleh mencampurkan modal itu dengan harta pribadinya, kalau secara kebiasaan dibenarkan. Karena banyak di antara mereka yang mengelola modal yang ditanamkan orang lain, yang sebelumnya ia telah melakukan usaha dengan modalnya sendiri di dunia perniagaan. Yang jelas asal pemilik modal mengetahui hal itu dan mengizinkannya. Lain halnya kalau investor justru menunjukkan sikap sebaliknya.

Berhutang Setelah Menerima Investasi Modal

Seorang pengelola modal tidak berhak membeli barang lebih banyak dari modal untuk investasi itu, karena itu berarti ia menambah tanggungjawab pemilik modal tanpa keridhaannya. Kalau itu ia lakukan juga, dan pembelian itu telah dilakukan, maka ia menjadi mitra investor dengan modal tambahan yang harus dia tanggung itu. Namun investasi semula dari investor tidaklah mengalami penambahan.

Pengelola Ganda

Seorang pengelola modal boleh saja menerima investasi tambahan dari investor lain, selama itu tidak mengganggu usaha pengelolaan dana yang dia lakukan terhadap dana investor pertama, dan juga tidak membahayakan investor pertama. Berba-gai Lembaga Keuangan Islam bersandar pada sistem ini pada berbagai pengembangan modal modern yang mereka geluti.

3. Hukum-hukum Keuntungan

a. Syarat-syarat Keuntungan

Keuntungan dalam sistem penanaman modal ini diper-syaratkan sebagai berikut:

* Hendaknya diketahui secara jelas. Hendaknya dalam tran-saksi ditegaskan prosentase tertentu bagi investor dan pengelola modal.

* Keuntungan itu juga dibagikan dengan prosentase yang sifatnya merata, seperti setengah, sepertiga atau seperempat dan sejenisnya. Kalau ditetapkan sejumlah keuntungan pasti bagi salah satu pihak, sementara sisanya untuk pihak lain, maka itu adalah usaha investasi yang tidak sah, tanpa perlu diperdebatkan lagi. Karena bisa jadi keuntungan dari usaha itu hanyalah bagian, sehingga kerja sama itu harus diberhentikan dalam keuntungan yang demikian tanggung sehingga tidak bisa lagi disebut usaha dengan sistem investasi. Dan yang lebih rusak lagi dari ini adalah apabila pemilik memberikan syarat prosentase tertentu dari mo-dalnya yang tidak terkait dengan usaha penanaman modal ini. Karena itu berarti mengkompromikan antara usaha melalui sistem penanaman modal ini dengan usaha berbasis riba. Ibnul Mundzir menyatakan, "Banyak kalangan ulama yang kami kenal betul yang bersepakat bahwa penanaman modal itu dianggap batal kalau salah seorang di antara kedua belah pihak atau kedua-duanya menetapkan prosentase tertentu dirinya untuk tidak diputar dalam usaha."

b. Kode Etik Pembagian Hasil Keuntungan

Ada sejumlah kode etik dalam sistem pembagian keun-tungan dalam usaha berbasis penanaman modal ini yang kami ringkaskan sebagai berikut:

* Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung oleh pemilik modal saja. Pembagian keuntungan itu antara dua belah pihak yang terlibat usaha dengan penanaman modal itu adalah berdasarkan kesepakatan mereka berdua. Namun hanya pemilik modal saja yang menanggung kerugian. Pengelola modal hanya mengalami kerugian kehilangan tenaga. Alasannya, karena kerugian itu adalah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya modal, dan itu adalah persoalan pemilik modal, pengelola tidak memilik kekuasaan dalam hal itu, sehingga kekurangan modal hanya ditanggung oleh pemilik modal saja, tidak oleh pihak lain.

* Keuntungan Dijadikan Sebagai Cadangan Modal, artinya, pengelola tidak berhak menerima keuntungan sebelum ia menyerahkan kembali modal yang ada. Karena keun-tungan itu adalah kelebihan dari modal. Kalau belum menjadi tambahan, maka tidak disebut keuntungan. Kalau ada keun-tungan di satu sisi dan kerugian atau kerusakan di sisi lain, maka kerugian atau kerusakan itu harus ditutupi terlebih dahulu de-ngan keuntungan yang ada, kemudian yang tersisa dibagi-bagikan berdua sesuai dengan kesepakatan.

* Pengelola tidak boleh mengambil keuntungan sebelum masa pembagian. Pengelola sudah berhak atas bagian keuntungan dengan semata-mata terlihatnya keuntungan tersebut. Akan tetapi hak tersebut tertahan sampai adanya pembagian di akhir masa perjan-jian. Oleh sebab itu tidak ada hak bagi pengelola modal untuk mengambil bagiannya dari keuntungan yang ada kecuali dengan pembagian resmi akhir itu. Dan pembagian itu hanya dengan izin dari pemilik modal atau dengan kehadirannya. Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dalam persoalan ini.

Alasan tidak dibolehkannya pengelola modal mengambil bagiannya dari keuntungan kecuali setelah masa pembagian adalah sebagai berikut:

o Bisa jadi terjadi kerugian setelah itu, sehingga keuntungan itu digunakan untuk menutupinya, sebagaimana telah dijelaskan fungsi keuntungan itu sebagai cadangan modal. Sehingga bukan hanya dengan pembagian saja hak masing-masing dari kedua belah pihak terjaga.

o Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola, sehingga tidak ada hak baginya untuk mengambil bagian keuntungannya tanpa izin dari mitra usahanya itu atau tanpa kehadirannya.

* Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.

Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjan-jian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.

Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:

* Pertama: Perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan me-nyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.

* Kedua: Perhitungan akhir terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.

Boleh saja melakukan pembagian awal keuntungan sebelum dipisahkan tanpa merusak keberadaan keuntungan itu sebagai cadangan modal.

Meskipun hak kepemilikan terhadap keuntungan kedua belah pihak hanya bisa dipermanenkan melalui perhitungan akhir seperti telah dijelaskan sebelumnya, tetapi bisa saja mereka saling menyepakati pembagian keuntungan awal yang tetap akan tunduk kepada hasil perhitungan akhir nanti. Yakni kalau terjadi kerugian setelah itu, harus ditutupi dengan keuntungan yang telah dibagikan. Kalangan Ahli Fiqih Hanafiyah dan Hamba-liyah membolehkan cara itu.

Dana Operasional Pengelola

Pengelola bisa mengambil dana operasional untuk dirinya dari modal usaha bila ia dalam perjalanan, sesuai dengan kebiasaan dunia dagang. Yakni kalau pengelola melakukan satu perjalanan untuk keperluan usaha bersama itu, ia boleh meng-gunakan dana usaha untuk semua keperluannya selama ia dalam perjalanan dan selama ia tinggal di daerah orang hingga kembali ke daerahnya. Adapun bila ia bermukin di daerah atau kotanya sendiri, ia tidak berhak mendapatkan nafkah dari dana usaha tersebut. Karena tinggalnya ia di negerinya, bukanlah untuk tujuan mencari keuntungan, karena sebelumnya ia juga tinggal di daerahnya tersebut. Pembedaan antara saat bepergian dengan saat tinggal di kampung halaman adalah pendapat yang dipilih oleh kalangan Hanafiyah dan Malikiyah.

Tanggungjawab Pengelola Terhadap Modal Investasi

Tidak ada tanggungjawab bagi pengelola terhadap modal usaha kecuali karena keteledoran atau pelanggaran, sama dengan tanggungjawab orang-orang yang diamanahi sesuatu. Sama sekali tidak bisa digunakan segala bentuk trik manipulatif untuk meng-gugurkan hukum ini. Karena merusak kode etik ini dapat meng-giring usaha ini kepada bentuk jual beli berasas riba.

Kalau pemilik modal menetapkan syarat bagi pengelola modalnya untuk bertanggung jawab terhadap modal yang dike-lolanya, atau pengurangan keuntungan, maka syarat tersebut adalah batil. Akan tetapi apakah kerusakan itu akan terus membias kepa-da dasar perjanjian? Masih ada perbedaan pendapat Ahli Fiqih. Kemungkinan pendapat yang benar adalah bahwa perjanjian tetap sah, meski syaratnya rusak. Artinya, syarat itu tidak berlaku, tetapi perjanjian itu tetap berjalan. Para ulama Hanafiyah telah menegaskan hal itu, demikian juga kalangan Hambaliyah.

Berakhirnya Usaha Berbasis Isvestasi

Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena keharusan itu bukan bagian konsekuensi perjanjian usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan perjanjian kapan saja dia menghendaki. Hanya saja perjanjian ini wajib dilaksanakan bila sudah dimulai usahanya, menurut yang paling benar dari dua pendapat ulama yang ada. Artinya, kalau penge-lola telah memulai usahanya, berarti penanaman modal itu wajib terus berlangsung dan pemilik modal tidak bisa mengambil modalnya kembali, yakni sampai modal itu kembali menjadi uang kontan, yakni sebagaimana sebelumnya. Modal itu tidak bisa ditarik ketika usaha sedang berjalan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya yang timbul karena pemutusan hubungan kerja secara tiba-tiba, padahal usaha sedang berjalan. Pendapat ini diambil oleh kalangan Malikiyah.

Perjanjian usaha investatif ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak pelaku perjanjian, atau karena ia gila atau idiot. Kecuali kalau itu terjadi setelah usaha berlangsung, kalau mengacu kepada pendapat Malikiyah yang menyatakan bahwa perjanjian berjalan dengan berjalannya usaha, maka perjan-jian itu tidak berhenti. Ahli warisnya atau walinya bisa melanjutkan perjanjian tersebut sesuai dengan kesepakatan terhadap pendahu-lunya atau orang yang memberi kuasa kepadanya sebelumnya.

Cara Memfungsikan Usaha Berbasis Investasi dalam Dunia Perbankan

Perbankan Islam modern telah memanfaatkan jasa bentuk usaha ini dan menjadikannya sebagai pendongkrak kemajuan ber-bagai proyek pengembangan modal dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Telah kita paparkan sebelumnya, bahwa mudharabah atau usaha investasif ini dilakukan dengan adanya dua pihak yang terlibat: pertama pihak yang memiliki modal dan kedua pihak yang melakukan usaha. Pihak pertama disebut investor dan pihak kedua disebut pengelola modal.

Ini adalah realita yang jelas dalam berbagai bentuk aplikasi usaha berbasis penanaman modal ini: baik yang bersifat umum atau yang memiliki kriteria tertentu, baik yang bersifat modal lama atau yang modern, dan baik yang melibatkan dua pihak, atau kerja sama kolektif.

Kalau rumus ini kita terapkan dalam lingkaran berbagai aktivitas perbankan, kita harus mengenali terlebih dahulu karak-ter pemilik modal dan pengelolanya sehingga kita bisa mengenal seluruh pihak terkait dengan perjanjian pengelolaan modal ter-sebut. Itu baru awal dari sebuah perjalanan.

Tidak syak bahwa orang-orang yang memiliki titipan dan simpanan di berbagai bank adalah pihak yang menjalankan peranan pemilik modal dalam konteks ini.

Sementara pengelola modalnya teraplikasikan pada pihak bank yang menerima berbagai dana titipan dan simpanan tersebut untuk disalurkan ke berbagai usaha pengembangan modal yang bermacam-macam. Setelah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian yang lazim terhadap setiap proyek pengelolaan dana yang akan digeluti. Kemudian bekerja keras siang malam meng-urus dan memonitor perkembangan usaha tersebut hingga sampai pada perhitungan akhir. Pihak bank memainkan peranan sebagai manager dalam pengelolaan dan pengembangan modal untuk disalurkan ke berbagai lokasi pengembangan modal.

Kalau pihak bank mau menambahkan modal itu dengan dana bank pribadi bank tersebut pada modal simpanan dan titipan yang ada padanya, lalu seluruh modal yang terkumpul diserah-kan pada berbagai proyek pengembangan modal yang bermacam-macam bentuknya, sebagai pengelola modal sekaligus mitra bisnis. Sebagai pengelola modal bagi dana orang lain dan sebagai mitra bisnis dengan modal yang dimilikinya sendiri sebagai modal usaha. Dalam pembahasan tentang usaha berbasis investasi, penulis memilih bahwa aplikasi usaha semacam ini adalah boleh.

Adapun berhubungan dengan sejumlah orang pengembang modal yang mendatangi pihak bank mengajukan proposal untuk pendanaan proyek-proyek mereka, atau untuk bekerjasama de-ngan mereka dalam proyek-proyek tersebut. Sesungguhnya birokrasi mereka dengan pihak pihak bank berbeda-beda, tergan-tung dengan bentuk pengembangan modal yang ditawarkan kepada mereka.

Terkadang peran mereka hanya sebatas sebagai partner modal dalam sebuah usaha investasif, yakni apabila pihak bank membiayai semua kebutuhan usaha secara lengkap, sehingga me-reka hanya melakukan tugas usaha dan administrasinya saja. Pada saat itu, pihak bank menjadi pemilik modal dari usaha mereka.

Terkadang mereka menggabungkan tugas sebagai pemilik sekaligus pengelola modal, kalau pihak bank hanya menyediakan sebagian modal yang dibutuhkan oleh proyek. Dengan modal yang mereka miliki, mereka menjadi mitra pihak bank. Dan dengan usaha yang mereka lakukan, mereka menjadi pengelola modal.

Terkadang mereka juga bisa berfungsi hanya sebagai pekerja bayaran atau pegawai, kalau kita misalkan pihak bank-lah yang bekerja mendirikan proyek tertentu dan mengikat perjanjian dengan mereka gaji yang ditentukan.

Bisa juga mereka tampil hanya sebagai peminjam uang, kalau karena satu hal atau karena alasan tertentu pihak bank tidak bisa memberikan pinjaman lunak (tak berbunga). Hal itu tentu saja sesuai dengan sistem managerial bank tersebut.

Terkadang di antara mereka ada yang hanya menjadi semacam pembeli. Misalnya pihak bank menjual semacam barang dengan penjualan langsung atau dengan sistem pembayaran ter-tunda, dalam arti pihak bank memberikan penjualan kepada mereka dengan bentuk barang untuk dibayar secara tertunda.

Dengan demikian, model hubungan pihak bank dilihat dari kedudukan bank sebagai investor menghadapi para pengelola modal, berbeda-beda sesuai dengan karakter usaha yang mengi-kat kedua belah pihak. Terkadang dalam bentuk usaha berbasis investasi, atau syirkah, jual beli saling menguntungkan atau dengan pembayaran tertunda, serta berbagai bentuk hubungan lainnya. Adapun hubungan bank dengan para nasabah yang me-nitipkan uang kepada mereka adalah atas dasar perjanjian usaha berbasis investasi dari mereka. Itulah yang menjadi bentuk usaha dasar dalam dunia pengembangan modal perbankan. Sementara birokrasi hubungan pihak bank sendiri dengan kalangan penge-lola modal tergantung pada situasi dan kondisi.

Sebagian peneliti hukum lebih cenderung menganggap hu-bungan pihak bank dengan para nasabah yang menitipkan modal kepada mereka berdasarkan penjaminan, dalam arti bahwa pihak bank mewakili para nasabahnya dalam perekrutan dana, pengum-pulan dan pencarian lubang-lubang bisnis pengembangan modal yang sesuai untuk menginvestasikan dana-dana tersebut. Baru kemudian pihak bank yang memonitor dan mengkalkulasikan segalanya, sebagai ganti dari sistem upah tetap dengan jumlah tertentu.

Sebenarnya, hubungan semacam itu tampak lebih relevan dengan dunia jasa perbankan yang hanya sebatas penyediaan fasilitas dengan upah tertentu. Adapun dalam bidang pengem-bangan modal, sepantasnya bagi pihak bank dan pihak penitip modal untuk menyempurnakan kerja sama di antara mereka di atas dasar usaha investatif. Karena pekerja itu harus diberikan gaji secara tetap. Hal itu tentu saja melipatgandakan dorongan untuk melakukan berbagai kreasi baru. Lain halnya dengan mitra usaha atau pengelola modal yang berpandangan bahwa kepentingannya dengan kepentingan pemilik modal itu tidak dapat dipisahkan, bahwasanya tidak ada jalan memperoleh keuntungan dan hasil selain dengan menjalankan proyek dan merealisasikan semua targetnya. Kalau tidak, usahanya akan gagal. Dalam hal ini tidak perlu dikorbankan ruh keikhlasan dan tidak perlu membuang percuma segala potensi dan kreasi yang dimiliki.

Kesimpulannya, hendaknya pihak bank yang melakukan usaha investasif berperan sebagai pengelola di hadapan para nasa-bah yang menitipkan dana kepada mereka. Sementara ben-tuk hubungannya dengan para pengelola modal tergantung pada kon-disi. Bisa jadi ia akan menjadi sesama pemilik modal atau sebagai mitra usaha mengelola modal, sebagai penjual atau sebagai pemberi pinjaman, tergantung dengan karakter perjanjian usaha yang mengikat kedua belah pihak.

Bentuk kerja sama ini diikat dengan beberapa kaidah be-rikut:

* Tidak adanya tanggungjawab pihak pengelola modal terhadap usaha investatif ini kecuali karena faktor keteledoran atau faktor pelanggaran. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara usaha investatif melalui jasa perbankan atau usaha-usaha inves-tatif lainnya.

* Masalah pertanggungjawaban di berbagai bank-bank Islam tidak akan dapat diselesaikan selain dengan membangun keimanan yang bisa mengarahkan orang untuk tetap konsekuen menjaga keseimbangan kehidupan manusia. Kemudian ditambah dengan memberikan perhatian maksimal dalam mempelajari berbagai sistem pengembangan modal yang digeluti oleh berbagai bank Islam dengan tetap memantau sistematika sub diskripsi dan letak geografis berbagai proyek tujuan serta berbagai bentuk hubungan lazim lainnya yang dikenal orang sebagai berada di bawah pertanggungjawaban pihak bank.

* Tidak perlu memperhatikan upaya yang dilakukan kalangan kontemporer yang memaksa pihak bank bertanggungjawab dalam transaksi ini. Itu disebabkan lemahnya dasar-dasar ilmu fiqih mereka ketika mengemukakan berbagai upaya tersebut. Belum lagi bahwa upaya mereka itu bertentangan dengan ijma' Ahli Fiqih.

* Tidak boleh menetapkan prosentase tertentu dari modal yang ada dalam sebuah usaha investasif. Kalau ketetapan itu diambil, maka perjanjian dianggap batal.

* Dibolehkan membagikan keuntungan pada setengah pu-taran dengan terus menjalankan usaha. Bisa jadi keuntungan itu akan bersifat permanen, kalau masing-masing dari putaran itu dianggap sebagai perjanjian tersendiri dengan kalkulasi dan pen-danaan tersendiri pula. Kemudian bila investor mau menarik modalnya dibolehkan, dan dibolehkan juga untuk dikembangkan kembali dengan perjanjian baru.

* Keuntungan dibagi-bagikan pada semua dana yang dititip-kan secara keseluruhan meskipun sebagian dari dana kadang tidak tergunakan secara langsung dalam pengelolaan modal. Karena hak dalam perjanjian kerja sama tergantung pada perjanjiannya, bukan pada modalnya. Jadi tidak tergantung pada penggunaan dana, namun disesuaikan dengan kesepakatan untuk mengkhu-suskan penggunaan dana tersebut dalam kepentingan syirkah.

* Kerja tahunan perbankan itu hendaknya dibagi menjadi beberapa masa putaran yang saling beruntun. Masing-masing masa putaran membentuk sebuah usaha investatif tersendiri dengan kalkulasi keuntungan dan kerugian tersendiri. Pihak bank hendaknya memperbanyak masa putaran itu agar semakin ba-nyak kesempatan bertubi-tubi para pengelola modal yang terbuka di depan mata mereka untuk mengembangkan dana mereka, sehingga bisa ikut andil dalam proyek mana saja yang mereka kehendaki. Tanpa mereka harus beralih kepada bentuk usaha investatif lain setelah memulai bekerjasama dengan proyek tersebut, atau terpaksa menunggu lama tanpa ada proses pengem-bangan modal yang diinginkan.

* Keuntungan dibagi-bagikan pada semua dana titipan de-ngan cara yang lazim. Kalau masing-masing dana yang ada jumlahnya itu jumlahnya sama maka tentu keuntungan dibagikan dengan sama rata. Kalau tidak sama, dibagikan secara prosentasif berdasarkan jumlah dana masing-masing. Sehingga tidak perlu lagi mengadopsi aturan "siapa kuat siapa menang" seperti adopsi yang dilakukan berbagai bank Islam dari berbagai bank berbasis riba, untuk menyelesaikan problematika dana-dana yang tidak seimbang waktu penarikannya. Karena dengan sistem pemutaran dana itu batas penarikan dana nasabah menjadi satu.

Akhirnya, sistem usaha investatif dengan ilmu dan keya-kinan dalam memahami hukum-hukumnya dapat memuaskan kebutuhan usaha-usaha perbankkan dengan segala macam cabang-cabang dan pihak yang terkait serta intensitas kerjanya yang nyaris tidak pernah berhenti.

Kiat Memfungsikan Sistem Investasi Kolektif Secara Umum

Berbagai bank Islam telah banyak memberikan manfaat melalui sistem perjanjian usaha semacam ini. Oleh sebab itu, se-baiknya perusahan-perusahaan pengembangan modal Islam juga berperan serta memfungsikannya. Misalnya dengan menerima titipan dana dari para investor dengan perhitungan mereka seba-gai pemilik dana, kemudian menghidupkan dana-dana tersebut dalam berbagai proyek pengembangan dana di sektor pertanian, perindustrian dan perniagaan, dengan berfungsi sebagai penge-lola atau mitra pengelola. Bila Allah memberikan rezeki keun-tungan kepada mereka, dibagi-bagi di antara mereka dengan para pemilik modal berdasarkan kesepakatan. Ini yang disebut sebagai pengembangan dana langsung.

Pihak perusahaan juga bisa mengulang kembali usaha investatif ini dengan dana yang ada dengan menyerahkannya kepada orang-orang yang memiliki skill dan kemampuan menge-lola proyek-proyek tertentu, akan tetapi mereka membutuhkan modal untuk mendanani semua proyek mereka. Dengan cara itu, karakter perusahaan ini menjadi ganda.

Di hadapan para penitip modal pertama, perusahaan ini berperan sebagai pengelola dana atau mitra usaha investatif.

Sementara di hadapan orang-orang yang qualified yang me-reka serahkan dana untuk diputar, mereka berperan sebagai pemilik modal atau sebagai orang yang diberi hak kuasa, bila terjadi kesepakatan di atas akad wikalah ma’jurah (pemegang kuasa yang di upah) investor untuk membayar mereka sebagai peme-gang hak kuasa dana.

Pemikiran inilah yang menjadi batu pertama dalam mem-bangun berbagai bank Islam modern, sebagaimana telah dijelas-kan sebelumnya.

Cara Pembagian Keuntungan Terhadap Dana yang Ber-beda-beda Waktu Penggunaannya Sebagai Modal Usaha

Sehubungan dengan pengelolaan dana kolektif ada proble-matika dalam sistem pembagian keuntungan terhadap dana-dana yang berbeda-beda waktu penggunaannya sebagai modal usaha. Karena usaha tersebut dilakukan dengan mencampurkan aku-mulasi dana yang masuk secara beruntun, yang dana-dana itu tidak terkumpulkan secara bersamaan pada awal usaha. Untuk menyelesaikan problematika ini, bisa dilakukan dengan salah satu dari dua cara:

* Pertama: Dengan sistem beberapa kali masa pemutaran dana, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

* Kedua: Dilakukan hukum rimba, yakni dengan cara memberikan keuntungan pada dana-dana itu sesuai dengan masa mendekamnya dana-dana itu untuk digunakan sebagai modal usaha pengembangan dana. Uang titipan yang mendekam selama setahun misalnya, bisa memperolah keuntungan sempurna. Se-mentara yang hanya mendekam setengah tahun, mendapatkan setengah keuntungan. Dan yang mendekam selama tiga bulan, hanya mendapatkan seperempat keuntungan. Demikian seterusnya.


Di antara yang layak diingat sehubungan dengan peraturan terakhir ini, bahwa sistem ini masih diperdebatkan, karena me-ngandung unsur manipulasi. Karena bisa jadi uang yang datang belakangan itu berfungsi menutup kerugian, atau memperoleh keuntungan dari fase di mana dana itu belum berfungsi sebagai modal.

Beberapa Catatan Untuk Diingat

Ketika mencanangkan sebuah usaha pengembangan modal kolektif berdasarkan perjanjian usaha seperti di atas, harus meng-hindari beberapa hal berikut:

* Menetapkan keuntungan dengan prosentase yang tetap dari modal yang ada, atau jumlah mati. Hal itu berdasarkan ijma" ulama persyaratan atau ketetapan itu adalah batil.

* Meminta pertanggungjawaban pengelola tanpa adanya keteledoran atau pelanggaran. Itu juga berdasarkan ijma" posisi pengelola dana terhadap dana yang dikelolanya, seperti posisi orang yang dititipkan amanah. Ia tidak bertanggung jawab menggantinya kecuali bila melakukan keteledoran atau pelanggaran.


Satu hal lagi yang perlu diingatkan, bahwa berbagai upaya yang bermacam-macam telah dilakukan pada masa sekarang ini untuk melegalisasikan dua hal terlarang di atas. Semua upaya tersebut tak lepas dari cacat. Upaya untuk mencari keringanan pada dua hal ini atau pada salah satu di antaranya bisa meng-alihkan perjanjian tersebut dari bentuk usaha investatif, kepada bentuk simpan pinjam. Sementara kelebihan yang diperoleh teralihkan dari lingkaran keuntungan kepada bentuk riba yang diharamkan, sehingga menghancurkan persyaratan perjanjian ini dari dasarnya.

KESIMPULAN:

Hukum-hukum Tentang Syarikat


Syirkah dalam terminologi Ahli Fiqih berarti aliansi dalam kepemilikan atau dalam beraktivitas. Syirkah disyariatkan menu-rut ijma' para ulama kaum muslimin.

Syirkah ada dua macam: Syirkah kepemilikan dan syirkah transaksional.

Sementara syirkah transaksional terbagi menjadi: Syirkah 'inan, syirkah abdan (usaha), syirkah wujuh (prestigal), syirkah mufa-wadhah (komprehensif) dan syirkah mudharabah (usaha investatif).

Syirkah "inan adalah aliansi dalam modal, usaha dan keun-tungan. Syirkah seperti ini secara konsensus dibolehkan. Meskipun terdapat perbedaan pendapat pada beberapa bentuk aplikasinya.

Rukun-rukun syirkah ini ada tiga:

1. Dua pihak transaktor yang memiliki kompetensi beraktivitas. Boleh dilakukan bersama non muslim, asal dia tidak dibi-arkan mengoperasikan modal sendirian, karena khawatir akan memasuki berbagai bentuk usaha yang diharamkan.

2. Objek transaksi, yakni modal, usaha dan keuntungan. Modal syaratnya harus diketahui dan harus ada ketika dilakukan transaksi pembelian, tidak boleh berupa hutang di tangan orang yang kesulitan membayarnya. Sementara berkaitan dengan usaha, masing-masing dari transaktor bebas beroperasi sesuai dengan kebiasaan di kalangan para pedagang. Masing-masing juga bisa menyerahkan tugasnya kepada pihak lain. Adapun tentang keuntungan, syaratnya harus diketahui prosentasenya. Harus me-rupakan bentuk prosentase yang umum. Kalau ada bagian yang diperuntukkan secara khusus bagi salah satu pihak tanpa melalui proses pemutaran dana, perjanjian tersebut rusak.

3. Pelafalan perjanjian. Yakni yang disebut ijab qabul. Pelafalan ini dapat dilakukan dengan segala cara yang dapat mengindi-kasikan kearah terlaksananya perjanjian, baik berupa ucapan maupun tindakan.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan bahwa keuntungan itu harus berdasarkan jumlah modal. Bisa saja di dibeda-bedakan. Karena keuntungan itu bisa didapat berdasarkan modal, bisa juga berdasarkan usaha. Sementara usaha yang dilakukan masing-masing pihak berbeda-beda.

Asal dari syirkah ini adalah dibolehkan. Syirkah itu berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Namun syirkah itu secara otomatis berlangsung dengan berjalannya usaha, menurut pendapat ulama yang paling kuat. Itu terus berlangung sampai hingga modal habis diputar dan kembali menjadi uang kontan seperti sebelumnya. syirkah juga berakhir dengan meninggalnya salah seorang transaktor, karena dia gila atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang.

Namun syirkah tidak menjadi batal dengan habisnya salah satu dari dua modal yang ada setelah keduanya dicampurkan. Namun kalau harta itu hangus sebelum dicampurkan, berarti syirkah batal.

Di antara bentuk aplikasi bentuk usaha syirkah dalam berba-gai bentuk pengembangan modal kolektif adalah syirkah permanen, syirkah berdasarkan proyek tertentu dan syirkah non permanen yang pada akhirnya menjadi hak milik penuh pengelola.

Syirkatul Abdan (Syirkah Usaha)

Yakni aliansi dua pihak atau lebih dalam segala usaha yang dilakukan oleh tangan mereka, seperti kerjasama yang dilakukan oleh para ahli keterampilan usaha dan sejenisnya. Mayoritas ulama membolehkan syirkah semacam itu. Namun Imam Syafi'i melarangnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang disyaratkannya kesamaan usaha dalam syirkah ini. Kalangan Malikiyah dan Hambaliyah dalam salah satu riwayat dari mereka memberla-kukan syarat itu. Namun kalangan Hanafiyah dan juga kalangan Hambaliyah dalam riwayat lain menentang pendapat itu.

Keuntungan dalam syirkah semacam ini berdasarkan kesepa-katan orang-orang yang beraliansi di dalamnya, disamakan atau dibeda-bedakan. Dasar aliansi para transaktor dalam keuntungan pada syirkah ini adalah jaminan masing-masing kepada yang lain. Maka seluruh orang yang terlibat kerjasama dalam syirkah ini berada dalam satu hak. Setiap usaha yang dilakukan oleh salah seorang di antara mereka adalah di bawah jaminan pihak lain.

syirkah ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian, atau karena dia meninggal dunia, gila atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang.

Syirkatul Wujuh (Syirkah Prestigal)

Yakni aliansi yang dilakukan dua pihak atau lebih untuk membeli barang dagangan dengan modal nama baik mereka secara berhutang, lalu bila ada keuntungan dibagi secara bersama.

Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukum syirkah ini. Kalangan Hanafiyah membolehkannya demikian juga kalangan Hambaliyah. Namun kalangan Syafi'iyah dan Malikiyah melarang sebagian bentuknya.

Syirkatul Mufawadhah

Yakni syirkah di mana seluruh yang terlibat dalam syirkah ini memiliki kesamaan modal, aktivitas dan bahkan hutang piutang dari awal syirkah hingga akhir. Ini merupakan bentuk kerja sama komprehensif di mana seluruh pihak bersepakat untuk bersekutu dalam segala sesuatu. Bahkan masing-masing menyerahkan kepa-da pihak lain untuk melakukan segala bentuk aktivitas yang wajib dilakukan pihak lain.

Para ulama Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang disyariat-kannya syirkah ini. Mayoritas ulama membolehkannya, namun kembali Imam Syafi'i 5 melarangnya.

Alasan yang diambil oleh Imam Syafi'i untuk melarangnya adalah bahwa karena syirkah ini mengandung unsur penjaminan terhadap yang tidak diketahui dan juga jaminan terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Keduanya adalah perjanjian rusak, bila ditinjau secara terpisah, bagaimana lagi bila keduanya dilakukan secara bersamaan?

Alasan beliau itu dibantah dengan pernyataan bahwa keti-daktahuan tersebut karena terjadi sebagai konsekuensi logis. Satu tindakan terkadang dianggap tidak sah kalau dijadikan tujuan, tetapi diangap sah bila hanya sebagai konsekuensi.

Sementara kalangan Hambaliyah menetapkan syarat dibo-lehkannya syirkah ini bila tidak dimasukkan ke dalamnya usaha sampingan dan denda-denda. Kalau keduanya dimasukkan, ber-arti kerja sama batal, karena mengandung unsur penipuan.

Adapun kalangan Hanafiyah memberikan persyaratan ada-nya kesamaan dalam modal, usaha dan keuntungan serta hutang piutang. Pada umumnya syirkah ini dilakukan dalam berbagai bentuk perniagaan, harus diimplementasikan melalui pelafalan sebagai syirkah Mufawadhah. Kalau syarat-syarat atau sebagai syarat-syarat Syirkah Mufawadhah ini tidak terpenuhi, maka menurut para ulama, syirkah ini berubah menjadi Syirkah 'Inan.

Para ulama Ahli Fiqih telah bersepakat bahwa tanggungan kerugian selalu identik dengan jumlah modal dalam segala bentuk syirkah. Namun dalam soal keuntungan, mereka berbeda pendapat apakah harus disesuaikan dengan jumlah modal atau berdasarkan kesepakatan, harus disamakan atau dibeda-bedakan.

Syirkatul Mudharabah (Kerjasama Usaha Investatif)

Mudharabah adalah penyerahkan modal kepada orang yang terbiasa berdagang dengan memberikan sebagian keuntungan kepada pedagang itu. Kerja sama ini dibolehkan berdasarkan ijma’ ulama kaum muslimin.

Rukun-rukun kerja sama ini ada tiga: Dua pihak transaktor, objek transaksi dan pelafalan perjanjian.

Dua transaktor seperti biasa disyaratkan harus memiliki kompetensi beraktivitas. Boleh saja bekerja sama dengan non muslim, dengan syarat harus terus dimonitor pengelolaan dana-nya agar tetap terjaga kehalalannya.

Sementara objek transaksi disyaratkan harus berupa alat tukar –emas, perak dan uang--. Dibolehkan menanamkan modal dengan hutang yang berada di tangan orang yang mampu memba-yarnya dan tentu saja mengakui bahwa dirinya memang berhutang, menurut pendapat yang benar dari kalangan ulama. Dibolehkan juga menanamkan modal dengan menggunakan uang titipan, kecuali kalau uang titipan tersebut sudah dibelanjakan, sehingga hukumnya menjadi modal berupa hutang. Investor juga bisa menambahkan dana segar pada modal yang ada, namun harus ditinjau sebagai modal terpisah dengan keuntungan dan kerugian tersendiri. Boleh juga menarik sebagian modal, yang berarti transaksi terhadap modal yang sudah ditarik menjadi batal. Namun hak investor terhadap modal yang tersisa tetap ada. Ketika terjadi kerugian, kerugian itu bagi-bagikan pada modal yang sudah tertarik dan yang tersisa.

Sementara dalam usaha investasi ini disyaratkan hendaknya modal diputar dalam dunia niaga dan bidang-bidang terkait. Ka-langan Hambaliyah membolehkan penyerahan modal itu kepada para industriawan dalam bentuk alat-alat produksi dengan meng-ambil keuntungan dari sebagian hasilnya, dikiyaskan atau diana-logikan dengan muzara"ah (usaha investatif pertanian) dan musaqat (usaha penyiraman perkebunan). Pengelola modal tidak dibo-lehkan mengembangkan modal dengan menjual barang-barang haram, para ulama bersepakat dalam hal ini. Boleh juga mela-kukan usaha investasif dengan kriteria tertentu, selama kriteria tersebut berguna dan dikembalikan kepada kebiasaan yang ada. Memberi batasan waktu pada usaha ini juga dibolehkan menurut pendapat ulama yang benar, sebagaimana pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah. Pengelola juga bisa menyewa orang untuk melaksanakan berbagai tugas pengelolaan yang memang tidak harus dikerjakanannya sendiri menurut kebiasaan. Bahkan pengelola bisa melakukan usaha investasi lain dengan pengelola lain menggunakan modal yang sama, kalau ia diizinkan oleh pemilik modal atau diberikan hak penuh untuk mengelola modal-nya sesuka hati. Pengelola juga bisa menggunakan modal tersebut untuk mengajak kerja sama pengelola lain. Namun pengelola tidak dibolehkan untuk berhutang dalam melakukan usaha, kecuali bila diizinkan oleh investor, karena tindakan itu menambah tanggung jawab pada diri investor tanpa keridhaannya. Kalau itu dilakukan, berarti jual beli itu menjadi jual beli pengelola sendiri, dan ia menjadi mitra investor, selama itu tidak mengganggu akti-vitas pengelolaan modalnya bersama investor.

Keuntungan usaha investatif ini harus diketahui secara jelas, harus berupa prosentase yang umum. Kalau salah seorang diten-tukan mendapatkan bagian tetap (yang tidak diputar), maka perjanjian itu batal.

Sehubungan dengan keuntungan dalam usaha investatif ini, pembagiannya harus memenuhi beberapa kode etik berikut:

Keuntungan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sementara kerugian hanya ditanggung oleh investor saja.

Keuntungan dalam usaha investatif juga sebagai cadangan modal. Pengelola tidak mendapatkan keuntungan sebelum ia me-nerima kembali modal secara utuh. Pengelola hanya bisa mengambil keuntungan melalui pem-bagian.

Hak kepemilikan keuntungan hanya menjadi permanen bagi masing-masing pihak setelah dilakukan perhitungan akhir, baik secara aplikatif maupun kalkulatif.

Boleh dilakukan pembagian keuntungan awal, namun nan-tinya dihitung pada perhitungan akhir.

Pengelola boleh mengambil bagian dari uang modal sebagai biaya perjalanannya melakukan bisnis, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang.

Tidak ada pertanggungjawaban bagi pengelola dalam perjan-jian ini selain karena keteledoran atau pelanggaran. Tidak perlu diperhatikan adanya berbagai trik kamuflase untuk membatalkan dasar hukum ini.

Perjanjian usaha investatif ini berakhir dengan mening-galnya salah satu transaktor atau karena dia gila, atau tercekal karena bangkrut terlilit hutang. Bisa juga karena pembatalan salah satu pihak, hanya saja usaha itu tetap berlangsung bila telah di-mulai menurut pendapat yang benar dari para ulama, hingga habisnya modal diputar, demi menghindari bahaya akibat pemu-tusan hubungan usaha yang tiba-tiba.
Dibolehkan mengambil keuntungan usaha ini dalam lingkungan perbankan dengan cara memberikan modal kepada pihak lain untuk diputar atau dengan cara lain. Demikian juga dalam lingkungan pengembangan modal kolektif lain secara umum.
***
Penulis: Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih & Prof. Dr. Shalah ash-Shawi
Sumber: Alsofwah.or.id



Jual Beli Menurut Islam

PENDAHULUAN

Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya yang mulia demikian pula Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dalam sunnahnya yang suci beberapa hukum muamalah, karena butuhnya manusia akan hal itu, dan karena butuhnya manusia kepada makanan yang dengannya akan menguatkan tubuh, demikian pula butuhnya kepada pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya dari berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya.
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus, dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi.
HUKUM JUAL BELI

Hukum Jual Beli
Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as Sunnah, ijma serta qiyas :

Allah Ta'ala berfirman : " Dan Allah menghalalkan jual beli Al Baqarah"
Allah Ta'ala berfirman : " tidaklah dosa bagi kalian untuk mencari keutaman (rizki) dari Rabbmu "
(Al Baqarah : 198, ayat ini berkaitan dengan jual beli di musim haji)

Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduianya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya"
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)

Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki. .

Akad Jual Beli :
Akad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :
• Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan " saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan ucapan "saya beli "
• Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah ditentukan).
Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus :
Berkata Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah : jual beli Muathoh ada beberapa gambaran
1. Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya seperti ucapan " ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian diambil, demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti mengucapkan "ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya.
2. Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam perjanjian.(dihutangkan)
3. Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun, bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang telah dihargai.

Syarat Sah Jual Beli
Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut adalah sbb :

Bagi yang beraqad :
1. Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa haq (sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika jual beli yang saling ridha diantara kalian ", dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhan" (HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya), adapun apabila keterpaksaan itu adalah perkara yang haq (dibanarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa maka sah jual belinya.
2. Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila, hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya.
(catatan : jual beli yang tidak boleh anak kecil melakukannya transaksi adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh orang dewasa seperti jual beli rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang sifatnya sepele seperti jual beli jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat sebagian dari para ulama pent)
3. Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi kepada Hakim bin Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu" (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya). Artinya jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu.

Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil

Bagi (Barang) yang diaqadi
• Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq, maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya seperti khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam " Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai, khomer, dan patung (Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan " mengharamkan khomer dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya, mengharamkan babi dan harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis atau yang terkena najis, berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu (barang) mengharamkan juga harganya ", dan di dalam hadits mutafaq alaihi: disebutkan " bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak itu dipakai untuk memoles perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk dijadikan penerangan", maka beliau berata, " tidak karena sesungggnya itu adalah haram.".
• Yang diaqadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai) menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, seperti tidak sah membeli seorang hamba yang melarikan diri, seekor unta yang kabur, dan seekor burung yang terbang di udara, dan tidak sah juga membeli barang curian dari orang yang bukan pencurinya, atau tidak mampu untuk mengambilnya dari pencuri karena yang menguasai barang curian adalah pencurinyasendiri..
• Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang beraqad, karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk penipuan, sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli sesuatu yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak mengetahui (hakikat) nya. Dengan demikian tidak boleh membeli unta yang masih dalam perut, susu dalam kantonggnya. Dan tidak sah juga membeli sesuatu yang hanya sebab menyentuh seperti mengatakan "pakaian mana yang telah engkau pegang, maka itu harus engkau beli dengan (harga) sekian " Dan tidak boleh juga membeli dengam melempar seperti mengatakan "pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku, maka itu (harganya0 sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan hasil memegang dan melempar" (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi (dengan krikil) seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka apabila mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian "


RUKUN JUAL BELI
Sebuah transaksi jual beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya. Dan rukunnya ada tiga perkara, yaitu: [1] Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat, [2] Adanya akad/ transaksi [3] Adanya barang/ jasa yang diperjual-belikan.
1. Adanya Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi ahliyah untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku yang harus berakal dan baligh.
Maka jual beli tidak memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau tidak waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).
Demikian juga jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh tidak sah, kecuali bila yang diperjual-belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil. Namun bila seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana dibolehkan jual beli dengan bantuan anak kecil sebagai utusan, tapi bukan sebagai penentu jual beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah toko, jual beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja.
2. Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual beli. Akad itu seperti: Aku jual barang ini kepada anda dengan harga Rp 10.000&quot.lalu pembeli menjawab, “Aku terima.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya. Namun ulama lain membolehkan akad jual beli dengan sistem mu’athaah, yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3. Adanya Barang/ Jasa Yang Diperjual-belikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual beli menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Suci
Benda-benda najis bukan hanya tidak boleh diperjual-belikan, tetapi juga tidak sah untuk diperjual-belikan. Seperti bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan dan lainnya. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ يَقُولُ عَامَ اَلْفَتْحِ, وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ اَلْخَمْرِ, وَالْمَيْتَةِ, وَالْخِنْزِيرِ, وَالْأَصْنَامِ
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Makkah pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR Muttafaq Alaih)
Bank Darah Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor, penyimpanan, pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual beli darah, karena hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan najis, hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat berguna bagi para petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja bukan dengan akad jual-beli. Pihak petani hanya menanggung biaya penampungan kotoran, pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan harga kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual beli.
b. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Punya Manfaat
Yang dimaksud dengan barang harus punya manfaat adalah bahwa barang itu tidak bersungsi sebaliknya. Barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi’i menolak jual beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-lahwi yang memalingkan orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka.Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya. (Lihat Kifayatul Akhyar jilid 1 halaman 236).
c. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Dimiliki Oleh Penjualnya
Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (wilayah) atau wakil. Yang dimaksud menjadi wali (wilayah) adalahbila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain. Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, di mana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut:
Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya. (HR Tirmizi - Hadits hasan)
Namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.
Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi’i membolehkan jual beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, teapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad jual beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah. Dalilnya adalah hadits berikut ini:
‘Urwah ra berkata, “Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda, “Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu.” (HR Tirmizi dengan sanad yang shahih).
d. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Harus Bisa Diserahkan
Maka menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena tidak jelas apakah unta masih bisa ditemukan atau tidak. Demikian juga tidak sah menjual burung-burung yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara pisik maupun secara hukum. Demikian juga ikan-ikan yang berenang bebas di laut, tidak sah diperjual-belikan, kecuali setelah ditangkap atau bisa dipastikan penyerahannya.
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e. Barang Yang Diperjualbelikan Harus Diketahui Keadaannya
Barang yang tidak diketahui keadaanya, tidak sah untuk diperjual-belikan, kecuali setelah kedua belah pihak mengetahuinya. Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual beli dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung. Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa dtetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Dalam jual beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya:
• Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.
• Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang.
• Garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.

JUAL BELI YANG TIDAK SAH MENURUT HUKUM
ATAU SYARATNYA

1. Menjual tanggungan dengan tanggungan

Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang.

Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menjual tanggungan dengan tanggungan. (Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syarhul Ma'ani IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:71, juga oleh al-Hakim II:57, dan oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil dalam at-Talkhish III:26, dari Imam Ahmad: "Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma' kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh." Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: "Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih." Lihat Musykilul Atsar II: 266.)
2. Jual Beli dan Syarat

Syariat Islam yang suci telah memerintahkan ditunaikannya janji dengan komitmen yang menjadi persyaratan janji tersebut, kecuali apabila syarat itu berbentuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian.." (Al-Maidah: 1).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslimin selalu terikat dengan persyaratan (perjanjian) sesama mereka, terkecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal." Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1353. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2353. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:27. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi VI:79. Sanadnya lemah sekali karena adanya Katsier bin Abdullah, dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Karena hadits ini sesuai dengan dasar-dasar ilmu hadits dan dinyatakan hasan oleh al-Bukhari. Dinukil oleh at-Tirmidzi dari perawi yang sama

Para ulama telah membagi persyaratan dalam berbagai transaksi jual beli kepada persyaratan yang disyariatkan dan yang tidak disyariatkan. Sebelumnya telah penulis jelaskan dalam pem-bahasan ini keunggulan pendapat bahwa asal dari aktivitas jual beli dan syaratnya adalah mubah, sebelum ada dalil yang meng-haramkannya. Oleh sebab itu penulis di sini cukup menyebutkan syarat-syarat yang tidak disyariatkan. Selain dari itu, berarti dalam kondisi aslinya, yakni dibolehkan.

Kalangan Malikiyah memahami larangan dalam hadits ten-tang menjual dengan syarat, ( Dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath 4361. Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam Ulumul Hadits 128, yakni hadits yang amat kacau sekali. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadits itu adalah batil dalam Majmu' al-Fatawa VIII: 63.) bahwa syarat di situ adalah yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli atau yang menyebab-kan rusaknya harga jual.

Syarat bertentangan dengan konsekuensi perjanjian itu adalah seperti seorang penjual mensyaratkan terhadap pembeli agar tidak menjual kembali dagangannya itu kepada orang lain, atau agar si pembeli tidak mengenakan barang beliannya itu, atau agar ia tidak mengendarainya, tidak meninggalinya dan tidak menyewakannya. Atau bila si pembeli menjual kembali barangnya itu, maka si penjual yang lebih berhak mengambil keuntungan-nya. Para ulama mengecualikan sebagian bentuk aplikasinya yang kemudian mereka bolehkan, seperti menjual budak wanita dengan syarat harus dibebaskan, karena ajaran syariat memang mengi-nginkan sekali budak wanita itu dibebaskan. Atau seorang penjual yang memberi persyaratan agar objek jualan itu diwakafkan, dihibahkan atau disedekahkan. Karena itu termasuk amal keba-jikan yang dianjurkan oleh Islam.

Kemudian syarat yang menyebabkan rusaknya harga adalah seperti persyaratan dari salah satu pihak untuk meminjam objek jualan. Karena hal itu dapat menyebabkan ketidakjelasan harga barang, atau bisa juga menggiring kepada semacam riba, bila dili-hat dari sisi pinjaman yang mendatangkan keuntungan. Karena penentuan harga menjadi tidak adil karena pertimbangan pemin-jaman barang tersebut. Kalau syarat peminjaman itu dari pembeli, jelas itu merusak harga, karena menyebabkan ketidakjelasan harga barang karena bertambah. Peminjaman barang itu sendiri termasuk harga yang tidak diketahui. Kalau seandainya persya-ratan peminjaman itu berasal dari penjual, itu juga menyebabkan rusaknya harga karena terjadinya pengurangan. Karena pemin-jaman yang dilakukan oleh penjual itu masuk dalam harga yang tidak diketahui.

Sementara kalangan Hambaliyah menafsirkan syarat yang dilarang itu sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian, atau persyaratan yang menghilangkan konsekuensi-nya. Atau persyaratan yang menyebabkan jual beli menjadi ter-gantung.

Syarat yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian adalah sebagaimana telah dicontohkan di atas, seorang penjual yang memberi syarat kepada pembeli agar tidak menjual, mem-berikan, membebaskan barang jualannya, dan sejenisnya. Yakni segala persyaratan yang menghalangi pembeli untuk secara bebas menggunakan hasil beliannya.

Sementara syarat yang melenyapkan konsekuensi perjanjian adalah seperti seorang pelaku memberi persyaratan kepada pihak lain sebuah bentuk perjanjian tersendiri lagi, seperti perjanjian jual beli, perjanjian as-Salm, perjanjian peminjaman, penyewaan, kerjasama dan sejenisnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah melarang hal itu. Beliau melarang kita melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli.

Adapun syarat yang membuat jual beli menjadi tergantung misalnya ucapan penjual, "Saya jual barang ini kepadamu, kalau si Fulan ridha." Atau ucapan pembeli, "Saya akan beli barang ini, kalau si Fulan sudah datang." Kedua macam transaksi jual beli itu tidak sah menurut kalangan Hambaliyah. Karena konsekuensi jual beli adalah pemindahan kepemilikan pada saat akad, sementara dengan adanya persyaratan demikian, tentu saja tidak mungkin.

Lain lagi dengan kalangan Hanafiyah, mereka menafsirkan larangan syarat dalam jual beli itu, bahwa yang dimaksudkan dengan syarat adalah syarat yang bukan termasuk bagian perjan-jian, atau tidak relevan dengan perjanjian namun bermanfaat bagi salah satu pihak pelaku, bagi orang lain, atau bagi kepentingan objek perjanjian tersebut yang menjadi milik orang yang berhak, sementara kebiasaan tidak berjalan demikian, dan syariat juga tidak mengizinkannya.

Berkaitan dengan syarat demi kepentingan salah satu pihak yang bertransaksi mereka memberi contoh seperti menjual rumah dengan syarat si penjual boleh meninggalinya selama sebulan, atau menjual tanah dengan syarat si penjual boleh menanaminya selama setahun, atau menjual mobil dengan syarat si penjual bo-leh mengendarainya selama satu minggu, dan sejenisnya.

Syarat demi kepentingan orang lain, seperti menjual ha-laman luas dengan syarat boleh dibangun masjid di atasnya, atau menjual makanan agar si pembeli menyedekahkannya.

Sementara syarat demi kepentingan objek perjanjian itu sendiri adalah seperti menjual budak wanita untuk dibebaskan, meskipun persoalan ini masih diperdebatkan di kalangan Hana-fiyah sendiri. Mereka menganggap manfaat atau kepentingan itu sebagai bagian dari riba, karena merupakan syarat tambahan da-lam sebuah perjanjian yang tidak diberi kompensasi. Itu sama dengan riba, atau paling tidak menyerupainya.

Berkaitan dengan syarat demi kepentingan objek perjanjian itu mereka mengecualikan yang sudah menjadi kebiasaan, seperti membeli pakaian dengan syarat ditambal bagiannya yang robek, atau membeli topi dengan syarat dibuatkan pengikatnya, karena itu sudah menjadi kebiasaan. Mereka juga mengecualikan yang disahkan dalam ajaran syariat melalui dalil, seperti persyaratan pembayaran tertunda, syarat hak pilih dan sejenisnya, karena Islam telah membolehkan semua persyaratan tersebut.

Yang paling tepat menurut kami setelah memaparkan selu-ruh pendapat ini bahwa syarat yang bertentangan dengan konse-kuensi perjanjian jual beli adalah syarat yang rusak, seperti syarat agar barang yang dijual belikan tidak boleh dijual lagi, tidak boleh dihibahkan dan sejenisnya. Atau syarat yang bertentangan dengan konsekuensi ajaran syariat, seperti yang menggiring kepada per-buatan menghalalkan yang haram, atau menyebabkan harga barang menjadi tidak jelas, atau penggandaan jumlah transaksi, atau persyaratan adanya perjanjian lain seperti penjualan, penyewaan, peminjaman dan lain-lain. Adapun syarat demi kepentingan ter-tentu, pihak Hanafiyah sendiri mengatakan bahwa persoalan ini masih perlu diselidiki kembali, karena adanya hadits Jabir yang menceritakan bahwa ia pernah menjual untanya kepada Nabi dengan persyaratan tetap mengendarainya hingga sampai ke kota Madinah.
3. Dua Perjanjian Dalam Satu Transaksi Jual Beli

Membuat dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli merupakan hal yang dilarang dalam syariat. Diriwayatkan adanya sejumlah dalil yang melarang perbuatan tersebut. Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah tentang larangan Rasulullah terhadap hal tersebut.
4. Menawar Barang yang Sedang Ditawar Orang Lain

Adapun menawar barang yang masih ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang melakukan transaksi jual beli lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu, lalu datang pembeli lain yang menawar barang yang menjadi objek transaksi mereka dengan harga lebih mahal, atau dengan harga yang sama, hanya saja karena ia orang yang berkedudukan, maka si penjual lebih cenderung menjual kepada orang itu, karena melihat kedudukan orang kedua tersebut.

Kalau kedua orang itu saling tawar menawar, lalu terlihat indikasi bahwa keduanya tidak bisa menyepakati satu harga, tidak diharamkan untuk menawar barang transaksi mereka. Namun kalau belum kelihatan apakah mereka telah memiliki kesepakatan harga atau tidak, penawaran dari pihak pembeli lain untuk sementara ditahan.
5. Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun

Hadirah (kota) adalah lawan dari badiyah (dusun). Sementara kata hadir (orang kota) adalah orang yang terbiasa tinggal di kota-kota, perkampungan modern dan sejenisnya. Sementara bady (orang dusun) adalah orang yang tinggal di pedusunan. Dusun adalah selain kota dan perkampungan maju. Kalangan Hambaliyah bahkah memahaminya secara lebih luas lagi. Mereka meng-anggap bahwa orang dusun adalah semua orang yang tinggal di pedusunan, dan juga setiap orang yang masuk ke satu desa sementara ia bukan penduduk asli desa tersebut, baik ia orang du-sun dalam arti sesungguhnya, atau orang desa, atau orang kota lain.

Arti Dari Penjualan, 'Orang Kota Menjualkan Barang Kepada Orang Dusun'

Yang dimaksudkan dengan istilah orang kota menjadi calo bagi orang dusun menurut mayoritas ulama adalah orang kota menjadi calo pedagang orang dusun. Ia mengatakan kepada peda-gang dusun itu, "Kamu jangan menjual barang sendiri, saya lebih tahu tentang masalah jual beli ini." Akhirnya si pedagang bergan-tung kepadanya, menjual barangnya dan pada akhirnya ia mema-sarkan barang dengan harga tinggi. Kalau si calo membiarkannya berjual-beli sendiri, pasti ia bisa menjual dengan harga lebih mu-rah kepada orang lain.

Hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda: "Barangsiapa yang melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka hendaknya ia mengambil yang paling sedikit, kalau tidak ia telah mengambil riba."

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Hadits Ibnu Mas'ud bahwa ia menceritakan, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya dua perjanjian dalam satu transaksi."

Dalam riwayat lain disebutkan, "Tidaklah pantas melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi."
6. Menjual Anjing
Jual beli anjing bukanlah bisnis yang Islami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu Mas'ud -rodhiyallahu 'anhu- telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun." Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Buyu', bab: Hasil Menjual Anjing, nomor 2237. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Musaqat, bab: diharamkannya hasil menjual anjing, nomor 1567.

Dalam hadits Juhaifah diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hasil menjual darah, anjing dan hasil usaha budak wanita.." HR. al-Bukhari

Dengan alasan ini, kalangan Syafi'iyah dan Hambaliyah menganggap tidak sah menjual anjing, anjing apapun juga, mes-kipun anjing yang sudah dilatih berburu. Sementara kalangan Malikiyah membedakan antara anjing yang boleh dipelihara, se-perti anjing buru, dan anjing penjaga, dengan anjing-anjing lain. Kelompok pertama mereka membolehkan untuk dijual, sementara selain itu tidak boleh, karena hadits:
"Rasulullah mengharamkan hasil jualan anjing, kecuali anjing buru." (HR. An-Nasa’i).
7. Berdagang Alat-alat Musik dan Hiburan

Sudah jelas, bahwa apabila Allah mengharamkan sesuatu, tentu Allah juga mengharamkan menjualnya dan memperdagangkannya. Dengan alasan itu, mayoritas ulama mengharamkan berjualan alat-alat musik dan hiburan yang diharamkan, kecuali yang boleh digunakan (duff/rebana). Bahkan mereka secara tegas menyatakan bahwa jual beli barang-barang semacam itu tidak sah. mayoritas ulama berpendapat akan haramnya menjual semua alat-alat hiburan dan alat-alat musik yang diharamkan. Karena semua alat-alat itu dibuat untuk per-buatan maksiat, sehingga tidak lagi bernilai dan transaksi penju-alannya batal, seperti halnya minuman keras. Karena salah satu dari syarat objek transaksi adalah harus bisa dimanfaatkan sesuai syariat, meskipun sedikit kegunaannya, seperti tanah misalnya. Diharamkannya alat-alat tersebut menggugurkan fasilitasnya yang sesuai dengan syariat, sehingga menjualnya juga haram.
8. Berjualan Ketika Dikumandangkan Adzan Jum’at

Di antara fenomena yang tidak lepas dari pandangan mata di tengah masyarakat barat adalah tersebarnya satu bentuk fenomena, yakni jual beli saat dikumandangkannya adzan Jum’at. Padahal sudah ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dalam Kitabulla, yakni dalam firmanNya:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada meng-ingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui…" (Al-Jum'ah: 9).
JUAL BELI YANG TERLARANG

Allah Ta’ala membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya.

Jual Beli Ketika Panggilan Adzan
Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua, berdasarkan Firman Allah Ta’ala :“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al Jumu’ah : 9).

Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan Shalat Jum’at. Allah mengkhususkan melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Allah mengatakan “dzalikum” (yang demikian itu), yakni yang Aku telah sebutkan kepadamu dari perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri Shalat Jum’at adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan shalat Jumat adalah juga perkara yang diharamkan.

Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya. Allah Ta’ala berfirman “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (QS. 24:36-37-38).

Jual Beli Untuk Kejahatan
Demikian juga Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Allah. Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala “Janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan (Ai Maidah : 2)”
Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Allah dan Rasul-Nya telah melarang dari yang demikian.

Ibnul Qoyim berkata
"Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim. Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi sabilillah maka ini adalah keta’atan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan."

Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim
Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir. Allah ta’ala telah berfirman “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. 4:141).
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Islam itu tinggi dan tidak akan pernah ditinggikan atasnya" (shahih dalam Al Irwa’ : 1268, Shahih Al Jami’ : 2778)

Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya
Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, “Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembilan”.. Atau perkataan “Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula”. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya.”(Mutafaq alaihi). Juga sabdanya: “Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya (Mutfaq ‘alaih)”.
Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya. Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual dengan harga sembilan : “Saya beli dengan harga sepuluh”
Kini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta mengingkari segenap pelakunya.

Samsaran
Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya, pent). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :“Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang dating ke kota)”

Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: “Tidak boleh menjadi Samsar baginya”(yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi). Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Biarkanlah manusia berusaha sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Allah, (Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603”

Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata “Saya akan membelikan barang untukmu atau menjualkan“. Kecuali bila pendatang itu meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang”

Jual Beli dengan ‘Inah
Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara ‘inah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah’ dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk denngan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian, sampai kalian kembail kepada agama kalian.” (Silsilah As Shahihah : 11, Shahih Abu Dawud : 2956) dan juga sabdanya “ Akan datang pada manusia suatu masa yang mereka menghalalkan riba dengan jual beli “ (Hadits Dha’if , dilemahkan oleh Al Albany dalam Ghayatul Maram : 13)
Wallahu a’lam

PENUTUP

Jual beli dalam Islam diharapkan menjadi cikal bakal dari sebuah sistem pasar yang tepat dan sesuai dengan alam bisnis. Sistem pasar yang tepat akan menciptakan sistem perekonomian yang tepat pula. Maka, jika kita ingin menciptakan suatu sistem perekonomian yang tepat, kita harus membangun suatu sistem jual beli yang sesuai dengan kaidah syariah Islam yang dapat melahirkan khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi ini. Hal tersebut dapat tercipta dengan adanya kerjasama antara seluruh elemen yang ada di pasar, yang disertai dengan kerja keras, kejujuran dan mampu melihat peluang yang tepat dalam membangun bisnis yang dapat berkembang dengan pesat.
Dalam jual beli pun kita harus mengetahui hukum,syarat, dan rukun jual beli sehingga orang yang melaksanakan jual beli dapat berjalan dengan baik. Aktivitas jual beli mampu melatih kita untuk menjadi orang yang pemurah dan senantiasa berbagi dengan sesama. Zakat, infak, dan shadaqah adalah media yang tepat untuk membangun hal tersebut.
Gibraltar


















Benarkah MLM haram ? (Kajian ringkas Fiqh Muamalah Bag.2 )

Posted by admin | Under EKONOMI ISLAM / SYARIAH, PENELITIAN KUALITATIF, UMUM Tuesday Jul 27, 2010
Oleh : Agung Wahyudi B., MM
PEMBANGUNAN EKONOMI ISLAMBeberapa waktu lalu telah dibahas mengenai latar belakang dan perkembangan MLM.  Berikut adalah lanjutannya, selamat  menyimak dan semoga bermanfaat.
A. MLM ditinjau dari Fiqh Muamalah
1. Hukum Dasar dari sistem MLM
Suatu perusahaan pada dasarnya didirikan bertujuan untuk mendapat keuntungan setinggi-tingginya dengan sejumlah modal tertentu yang  diinvestasikan.  Keuntungan ini haruslah didapat dengan cara yang halal, tidak beroperasi dengan cara riba, tidak ada indikasi gharar (penipuan), dan lain-lain.   Pada perusahaan MLM sistem pemasaran yang dilakukan adalah dengan sistem berjenjang yang melibatkan anggota-anggotanya, sehingga jalur distribusi diperpendek.  Dengan jalur distribusi diperpendek, maka diharapkan sebagian keuntungan dari produk / jasa dapat masuk ke anggotanya.  Sebenarnya tidak ada yang salah dalam urusan transaksi, selama MLM itu bersih dari unsur terlarang seperti riba, gharar, dharar dan jahalah.  MLM sendiri masuk dalam bab Muamalat, yang pada dasarnya mubah atau boleh. Merujuk kepada kaidah Qowaid fiqh yaitu  Al-Aslu fil Asy-yai Al-Ibahah (Syarwat, 2009).   Hukum segala sesuatu itu pada asalnya adalah boleh. Dalam hal ini maksudnya adalah dalam masalah muamalat. Sampai nanti ada hal-hal yang ternyata dilarang atau diharamkan dalam syariah Islam.  Misalnya bila di dalam sebuah MLM itu ternyata terdapat indikasi riba`, misalnya dalam memutar dana yang terkumpul. Atau ada indikasi terjadinya gharar atau penipuan baik kepada down line ataupun kepada upline.  Atau mungkin juga terjadi dharar yaitu hal-hal yang membahayakan, merugikan atau menzhalimi pihak lain, entah dengan mencelakakan dan menyusahkan. Dan tidak tertutup kemungkinan ternyata ada unsur jahalah atau ketidak-transparanan dalam sistem dan aturan.   Oleh karena itu menurut penulis, seseorang tidak bisa langsung menuduh bahwa perusahaan MLM itu halal atau haram, sebelum diperiksa hati-hati dengan pendekatan  analisis syariah.
Ada prinsipnya  semua usaha bisnis,  termasuk yang menggunakan sistem MLM dalam literatur syari’ah Islam termasuk kategori muamalat yang dibahas dalam bab Al-Buyu’ (penjualan).  Al Buyu’ adalah dalam bentuk jamak dari al-ba’i yang merupakan kata dasar penjualan, sedangkan menjual (pria) adalah yabii’ (Munawwir dan Muhammad, 2007:368).  Selanjutnya Bassam (2010:699), mendefinisikan al-ba’i dalam terminology bahasa adalah mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu.   Mereka telah mengambil sesuatu dari penjual yang mengukurkan tangannya baik dengan tujuan untuk akad atau menyerahkan sesuatu yang telah disepakati harga dan barangnya.  Lafazh al Ba’i juga digunakan pada pembelian dan ini merupakan lawan kata, begitu pula dengan syira (pembelian) juga termasuk lawan kata.   Definisi secara istilah adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki yang ditunjukkan melalui sighat berupa ucapan dan perbuatan.
Hukum awal secara prinsip dari seluruh transaksi muamalah, bermacam-macam jenis perdagangan dan sumber penghasilan adalah halal dan boleh, dan tidak ada boleh yang melarangnya kecuali yang telah diharamkan oleh Allah dan rasulnya (Bassam, 2009:700).  Berikut  dalil dari jual beli (Al-Albani et al, 2010:371) :
a. Dalil Al Quran :

: … “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah:275).

: …”Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli…  ( Al Baqarah : 282)

29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-Nisa’:29)
b. Dalil dari As Sunnah
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Penjual dan pembeli, masing-masing mempunyai hak pilih (untuk mengesahkan transaksi atau membatalkannya) atas pihak lain selama belum berpisah, kecuali jual beli khiyar (kesepakatan memperpanjang masa hak pilih sampai setelah berpisah). (Shahih Muslim No.2821)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang muslim menawar atas penawaran saudaranya. (Shahih Muslim No.2788)
Hadis riwayat Hakim bin Hizam ra.:
Dari Nabi saw. beliau bersabda: Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat barang), akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka. (Shahih Muslim No.2825)
Demikian dalil dasar mengenai jual beli, dan masih banyak lagi dalil yang membolehkan jual beli, termasuk perusahaan MLM.  Namun demikian nilai jual beli ini juga harus memenuhi unsur syariah yaitu bebas dari unsur-unsur haram di antaranya (Utomo, 2009) :
> Riba (Transaksi Keuangan Berbasis Bunga); Dari Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri” (HR. Ahmad 15/69/230, lihat Shahihul Jami 3375.
> Gharar (Kontrak yang tidak Lengkap dan Jelas); Dari Abu Hurairah ra. berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melarang jual beli gharar”. (HR. Muslim 1513)
> Tadlis/Ghisy (Penipuan); Dari Abu Hurairah ra. berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu.   Maka beliau bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Muslim 1/99/102, Abu Daud 3435, Ibnu Majah 2224)
> Perjudian (Maysir atau Transaksi Spekulatif Tinggi yang tidak terkait dengan Produktivitas Riil); Firman Allah Taala:
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib, adalah perbuatan syaithan maka jauhilah perbuatan itu agar kamu beruntung.” (Al-Maidah: 90)
> Zhulm (Kezhaliman dan Eksploitatif). Firman Allah  surat An-Nisa:29 :
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Kajian Kholid (2009:33) juga menyatakan terdapat beberapa kelemahan dalam sistem piramid ini.    Pertama adalah ia menemukan bahwa sistem ini tidak akan langgeng atau kontinyu, karena akan menemukan antiklimaks dan kemudian berhenti.  Apabila ia berhenti maka level terbawah adalah yang rugi sedangkan level masih untung banyak.  Padahal jumlah orang yang terlibat dalam level  bawah lebih banyak daripada level atas. 
Oleh karena itu ia menyatakan bahwa sistem MLM ini pada dasarnya adalah tadlis (penipuan) dan taghrir (sesuatu yang memperdaya), serta jual beli semu pada mayoritas anggota, untuk kesejahteraan minoritas up line dan pemilik perusahaan.
Pada table yang penulis pernah temukan di internet terlihat bahwa anggota MLM pada level 1,  jumlah member 4, maka  total bonus yang didapat Rp. 20.000.    Kemudian pada level 5 misalnya, jumlah anggota 1024 maka bonusnya adalah Rp. 5.120.000,  dan selanjutnya pada level  16 jumlah anggota mencapai 4 milyar, atau sekitar ½ lebih  penduduk bumi, hingga pada level 17 jumlah anggota mencapai 17 milyar (dengan bonus sekian trilyun),  yang  tentu saja  belum mencapai penduduk bumi, yang artinya bisnis ini akan berhenti. Apabila ini terjadi maka down line terbawah tidak dapat mereliasasikan mimpi-mimpi mereka,  tetapi yang sangat beruntung adalah level yang lebih dulu masuk atau segelintir level atas.  Apakah ini tidak terfikirkan bahwa pasti ada level  bawah yang tidak beruntung dibandingkan dengan level atas ?   Lalu apakah Fulan yang berada di level atas (pada saat perusahaan MLM tutup)  tenang-tenang saja, dengan berkata bahwa “Salah sendiri kenapa baru masuk jadi anggota setelah kita sudah kaya ?”   Lalu,  bagaimana dengan janji yang telah ditanamkan, bagaimana dengan sejumlah dana yang telah disetorkan padahal level bawah belum menikmati keuntungannya, sedangkan bisnis telah berhenti karena tidak ada anggota lagi di muka bumi  ?  Kholid menyatakan bahwa bila sudah diketahui bahwa skema piramid akan berhenti suatu saat, maka pada hakekatnya MLM ini adalah judi.  Sebab setiap orang akan berlomba untuk masuk ke dalam sistem ini untuk mendapatkan keuntungan, sebelum hancurnya skema piramid ini.
Analisis yang dilakukan penulis menyatakan bahwa table tersebut adalah berlebihan, karena tidak masuk akal dan tidak diberikan informasi yang jelas mengenai peluang keberhasilannya.  Bagi orang yang berpendidikan dan pengalaman maka table ini hanyalah tambahan informasi yang bisa dicek kebenaran dan peluang keberhasilannya yang sangat kecil.  Namun bagaimana dengan calon anggota yang (maaf) kurang berpendidikan dan tidak pengalaman ? Ini sangat berbahaya dan memalukan, karena ini membuat calon tersebut masuk menjadi anggota dan tidak sempat lagi berfikir lama, yang penting masuk dulu dan akan sukses.  Padahal jalan menuju sukses tersebut kecil peluangnya dan ada hal-hal yang mustahil realisasinya.   Jalan terbaik adalah perusahaan MLM tersebut memberikan table yang jelas, jumlah anggota yang mungkin dapat berhasil beserta keterangan mengenai peluang keberhasilannya.
Kedua adalah mengenai harga produk yang dicurigai tidaklah senilai dengan harga sesungguhnya. Karena diduga kuat 1/3 dari harga tersebut adalah bersih telah disetorkan kepada perusahaan, sedangkan bagian yang tersisa yaitu 2/3 diberikan kepada upline dan  merupakan janji-janji yang yang ada di masa yang akan datang bila ia (calon down line dan down line) menjadi up line tersebut.  Misalnya pada MLM “B” mengakui bahwa pada  harga produk  Rp.100.000, maka  Rp. 33.000 adalah untuk perusahaan, sedangkan Rp. 77.000 digunakan sebagai operasional perusahaan dan pemberian bonus kepada para anggota yang dianggap sebagai marketing, distributor sekaligus konsumen.   Benarkah demikian ?  Menurut penulis tidak semua perusahaan MLM seperti ini, jadi harus dilihat kasus demi kasus.  Analisis diatas adalah kasus yang dialami oleh perusahaan MLM “B”, dan ini belum tentu dilakukan oleh perusahaan MLM lain.  Oleh karena setiap kasus yang berhubungan dengan mark up harga adalah berbeda satu dengan yang lain. Misalnya perusahaan MLM “V” yang mempunyai produk unggulan pembalut wanita, yang diklaim berasal dari herbal, alami, dengan aroma jamu,  bukan berasal dari bahan-bahan sampah atau pemutih kimia berbahaya, serta mampu mencegah kanker serviks.  Harga 1 bungkus berisi 10 buah adalah  Rp. 32.000, sedangkan harga member adalah Rp.  26.000.  Harga pembalut biasa Rp. 3000 berisi 5 atau Rp. 6000 berisi 10.  Bila diperhatikan harga yang diberikan cukup wajar. Silakan amati Tabel 1 berikut ini :
Tabel 1.  Perbandingan antara Pembalut R dan Pembalut V (sistem MLM)
No
Jumlah
Harga
Khasiat
Keterangan
Pembalut R  (non MLM )
10 / 2 Bungkus
Rp. 6000,-
Pembalut saja, murah
Ada izin DepKes,  kemasan baik, aroma netral, merk terkenal, pemakaian 5 buah / hari.  Pemakaian Rp.  3000 / hari
Pembalut V (MLM)
10 / bungkus
Rp. 26.000
Pembalut, diclaim dapat mencegah kanker serviks, aroma jamu, nyaman ada rasa mint sehingga terasa segar di daerah pribadi wanita*.  Darah nifas cepat berhenti setelah melahirkan
Ada izin DepKes, Kemasan baik, aroma jamu herbal, merk baru terkenal, ramah lingkungan,  ada keuntungan anggota, pemakaian : 2 buah / hari.  Pemakaian Rp. 5200,- /  hari
*Sumber : Wawancara singkat dengan beberapa pengguna
Pada Tabel 1. diatas terlihat bahwa produk MLM tersebut memiliki khasiat yang lebih baik dibandingkan dengan produk biasa, sehingga wajar bila dijual dengan nilai lebih mahal dibandingkan dengan produk biasa, dengan khasiat biasa dan diduga berbahaya bagi kesehatan.  Kata ‘mahal’ tersebut adalah relatif dan pada kasus diatas mahalnya barang MLM di atas tidak lebih dari 2 kali dari barang non MLM, sehingga penulis anggap sesuatu yang wajar.   Apakah Anda mau menukar kesehatan pribadi istri Anda dengan barang yang lebih murah Rp. 20.000 / bulan ? Begitu kira-kira promosi anggota MLM tersebut.  Analisis tersebut menyatakan bahwa tidak semua barang MLM mempunyai harga yang menipu atau harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan barang non MLM, sehingga harus dilihat dari kasus per kasus.
Ketiga peluang untuk menjadi leader adalah kecil walau dirasa ada kemungkinan.  Misalnya bila peluang Fulan merekrut orang baru dan down linenya juga  membantu merekrut orang baru  adalah sekitar 80%, dan ia mampu merekut 4 orang baru maka kemungkinannya  (80%)4 yaitu 0.409.   Bagaimana kemungkinan untuk merekrut 18 orang ? Kemungkinannya adalah (80%)18 yaitu hanya 1,8% sehingga nilai tersebut sangat kecil peluang itu terjadi.
Perhitungan tersebut menurut penulis benar jika Fulan melakukan perekrutan anggota dilakukan dengan sendiri-sendiri, tanpa bantuan orang lain, maka dengan asumsi peluang merekrut orang baru dibawahnya 80% (suatu nilai yang sangat tinggi), maka untuk merekrut 4 orang peluangnya  menjadi (80%)4 yaitu 0.409.  Begitu seterusnya makin banyak direkrut makin kecil peluangnya.  Namun ini dengan catatan dilakukan dengan sendiri, dan dibantu dengan down line dibawahnya yang mempunyai peluang 0.8 juga.   Namun peluang ini akan semakin besar bila ia melakukannya secara masal, pada acara-acara tertentu yang melibatkan banyak orang, sehingga orang makin percaya dan pada akhirnya terjadi pendaftaran masal.  Walaupun kemungkinan untuk menjadi leader adalah sangat kecil, namun orang tetap bersemangat karena terdapat nilai bonusnya yang lebih  besar pada level di atasnya.
2. Analisis mengenai  Produk  yang digunakan
Seorang muslim harus menghindari produk haram, karena ini dilarang oleh Allah SWT dan rasulnya.  Segala macam produk makanan dan minuman termasuk yang diproduksi oleh perusahaan MLM,  harus halal dan tidak ada keragu-raguan mengenai produk tersebut.  Dalam hadistnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda :
Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak mau menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rosul, Allah berfirman, “Wahai para Rosul makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal sholih” (QS Al Mukminun: 51). Dan Dia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu” (QS Al Baqoroh: 172). Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ”Wahai Robbku, wahai Robbku”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini dikabulkan do’anya.” (HR. Muslim)
Al Bugha dan Mistu (2009:77) menyatakan bahwa hadist ini merupakan dasar dari berbagai hukum Islam, yang berkaitan dengan memakan makanan yang halal dan menjauhi yang haram.  Dengan hadist ini maka akan didapatkan manfaat yang luas di masyarakat.  Bila masyarakat mengkonsumsi yang halal  maka akan tercipta kasih sayang, doanya mudah terkabul, kebagusan beribadah, tidak ada dendam, iri, saling tipu bahkan mencuri.   Hadits ini merupakan salah satu ashlud din (pokok agama), di mana kebanyakan hukum syariat berporos pada hadits tersebut.   Thayyib adalah suci, tidak ada kekurangan dan cela. Demikian juga Allah, Dia itu thayyib. Dia suci, tidak ada kekurangan dan cela pada diri-Nya. Dia sempurna dalam seluruh sisi.  Allah tidak menerima sesuatu kecuali yang thoyyib. Thayyib dalam aqidah, thayyib dalam perkataan dan thayyib dalam perbuatan. Tidak menerima artinya tidak ridho, atau tidak memberi pahala. Dan ketidakridhoan Allah terhadap sebuah amal biasanya melazimkan tidak memberi pahala pada amalan tersebut.  Mengkonsumsi sesuatu yang thayyib merupakan karakteristik para rasul dan kaum mukminin. Makanan yang thayyib sangat berpengaruh terhadap kebagusan ibadah, terkabulnya doa dan diterimanya amal.  Oleh sebab itu umat Islam selalu waspada agar tidak mengkonsumsi makanan yang haram, karena ini sangat merugikan bagi perusahaan MLM dan non MLM.
Umat muslim juga  sebaiknya menghindari diri dari menjalankan perusahaan yang memusuhi Islam baik secara langsung atau pun tidak langsung. Perusahaan tersebut dapat dilihat pada web site http://warlockcomet.page.tl/Daftar-Boikot-Produk-US-dan-Israel.htm. Perhatikan apakah perusahaan tersebut anak perusahaan atau ada kerja sama dengan dengan perusahaan yang menjadi donatur musuh Islam dan keuntungannya bisinis ini malah digunakan untuk membunuh saudara-saudara muslim di belahan bumi lainnya, misalnya di Palestina.
3. Analisis mengenai sisi Marketing Dan Etika Penawaran
Menurut Syarwat (2009) hal yang paling rawan dalam pemasaran gaya MLM ini adalah dinding yang teramat tipis antara kejujuran dan dengan dusta. Biasanya, orang-orang yang diprospek itu diberikan dengan beragam tujuan untuk menjadi kaya dan berhasil dalam waktu singkat, atau bisa punya rumah real estate, mobil mewah, apartemen mahal,  kapal pesiar besar dan ribuan mimpi lainnya.  Dengan rumus hitung-hitungan yang dibuat seperti masuk akal, akhirnya banyak yang terbuai dan meninggalkan profesi sejatinya atau yang kita kenal dengan istilah `pensiun dini`.  MLM dikenalkan sebagai bisnis yang menawarkan kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan banyak uang dibandingkan dengan bisnis lain maupun pekerjaan lain.
Menarik apa yang dikatakan ahli ekonomi syariah Utomo (2009) bahwa  perlu dipelajari lebih lanjut,  bahwa bagi hampir semua orang yang menanamkan uang, MLM berakhir dengan hilangnya uang. Kurang dari 1% distributor MLM mendapatkan laba dan mereka yang mendapatkan pendapatan seumur hidup dalam bisnis ini persentasenya jauh lebih kecil lagi.  Cara pemasaran dan penjualan yang tidak lazim menjadi penyebab utama kegagalan ini.  Namun, kalau  bisnis ini lebih berkelayakan, perhitungan matematis pasti akan membatasi terjadinya peluang sukses tersebut.  Tipe struktur bisnis MLM sesungguhnya adalah berupa piramid hanya dapat menopang sejumlah sangat kecil pemenang.   Jika seseorang memerlukan downline sejumlah 1000 orang agar dia memperoleh pendapatan seumur hidup, maka 1.000 orang downline tadi akan memerlukan 1.000.000  orang untuk bisa memperoleh kesempatan yang sama. Jadi, berapa orang yang secara realistis bisa diajak bergabung ?
Syarwat (2009) menyatakan bila objeknya itu orang kurang mampu yang hidupnya sedang kurang mencukupi,  maka semakin menjadilah mimpi tersebut berlebihan, sama dengan halnya dengan mimpi menjadi tokoh-tokoh dalam dunia sinetron TV yang tidak pernah menjadi kenyataan.  Simbol-simbol kekayaan seperti memakai jas dan dasi, pertemuan di gedung mewah atau ke mana-mana naik mobil seringkali menjadi jurus pemasaran.  Sebagai upaya pencitraan diri bahwa seorang distributor itu sudah makmur diduga terasa dipaksakan. Bahkan istilah yang digunakan pun bukan sales, tetapi manager atau general manager atau istilah-istilah lain yang punya citra bahwa dirinya adalah orang penting di dalam perusahaan besar.
Menurut analisis penulis sesungguhnya tidak ada yang salah dalam membeli mobil baru, apalagi itu digunakan untuk menunjang bisnisnya, baik pada perusahaan MLM atau non MLM.  Namun yang menjadi masalah adalah bila nilainya dan cicilannya berlebihan, dan ia hanya berhitung pada masa jayanya, namun kurang berhitung tepat pada keadaan yang tidak menguntungkan.     Ingatlah sesungguhnya Allah tidak suka orang yang berlebihan lagi  membanggakan diri  (At Takaatsur  1):

1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
Ada kecenderungan bahwa masyarakat awam yang kurang luas wawasannya, dapat terlena.   Sering pula penggunaan dalil yang tidak pada tempatnya untuk melegalkan MLM. Seperti sering kita dengar banyak orang yang membuat keterangan yang kurang tepat.   Misalnya bahwa Rasulullah SAW itu profesinya adalah pedagang. Sesungguhnya yang benar adalah beliau memang pernah berdagang dan ketika masih kecil memang pernah diajak berdagang.  Keadaan ini terjadi sebelum beliau diangkat menjadi Nabi oleh Allah SWT pada usia 40 tahun.  Namun setelah menjadi nabi, beliau tidak lagi menjadi pedagang. Pemasukan (ma`isyah) beliau adalah dari harta rampasan perang / ghanimah, bukan dari hasil jualan atau menawarkan barang dagangan, juga bukan dengan sistem MLM.  Lagi pula kalaulah sebelum jadi nabi beliau pernah berdagang, jelas-jelas sistemnya bukan sistem seperti  perusahaan MLM, karena memang tidak ada perusahaan tersebut di masa rasulullah.
B. Analisis tambahan : Mengenai Samsarah dan Dua akad dalam satu akad
  1. 1. Samsarah
Samsarah berarti perantara antara penjual dengan pembeli untuk melangsungkan jual beli (Al Albani et al, 2009:409).    Samsarah terdapat dua macam yaitu perantara sesama warga perkotaan, dimana hukumnya adalah boleh dan upah pelakunya halal.  Yang keduanya adalah orang kota bertindak sebagai perantara orang desa dalam menjual barangnya, yang ini diharamkan.
Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata:
Rasulullah saw. melarang pencegatan kafilah barang dan penjualan orang kota kepada orang desa (badui). (Shahih Muslim No.2798)
Dalam sarahnya, Badri (2008:90) menyatakan bahwa rasulullah melarang perbuatan ini karena akan merugikan masyarakat banyak, sebab pedagang yang kota yang menghadang barang niaga orang-orang kampung, dikuatirkan pedagang tersebut akan menjual dengan harga sangat mahaldi pasar atau di kota.
Dalam perusahaan MLM penjualan yang dilakukan adalah dengan menggunakan orang kota dengan orang kota, atau orang desa dengan orang desa, sehingga praktek ini diperbolehkan.  Bilapun ada transaksi antara orang kota dengan orang desa, biasanya produk MLM sudah ada harga yang pasti, dengan komisi yang pasti sehingga dapat dipastikan konsumen tidak dirugikan mengingat harga dan komisi barangnya sudah pasti tertera ada pada tabel.
  1. 2. Dua akad dalam satu akad
Dua akad dalam satu akad dapat berarti pula dua jual beli dalam satu jual beli.  Hal ini dilarang dalam transaksi jual beli.  Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa nabi pernah bersabda ( al-Albani et al, 2006:461) :
Nabi melarang dua jual beli dalam satu jual beli (HR at Tarmidzi dan yang lainnya)
Dari hadist diatas jumhur ahli fikh dari kalangan sahabat, tabiin dan para imam mujtahud menyatakan ulama menyatakan bahwa dua jual beli dalam satu jual beli adalah batil dan merusak.  Misalnya pada penjualan barang dengan menggunakan harga tempo (kredit) atau harga tunai.  Pada keadaan ini ternyata sang pembeli dan penjual tidak memutuskan apakah barang tersebut dijual dalam keadaan tunai atau tempo, dan sudah terjadi transaksi (transaksi tidak jelas apakah tempo atau tunai).  Ini jalan batil dan merusak.   Namun ada pengertian dari kalangan jumhur dan sekelompok ulama bahwa bila dari penjual dan pembeli sepakat mengambil salah satu akad (salah satu harga) sebelum berpisah, maka hal ini diperbolehkan (al-Albani et al, 2006:461).
Persoalan ini juga banyak dibahas dalam praktek simsar (perantara) pada dunia MLM biasa maupun MLM syariah.  Apakah usaha MLM merupakan praktek simsar dua akad dalam satu akad ? Pekerjaan samsarah/simsar berupa makelar, distributor, agen dan sebagainya dalam fiqih Islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang dengan imbalan. Pada dasarnya, para ulama seperti Ibnu ‘Abbas, Imam Bukhari, Ibnu Sirin, ‘Atha, Ibrahim, memandang boleh jasa ini. (Fiqh As-Sunnah, III/159). Landasan syara mengenai ijarah adalah berdasarkan Al Quran, As Sunnah dan ijma para ulama :
Dalam kitab Al Quran, Allah berfirman :

… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; … (Surat Thalaq : 6)
Dalam kitab As Sunnah
Berikanlah upah pekerjaan sebelum keringatnya kering (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Umar)
Dalam Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma bahwa ijarah dibolehkan sebab membawa manfaat bagi manusia (Syafei, 2001:124)
Namun untuk sahnya pekerjaan makelar ini harus memenuhi beberapa syarat disamping persyaratan diatas, antara lain sebagai berikut (Farid, 2007) :
1. Perjanjian jelas kedua belah pihak.  (An-Nisa: 29)
2. Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
3. Obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram. Distributor dan perusahaan harus jujur, ikhlas, transparan, tidak menipu dan tidak menjalankan bisnis yang haram dan syubhat.
Pada praktek perusahaan MLM selalu memiliki owner (pemilik perusahaan dan pemilik barang) kemudian upline yang mengiformasikan sejumlah produk atau jasa kepada kepada down line 1, kepada dowline 2 dan seterusnya.  Jumlah upah atau imbalan jasa yang harus diberikan kepada makelar atau distributor adalah menurut perjanjian, sesuai dengan firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) itu.” (Al-Maidah:1) dan juga hadits Nabi: “orang-orang Islam itu terikat dengan perjanjian-perjanjian mereka.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Hakim dari Abu Hurairah).
Pada praktek MLM yang menggunakan produk halal, ada beberapa kalangan yang melihat bahwa walaupun produk halal, namun tidak lepas dari sistem yang digunakan.  Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.  Sehingga akad dalam sistem MLM yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram (Abdurahman, 2007).
Penulis tidak melihat bahwa makelar atas makelar adalah hal yang dilarang dalam fikh Islam.  Ini tidak dilarang mengingat dalam jual beli sering terjadi sesuatu yang kompleks sehingga dibutuhkan lebih dari satu makelar untuk mendapatkan suatu barang.  Tidak mungkin dalam kegiatan usaha bisnis yang makin kompleks, seseorang hanya mengandalkan satu makelar saja, karena bila ini wajib dilakukan, berapa banyak usaha yang tidak berjalan, mengingat seringkali di lapangan kita menemukan seseorang yang dapat membantu usaha, berasal dari beberapa teman atau makelar.  Begitu pula pada pekerjaan proyek besar biasanya juga membutuhkan makelar atau sub kontraktor sebelum mengerjakan sesuatu.  Yang sangat perlu diperhatikan dalam praktek samsarah adalah produknya halal dan sistemnya halal, serta tidak ada penipuan.  Mengapa penulis menekankan pada penipuan ? Karena kadang dalam usaha untuk mendapatkan level tertentu, para anggota memberikan harapan yang berlebihan dan dikuatirkan pada masuk pada pembicaraan yang tidak jujur.  Oleh karena itu dalam transaksi harus dipenuhi akad-akadnya, misalnya ada akad perjanjian secara tertulis.  Dalil dalam  analisis ini adalah (Al Maidah :1) :

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …
Pada posisi makelar (calo, atau perantara) dan mendapatkan keuntungan  dalam Islam itu boleh (Qhardhawi, 2008:249), tapi yang terjadi dalam MLM adalah makelar memakelari makelar.  Sekali lagi disebutkan bahwa ini tidak sesuai dengan definisi makelar yang disampaikan para ulama, yang memberikan pengertian bahwa makelar adalah perantara antara produsen / pemilik dengan konsumen.
Pendapat ini tentu bisa benar.  Namun demikian definisi yang diberikan para ulama adalah waktu itu belumlah menyentuh keadaan perdagangan saat ini yang demikian rumit dan modern, apalagi saat itu belum ada perusahaan dengan menggunakan sistem MLM seperti saat ini.  Keadaan saat itu tentu  tidak sesuai dengan  keadaan sekarang saat ini. Apalagi  bisnis MLM tidak mempunyai bentuk baku dan tidak hanya satu dimana masing-masing punya spesifikasi tertentu yang bisa saja berbeda dari yang kita bayangkan. Demikian pula pemahaman tentang satu akad dua transaksi sebagaimana dalam hadits, tidak hanya ada satu penafsiran yang disepakati menurut ulama. Dan tidak pula ada nash yang melarang adanya makelar bertingkat.  Ustadz  Kholiq dari Hidayatullah (2009) berpendapat bahwa hukum MLM tidak bisa dipukul rata, tetapi perlu pemilahan, sekaligus memperhatikan unsur-unsur lain seperti penipuan dengan janji-janji dan iming-iming cepat kaya, kemudahan mendapat bonus dan lain-lain. Juga adakah unsur money game (diharamkan) di sana, di mana perusahaan sebenarnya memberi komisi itu berasal dari hasil uang pendaftaran anggota baru.
Dengan demikian menurut hemat penulis, bahwa kegiatan perantara (calo) dalam MLM adalah diperboleh selama memenuhi kaidah syariat dan persyaratan jual beli yang telah dibahas oleh penulis sebelumnya.  Namun demikian  dalam memilih usaha, tetap seorang muslim bersikap sangat hati-hati,  selektif, tidak gegabah untuk menumbuh kembangkan tubuhnya, istri dan anak-anaknya kecuali dari sesuatu yang jelas halalnya.  Wallahu a’lam bis shawab







Ekonomi dan Perbankan Syari’ah
serta korelasinya dengan mahasiswa Syari’ah
(Kajian pengantar)
Oleh : Ariyadi Annahly Ibnul Huda

Muqaddimah
Islam adalah agama yang sempurna nan mulia. Ajarannya membawa manusia kepada kebahagian dan kemaslahatan, ajarannya mencangkup segala aspek kehidupan manusia, mulai dari manusia tersebut bangun tidur hingga tidur kembali inilah ciri khas Islam yang bernama Syumuliyyah ( integral atau konperenhensip ). Islam tidak hanya menetapkan suatu peraturan atau hukum kecuali semua itu sesuai dengan fitrah manusia  yaitu kemampuan, kebutuhan, dan kemaslahatan manusia itu sendiri. Itulah ciri Islam yang bernama Insaniyah. Dan dua ciri khas Islam ini ada karena Islam itu sendiri adalah agama yang mempunyai karakteristik pertama yaitu Rabbaniyah , aritnya adalah Islam adalah agama yang telah dibuat dan dirancang oleh sang pemilik keagungan dan kesempurnaan. Ajaran Islam ditetapkan oleh yang tuhan pencipta manusia dan jagad raya , oleh karena itu Ia mengetahui jelas apa yang dibutuhkan manusia, Ia mengetahui apa- apa saja yang membawa manfaat dan menjadikan mudharat bagi ciptaannya.
Diantaranya yaitu aspek ekonomi. Perkara atau permasalahan ekonomi bukanlah sesuatu yang asing atau baru bagi Islam. Islam semenjak empat belas abad yang lalu telah jauh berbicara tentang masalah ekonomi, pada masa rasulullah SAW.  buktinya telah terjadi transaksi-transaksi seperti jual beli sewa menyewa, dll. Dan terus berkembang hingga pada masa- masa pengkodifikasian turats fiqhiyah,yaitu yang kita kenal dengan istilah fiqh Muamalat, kita saksikan Bersama bahwasannya bagian ini tidak diabaikan atau dilupakan oleh ulama-ulama terdahulu kita buktinya begitu banyak turats –turats yang mebahas tentang bagian ini, baik itu yang bersifat umum yaitu yang didalam suatu kitab dibahas seluruh bagian ilmu fiqh seperti ibadah, dll atau yang khusus membahas tentang bagian muamalah saja seperti kitab Al-amwal oleh Abu Ubaid, al-Hisbah Ibn Taimiyah, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu umat Islam mengabaikan bagian yang penting didalam Islam ini, hingga pemahaman yang utuh akan fiqh muamalat menjadi terpotong –potong tidak menyeluruh, hingga pada masanya datanglah orang-orang diluar Islam yang memahami teori yang utuh dan menyeluruh ini lalu mereka kemas dengan bentuk dan mode yang mereka kehendaki, maka dapat kita simpulkan  teori-teori ekonomi modern saat ini merupakan hasil dari ajaran –ajaran Islam yang dikembangkan dan diformulasikan dengan bentuk dan model ysng baru saja berdasarkan hawa nafsu belaka kepuasaan dan kesenangan duniami sementara, karena pengabaian umat Islam terhadap sektor ekonomi ini maka yang berkembang , dipraktekkan adalah sistem ekonomi ribawi yang dikenal dengan ekonomi konvensional. Sangat menyedihkan praktek riba meraja lela, umat Islam terjatuh dalam lembah haram, terperosok dalam jurang kebatilan. Dan bertambah menyedihkan banyak dari kalangan umat Islam sendiri yang juga ikut –ikutan dalam memerangi ajaran islam hingga berani untuk mengubah aturan baku yang telah Allah tentukan seperti penghalalan riba dengan bentuk baru saat ini ini. Oleh karena itu muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran Islam. Dalam kitab Al-Mu’amalah fil Islam, Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id mengatakan :
ومن ضرورات هذا الاجتماع الانسان وجود معاملات ما بين أفراده و جماعته
ولذالك جاءت الشريعة الالهية لتنظيم هذه المعاملات  وتحقيق مقصودها والفصل بينهم
Artinya :
Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia adalah “Muamalah”, yang mengatur hubungan antara individu dan masyarakat dalam kegaiatan ekonomi. Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukumnya kepada mereka Menurut ulama Abdul Sattar di atas,  para ulama sepakat tentang mutlaknya ummat Islam memahami dan mengetahui hukum muamalah maliyah (ekonomi syariah)
قد أتفق العلماء على أن المعاملات نفسها ضرورة بشرية
Artinya :
Ulama sepakat bahwa muamalat itu sendiri adalah masalah kemanusiaan yang maha penting (dharuriyah basyariyah)
Fardhu‘Ain
Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim. Husein Shahhatah, selanjutnya menulis,  “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk Allah semata” Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun untuk menjadi  expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah
Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :
لا يبع في سوقنا  الا من قد تفقه في الدين
  “Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi)
Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa umat Islam :          
Tidak boleh beraktifitas bisnis, kecuali faham tentang fikih muamalah
Tidak boleh berdagang, kecuali faham fikih muamalah
 Tidak boleh beraktivitas perbankan,   kecuali faham fiqh muamalah,tidak boleh beraktifitas asuransi,  kecuali faham fiqh muamalah,  tidak boleh beraktifitas pasar modal, kecuali faham fiqh muamalah, tidak boleh beraktifitas koperasi,  kecuali faham fiqh muamalah,  tidak boleh beraktifitas pegadaian,    kecuali faham fiqh muamalah,  tidak boleh beraktifitas reksadana,    kecuali faham fiqh muamalah  ,  tidak boleh beraktifitas bisnis MLM, kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas jual-beli,  kecuali faham fiqh muamalah , tidak boleh bergiatan ekonomi apapun,    kecuali  faham fiqh   muamalah.

 Sehubungan dengan itulah Dr. Abdul Sattar menyimpulkan :

ومن هنا يتضح أن المعاملات هي من لب مقاصد الدينية لاصلاح الحياة البشرية ولذالك دعا اليها الرسل من قديم باعتيارها دينا ملزما لاخيار لأحد فيه.
 
Artinya : Dari sini jelaslah bahwa “Muamalat” adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para Rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan, Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk tidak mengamalkannya.(Hlm.16)
Dalam konteks ini Allah berfirman :

وَإِلىَ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهِ غَيْرُهُ وَلاَتَنقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِنِّي أَرَاكُم بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُّحِيطٍ {84} وَيَاقَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلاَتَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَآءَهُمْ وَلاَتَعْثَوْا فِي اْلأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya :    ‘Dan kepada penduduk Madyan, Kami
n utus saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, “Hai Kaumku sembahlah Allah, sekali-kali Tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)”.    Dan Syu’aib berkata,”Hai kaumkun sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85)
Dua ayat di atas mengisahkan perdebatan kaum Nabi Syu’aib dengan umatnya yang mengingkari agama yang dibawanya. Nabi Syu’aib  mengajarkan I’tiqad dan iqtishad (aqidah dan ekonomi). Nabi Syu’aib mengingatkan mereka tentang kekacauan transaksi muamalah (ekonomi) yang mereka lakukan selama ini.
Al-Quran lebih lanjut mengisahkan ungkapan umatnya yang merasa keberatan diatur transaksi ekonominya.
قَالُوا يَاشُعَيْبُ أَصَلَوَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَايَعْبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَانَشَاؤُا إِنَّكَ لأَنتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ
Artinya :Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kamu meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyangmu atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang penyantun lagi cerdas”.    Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan muamalah
n
  
n  Ayat ini juga menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh sekehendak hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah, yang disebut dengan syari’ah.Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat manusia tidak boleh sekehendak hati mengelola hartanya, tanpa aturan syari’ah. Syariah misalnya secara tegas mengharamkan bunga bank. Semua ulama dunia yang ahli ekonomi Islam (para professor dan Doktor) telah ijma’ mengharamkan bunga bank. (Baca tulisan Prof.Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof.Ali Ash-Sjabuni, Prof Muhammad Akram Khan). Tidak ada perbedaan pendapat pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Untuk itulah lahir bank-bank Islam dan lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Jika banyak umat Islam yang belum faham tentang bank syariah atau secara dangkal memandang bank Islam sama dengan bank konvensianal, maka perlu edukasi pembelajaran atau pengajian muamalah, agar tak muncul salah faham tentang syariah.

Oleh karena itu tulisan sederhana ini mencoba untuk memberikan kunci pembuka untuk mengenal dan memahami Ekonomi Islam dan Perbankan Islam yang saat ini sedang berkembang, Karena saat ini  dibutuhkan pemahan yang utuh dan menyeluruh bagi seluruh umat muslimin . Bisa diklasifikasikan kita membutuhkan ahli - ahli atau pakar dibidang ini yang dikhususkan bagi mahasisiwa- mahasiswa universitas Islam umumnya dan khususnya mahasiswa yang di  jurusan Syariah, dan juga kita memerlukan pemahaman umum dan mendasar bagi masyarakat hingga mereka bisa ikut bergabung dan ikut serta dalam perjalanan Ekonomi dan Perbankan Islam. Karena apalah artinya system dan tatanan yang utuh dan rapih jika tidak diminati karena ketidak cukupan ilmu untuk memahaminya, hingga tidak membuat mereka merasa ini ada kelebihan, keuntungan, serta keutamaan ketika mereka memilih untuk bergabung diPerbankan Syari’ah.
Dalam tulisan ini di bagi dalam dua bab
Bab pertama                    : Ekonomi Islam
didalamnya terdapat beberapa pembahasan  yaitu
pembahasan  pertama   : defenisi Ekonomi
pembahasan  kedua       : karakteristik Ekonomi Islam
pembahasan ketiga       : prinsip –prinsip ekonomi Islam
pembahsan keempat      : perbedaan antara ekonomi Islam dan ekonomi Konvensional
Bab kedua                    : Perbankan Islam Indonesia
didalamnya terdapat beberapa pembahasan yaitu:
pembahasan  pertama   : Islamic bank introduction ( pengertian, sejarah )      
pembahasan  kedua       : prinsip atau tujuan dasar  bank islam
pembahasan  ketiga      : konsep dan operasional Bank Islam
pembahasan  keempat   : perbedaaan antara bank Islam dan Bank Konvensional.
pembahasan  kelima      : kendala dan tantangan bank Islam
pembahasan  keenam    : tugas dan pr kita mahasiswa syari’ah




Ekonomi Islam
Defenisi Ekonomi Islam
sebelum memaparkan dan menjelaskan tentang ekonomi Islam maka alangkah baiknya kita mengetahui dulu system ekonomi konvensional beserta alirannya , hingga pada akhirnya tampak kekurangan serta aib-aib dari semua sistem tersebut, baru setelah itu Islam dengan syariah nya yang mulia dan sempurna sebagai alternative akhir untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita bisa mengklasifikasikan ekonomi itu menjadi dua macam, jika dilihat dari sumbernya yaitu pertama ekonomi konvensional atau dengan istilah ekonomi wad’I, dan Ekonomi Rabbany, yang dikenal dengan istilah ekonomi Islam. Dikatakan ekonomi konvensional atau wad’I karena tata aturan dan pikiran yang ada dan menghukumi ekonomi tersebut berasal dari pikiran –manusia semata yang berlandaskan kepuasan dan kesengangan duniawi semata atau dengan kata lain tujuan dari berekonomi mereka hanya ingin memberikan profit keuntungan bagi nafsu mereka meskipan tindakan-tindakan yang mereka lakukan bertentangan dengan ajaran agama mereka.
Didalam ekonomi konvensional dikenal beberapa paham ,aliran atau system ekonomi dan masing-masing dari system tersebut memilik perbedaaan yang mendasar hingga bisa dikatangan mereka bermusuhan atau memiliki jurang pemisah didalam idiologi dan falsafah diantaranya yaitu
1.      Kapitalisme                                                                                                                                                     Faham Kapitalisme berasal dari Inggris abad 18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara.  Sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja, tumbuh aliran pemikiran liberalisme di negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian merambah ke segala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776.  Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life).  Smith berpendapat motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar "Bukan berkat kemurahan tukang daging, tukang pembuat bir, atau tukang pembuat roti kita dapat makan siang," kata Smith "akan tetapi karena mereka memperhatikan kepentingan pribadi mereka. Kita berbicara bukan kepada rasa perikemanusiaan mereka, melainkan kepada cinta mereka kepada diri mereka sendiri, dan janganlah sekali-kali berbicara tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka." (Robert L. Heilbroner;1986, UI Press). Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, pada akhirnya melahirkan ekonomi Kapitalis. Milton H. Spencer (1977), menulis dalam bukunya Contemporary Economics: "Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif." Lembaga hak milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Pemberian hak pemilikan atas harta kekayaan memenuhi tiga macam fungsi ekonomi penting: Para individu memperoleh perangsang agar aktiva mereka dimanfaatkan seproduktif mungkin. Hal tersebut sangat mempengaruhi distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia. Ia memungkinkan laju pertukaran yang tinggi  oleh  karena  orang  memiliki  hak pemilikan atas barang-barang sebelum hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain. Dengan demikian kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran kepentingan individu.  Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak nampak (the invisible hand), untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat. Kebebasan ekonomi tersebut juga diilhami oleh pendapat Legendre yang ditanya oleh Menteri keuangan Perancis pada masa pemerintahan Louis XIV pada akhir abad ke 17, yakni Jean Bapiste Colbert.  Bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha, Legendre menjawab: "Laissez nous faire" (jangan mengganggu kita, [leave us alone]), kata ini dikenal kemudian sebagai laissez faire. Dewasa ini prinsip laissez faire diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah sehingga timbullah: individualisme ekonomi dan kebebasan ekonomi.
Bisa kita simpulkan bahwasannya paham kavitalisme ini berdiri tegak diatas palsafah individualism, individu adalah asas atau pondasi dari paham tersebut, yang dida.almnya hanya ada istilah bagaimana cara memuaskan diri masing-masing, mmenguntungkan individu –individu saja. Meskipum bertentangan atau melangggar kepentingan atau maslahat umu ( masyarakat).
2.      Sosialisme
Dalam kehidupan sehari-hari istilah sosialisme digunakan dalam banyak arti.  Istilah sosialisme selain digunakan untuk menunjukkan sistem ekonomi, juga digunakan untuk menunjukkan aliran filsafat, ideologi, cita-cita, ajaran-ajaran atau gerakan.  Sosialisme sebagai gerakan ekonomi muncul sebagai perlawanan terhadap ketidak adilan yang timbul dari sistem kapitalisme. John Stuart Mill (1806-1873), menyebutkan sebutan sosialisme menunjukkan kegiatan untuk menolong orang-orang yang tidak beruntung dan tertindas dengan sedikit tergantung dari bantuan pemerintah. Sosialisme juga diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis seperti pertambangan, jalan-jalan, dan jembatan, kereta api, serta cabang-cabang produk lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak.  Dalam bentuk yang paling lengkap sosialisme melibatkan pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertanian oleh negara, dan menghilangkan milik swasta (Brinton:1981). Dalam masyarakat sosialis hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa kerbersamaan.  Untuk mewujudkan rasa kebersamaan ini, alakosi produksi dan cara pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara
3.      Komunisme                                                                                                                                            Komunisme muncul sebagai aliran ekonomi, ibarat anak haram yang tidak disukai oleh kaum Kapitalis. Aliran ekstrim yang muncul dengan tujuan yang sama dengan sosialisme, sering lebih bersifat gerakan ideologis  dan mencoba hendak mendobrak sistem kapitalisme dan sistem lain yang telah mapan.   Kampiun Komunis adalah Karl Marx, sosok yang amat membenci Kapitalisme ini merupakan korban dan saksi sejarah, betapa ia melihat para anak-anak dan wanita-wanita -termasuk keluarganya- yang di eksploitir para kapitalis sehingga sebagian besar dari mereka terserang penyakit TBC dan tewas, karena beratnya penderitaan yang mereka alami. Sementara hasil jerih payah mereka dinikmati oleh para pemilik sumber daya (modal) yang disebutnya kaum Bourjuis. Di ilhami pendapat Hegel yang menyatakan bahwa perubahan historis merupakan hasil kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain. Pertentangan tersebut pada dasarnya bersifat ekonomis atau materialistis, dengan demikian faktor-faktor ekonomi menurut Marx mejadi sebab pokok terjadinya perubahan.  Kata Komunisme secara historis sering digunakan untuk menggambarkan sistem-sistem sosial di mana barang-barang dimiliki secara bersama-sama dan didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan      masing-masing anggota   masyarakat.  Produksi dan konsumsi bersama berdasarkan kapasitas ini     merupakan       hal pokok dalam mendefinisikan           paham komunis, sesuai  dengan   motto   mereka: from each according to his abilities to each according to his needs (dari setiap orang sesuai dengan kemampuan, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhan).
Walaupun tujuan sosialisme dan komunisme sama, tetapi dalam mencapai tujuan tersebut sangat berbeda. Komunisme adalah bentuk paling ekstrem dari sosialisme. Bentuk sistem perekonomian yang didasarkan atas sistem, di mana segala sesuatunya serba dikomando.  Begitu juga karena dalam sistem komunisme negara merupakan penguasa mutlak, perekonomian komunis sering juga disebut sebagai "sistem ekonomi totaliter", menunjuk pada suatu kondisi sosial di mana pemerintah main paksa dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, meskipun dipercayakan pada asosiasi-asosiasi dalam sistem sosial kemasyarakatan yang ada.  Sistem ekonomi totaliter dalam praktiknya berubah menjadi sistem otoriter, dimana sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh segelintir elite yang disebut sebagai polit biro yang terdiri dari elite-elite penguasa partai Komunis.
Kita simpulkan bahwasanya paham sosialisme ( isytiroky ) dan paham komunisme ( syuyu’i ) adalah paham yang menentang paham kapitalisme yang mengedepankan prinsip individulisme, sementara dua pahan terakhir ini berdiri tegak atas prinsip dan falsafah masyarakat, kemaslahatan masyarakat, kebutuhana , serta kepentingan masyarakat yang selalu dikedepankan meskipun akan mengorbankan kebuthan -kebutuhan atau kepentingan pribadi atau individu di suatu negara tersebut. Artinya dua paham tersebut belum dan tidak akan berhasil dalam memberikan kesejahteraan dan kebahagian kepada manusia di dunia ini, bahkan kesengsaraan dan kemelaratan yang mereka hasilkan dan dapatkan ketika menjalankan atau mempraktekkan paham-paham tersebut dalam kehidupan mereka sehari- hari. Inilah tiga sistem atau aliran ekonomi yang berasal dari hasil pikiran manusia dan ini semua berbeda dengan sistem ekonmi Islam yang ada. Disinilah Islam datang dengan memberikan obat bagi penyakit –penyakit yang ada pada masing-masing paham tersebut, Prof.Dr. Yusuf Qarhadawi berkata ” dalam hal ini Islam memiliki perbedaan yang prinsip di dalam melihat  kepentingan atau hak-hak individu dan masyarakat, Islam memiliki pandangan yang moderat hingga tidak terjadi tabrakan dan benturan atau kerugian dari masing-masing kebutuhan, bahkan Islam menyelaraskan dan mengharmoniskan dua kepentingan tersebut hingga mereka bisa untuk hidup saling berdampingan bahkan menguatkan satu sama lainya. Inilah ummat pertengan dengan sistemnya yang moderat ( ألا تطغوا فى الميزان * واقيموا الوزن بالقسط ولا تخسر الميزان )artinya : supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca tersebut. ( Ar-Rahman 8-9 ). Jadi prinsipnya di dalam Islam tidaka ada طغيان pelampauan batas, dan tidak ada pula إخسار pengurangan( ketidak seimbangan ) yang semua ini menyebabkan kerugian. Akan tetapi tidak benar jika katakan Ekonomi Islam adalah pertengahan akomodasi kapitalisme dan sososialisme. Ekonomi Islam mempunyai karakteristiknya sendiri, hatta jikapun terdapat poin kesamaan tertentu dalam mekanismenya dengan ekonomi konvensional. Membicarakan ekonomi Islam bukan hanya soalan bank syari’ah dan ZISWAF sahaja, tetapi mencakup ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pembiayaan publik hingga konsep pembangunan.
Apa itu Ekonomi Islam?
Untuk mengetahui defenisi ekonomi Islam kita mesti mengungkapkannya dalam bahasa bahasa arab yaitu إقتصاد الإسلامى   
Iqtisad dalam bahasa arab artinya  I’tidal : keseimbangan, atau keistiqomahan. Di dalam Al-Qur’an disebutkan  وعلى الله قصد السبيل ، فمنهم مقتصد، واقصد فى مشيك.
Dan makna kata dalam ayat tersebut adalah tidak lepas dari pengertian  I’tidal atau keseimbangan dari dua posisi atau katagori, yaitu keseimbangan agar jangan sampai kita tergolong katagori ( ifrot) dan tidak pula ( tafrit).
Ada beberapa pengertian atau defenisi dari Ekonomi Islam diantaranya:
Takrif Dr. Muhammad Syauqy Fanjary : sekumpulan ushul atau prinsif- prinsip ekonomi yang di bawa oleh Islam, diperoleh dari Qur’an dan Sunnah, serta metode atau perencanaan ilmiah dan solusi ekonomi yang dirancang oleh pemerintahan yang berdaulat.
Takrif Dr. Muhammad Abdulllah Araby : sekumpulan ushul, atau dasar-dasar umum yang diperoleh dari Quran dan sunnah untuk membangun ekonomi yang berpondasikan dasar-dasar yang kita dapatkan, kemudian di praktekkan sesuai dengan kondisi suatu tempat di suatu masa.
Defenisi Dr. Ahmad Naggar “ pandangan-pandangan atau ketentuan Islam yang berhubungan dengan harta dan kebutuhanhidup atau ekonomi sehari-hari dan di praktekkan dalam kehidupan nyata.
Defenisi  Dr . Syahatah ekonomi Islam adalah sekumpulan kaidah dan prinsip umum yang diperoleh dari alquran ,sunnah dan ijtihad ulama yang kredibel dan memiliki kapabel, yang menjadi dasar atau pijakan dalam bidang mu’amalah, yang tidak bertentangan dengan maqosid syariah bahkan mendukung, serta sejalan dalam mewujudkannya yaitu memeliharaagama, harta, nasab, diri . dan kaidah tersebut bersifat tetap ( tsabat), universal, integral, sesuai dengan fakta dan realita kehidupan manusia, dan Terakhir kaidah tersebut juga bersifat bisa berubah-ubah ( murunah ) di dalam praktek, proses, bentuk, fasilitas, dalam pelaksanaannya. Hingga akhirnya dalap memenuhi kebuthan manusia materi dan rohani.
Defenisi penulis “ teori –teori umum, prinsip- prinsip atau kaidah-kaidah dasar yang berhubungan dengan masalah ekonomi yang telah ditentukan dan titetapkan oleh Allah didalam Quran maupun Sunnah , dan di praktekkan dalam rangkaian aklak dan nilai moral di dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan, atau kemaslahatan masyarakat dalam suatu masa atau periode tertentu asalkan tidak keluar dari rambu-rambu yang telah ditetapkan, yaitu penghalalan apa yang telah diharamkan dalam perkara muamalah dan bertujuan agar terciptanya keadilan dan kesejahteraan yang merata  di dunia dan dengan niat mencari Ridlo Allah.
Dari defenisi yang dikemukakan penulis ada beberaa unsur dari ekonomi Islam :
1.     Berupa teori umum atau prinsip prinsip dasar ekonomi
2.     Berasal dari Alquran maupun sunnah serta dalil syariah lainnya
3.     Berhubungan erat dengan akhlak dan moral Islami
4.     Perkara-perkara yang berubah-ubah bisa disesuaikan dengan situasi ,kondisi serta waktu dan tempat.
5.     Tidak melanggar kaidah mua’,alah  Aslu filmu’a,lah alibah madal dalil alah tahrimuh
6.     Bertujuan memenuhi kebutuhan manusia baik rohani maupun materi hingga terbentuknya keadilan dan kesejahteraan yang merata.
7.     Semua aktifitas dan usaha dilandasari atas ridlo Ilahi.
Jadi bisa kita simpulkan setelah kita paparkan defenisi-defenisi diatas maka ekonomi Islam adalah sistem yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang primer atau asasi, di dalam bingkai akhlak moral dan nilai-nilai budi pekerti  di dalam ajaran agama islam yang mempunyai hubunga nyang erat diantara satu sama lainnya, hingga melahirkan keseimbangan antara dua kepentingan dan kebutuahnan yaitu kepentingan individu dan kepentingan masyarakat beserta usaha-usaha ataupun aktifitas dari masing-masing keduanya pun akan berjalan dan tidak saling berbenturan dan tabrakan, hingga pada akhirnya adalaha terpenunya kebutuhan mansuia baik itu bersifat materi maupoun rohani hingga mencapai derajt kesejahteraan, serta merealisasikan kemajuan manusia di seluruh sektor kehidupannya dan  menjaga harhga diri serta kehormatan manusia itu sendiri. Oleh karena itu sistyem ekonomi islam  harus dipraktekkan dan dijadikan landasan hukum dalam praktek muamalah, hingga tercapai nya target yang ditentukan kesejahtrean dan keadilan menghisai kehidupan manusia beserta ridlo Allah pun kita dapatkan. Dan dalam praktenya nya maka sumber kaidah –kaidah asal dan dasar tersebut diiperoleh dari alquran, hadits, ijmah para fuqaha, turats Islami.
Perkembangan studi ekonomi Islam
Sementara itu, kajian ilmu ekonomi Islam di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 70-an. Namun perkembangan mulai  marak pada dekade 90-an. Secara informal ilmu ekonomi Islam  dikembangkan oleh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional. Diantaranya adalah The International Intitute of Islamic Thought yang telah menyelenggarakan kuliah informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal ekonomi Islam telah diselenggarakan di Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan Universitas Brawijaya. Para cendikiawan muslim yang berkecimpung di dunia akademik juga tidak ketinggalan. Melalui Ikatan Ahli Ekonomi
Islam Indonesia (IAEI), terus melakukan kajian-kajian serius seputar perkembangan, ekonomi Islam dengan berbagai  agenda kegiatan demi tersosialisasi-nya ekonomi Islam di tengah-tengah masyarakat.  Dan yang cukup membanggakan adalah bahwa ilmu ekonomi Islam saat ini telah menjadi trend, sehingga kajian-nya tidak hanya dilakukan oleh IAIN dan kalangan umat Islam saja, namun universitas umum dan kalangan non-muslim juga turut melakukan kajian-kajian ekonomi Islam melalui lembaga-lembaga kajian ekonomi Islam di masing-masing  perguruan tinggi.
Dikalangan mahasiswa, perkembangan ilmu ekonomi Islam ditandai dengan munculnya kelompok studi mahasiswa yang intens mengkaji ekonomi Islam diberbagai perguruan tinggi. Dan embrio kelompok studi ekonomi Islam ini akhirnya  bergabung menjadi sebuah Forum Silaturahmi Studi ekonomi Islam Se- Indonesia yang bertujuan mensosialisasikan dan  membumikan ajaran ekonomi Islam di Indonesia khususnya di kalangan akademisi.
Para profesional yang berkecimpung di dunia bisnis juga tidak ketinggalan. Melalui Masyarakat Ekonomi Syariah (MES),  diskusi-diskusi aktual seputar perkembangan ekonomi syariah dilakukan setiap bulannya. Sehingga menjadi ajang bagi sosialisasi dan menjembatani antara teori ilmu ekonomi Islam dengan perkembangan aktual bisnis di lapangan.

Karakteristik ekonomi Islam
Ekonomi Islam memili karakteristik yang tidak dimiliki sistem ekonomi lainnya yaitu:
1.     Bersumber dari wahyu Ilahi
Artinya, seperti yang telah kita paparkan sebelumnya bahwasannya ekonomi Islam berasal dari Allah swt yang menciptakan manusia, bahkan dunia beserta isinya, dan mnegetahui apa yang dibutuhkan oleh makhluk ciptaanya, memahmi kemampuan yang dimiliki oleh ciptanyaa. Adapun sumber ilahi ini dapat diambil dari alquran, sunnah, ijma’ ulama, qiyas dan dalil dalil syar’i lainya.
2.     Mempunyai orientasi dan cita-cita rabbany
Artiyna tujuan sistem ekonomi Islam sesuai dengan apa yang dibawa dan di inginkan oleh syasriat Islam, tidak bertentangan, bahkan mendukung tujuan mulia tersebut. Ekonomi Islam bertuuan untuk memenuhi kebutuhan –kebutuhan manusia baik secara individu maupun masyarakat, sesuai dengan kaidah pelimpahan kekuasan oleh Allah kepada manusia hingga dapat mengatur dan mengelolah harta dan sumber-sumber lainnya hingga bisa menghasilkan manfaat bagi manusia itu sendiri. Seorang muslim pahan dan yakin bahwasannya harta adalah milik Allah semata, oleh karenya keridoa sang pemilik adalah tujuan utama manusia di dalam aktifitas dan usaha-usaha ekonomi nya. Firman Allah  ( alqosos 77 ), ( alinsan 9 ), allail 17 -20 ).
3.     Kontrol ganda
Artinya, di dalam Islam manusia tidak bebas untuk melakukan apa saja sekehendaknya, mereka di dalam aktifitasnya mempunyai kontrol ganda, yaitu pengawasan intiren dan pengawasan ekseteren. Pengawasan eksteren berupa pengawasan manusia, Interen berupa pengawasan hati atau diri sendiri, karena di dalam Islam seorang muslim selalu merasa dipantau oleh Ilahi, inilah yang mebedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, jadi perilaku seorang mu’min di dalam kegiatan ekonominya sama seperti atau ketika mereka di dalam Ibadah mereka,الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تراه فإنه يراك ( حديث صحيح )
4.   Pengkolaborasian antara perkara-perkara tetap dan perkara-perkara yang berubah-ubah
Di dalam ekonomi ISlam ada perkara-perkara yang tetap hukumnya tidak bisa berubah-ubah meskipun zaman dan tempat berubah, ataupun dirubah karena kebutuhan dan kemaslahatan, diantaranya pengharaman riba dan perjudian, penghalalan jual beli yang sesuai syarat dan rukunnya menurut syara’, penentuan nisob dan kadar zakat, pembagian harta warisan dll. Tidak ada seorangpun yang mengubah hal-hal tersebut, baik yang menghalalkan apa yang telah diharamkan, ataupun sebaliknya mengharamkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah. Sebagaimana yang kita yakini bahwasannya Islam adalah agama penutup, penyempurna bagi agama-agama sebelumnya, ia adalah agama yang kekal hingga akhir zaman. Oleh karena itu disamping atau selain perkara-perkara yang tetap diatas, maka dianggap hal-hal yang berubah-ubah diberikan kebebasan bagi manusia untuk mengaturnya sesuai dengan kebutuhan, kemaslahatan, serta waktu dan tempat hingga tercapai kesejahteraan. Maka dari itu kita temukan di dalam ekonomi Islam sebuah mabda’ atau prinsip yang berbunyi " الأصل فى المعاملات الإباحة، فلا يحظر منها إلا ما يبين الدليل منعه، فإذا تبين المنع فهى محظورة غير مباحة، وإذا لم يوجد دليل منع، فلا نحتاج دليل إباحة، لأن هذا هو الأصل.
dari kaidah inilah yang membuat pergerakan ekonomi Islam luas, bebas. Bahkan menurut beberapa pakar ekonomi Islam dan ini yang didukung oleh penulis pribadi yaitu tidak salah bagi kita untuk menjalankan atau mempraktekkan system ekonomi konvensional yang telah ada saat ini, hanya saja hal-hal yang bertentangan dengan syari’ah sperti beberapa praktik perbankan yaitu bunga bank yang pada hakikatnya adalah riba’ maka hal-hal itu yang kita hapuskan dan menggantinya dengan solusi Islami. Dan kita pun bebas untuk membuat terobosan baru bagi perkembangan ekonomi Islam yang belum ada di dalam system ekonomi konvensional saat ini, asalkan sesuai dengan kaidah muamalah diatas. Oleh karena itu hal-hal yang bisa berubah-ubah dan berkembang adalah lahan bagi ulama-ulama ekonomi Islam untuk  melakukan ijtihad dan berpendapat.
5.     Keseimbangan antara materi dan ruh
Artinya, jika kita ingin kemajuan di bidang ekonomi serta tercapai kesejahteraan duniawi, maka jangan sampai kita meninggalkan perkara-perkara ukhrawi atau kebutuhan-kebutuhan rohani kita, dengan kata lain perkembangan dan kemajuan Iman dan ketaqwaan kita juga berpengaruh terhadap kemajuan ekonomi,karena seorang muslim yakin bahwa, semua rezeki dan nikmat serta anugerah, hanya semata0-mata dari Allah. oleh karena itu kita temukan di dalam Al-Qur’an Allah mengaitkan atau menghubungkan antara التنمية الإقتصادية والتنمية الإيمانية ( ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض ) الأعراف 96.
6.   Keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat
Islam memiliki pandangan yang moderat hingga tidak terjadi tabrakan dan benturan atau kerugian dari masing-masing kebutuhan, bahkan Islam menyelarskan dan mengharmoniskan dua kepentingan tersebut hingga mereka bisa untuk hidup saling berdampingan bahkan menguatkan satu sama lainya. Inilah ummat pertengan dengan sistemnya yang moderat di dalam Islam tidak ada kedzaliman dan tidak ada pula hal kerugian. ( ألا تطغوا فى الميزان * واقيموا الوزن بالقسط ولا تخسر الميزان )artinya : supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca tersebut. ( Ar-Rahman 8-9 ). Jadi prinsipnya di dalam Islam tidaka ada طغيان pelampauan batas, dan tidak ada pula إخسار pengurangan( ketidak seimbangan ) yang semua ini menyebabkan kerugian. Islam menetapkan dan mengakui serta melindungi hak milik pribadi,akan tetapi tidak melepaskannya atau membiarkannya tanpa batasan dan ikatan serta pengawasan. Islam memberikan aturan main yang mesti dijalankan oleh seorang muslim didalam mengatur hak miliknya, begitu juga bahkan Islam memberikan beberapa kewajiban kepada seorang muslim terhadap hak miliknya. Dengan system inilah kita temukan bagaimana seorang muslim juga berperan atau ikut serta dalam mensejahterakan masyarakat lainnya yaitu orang-orang miskin, orang-orang faqir, yang berhutang karena agama, serta orang-orang yang sedang di dalam perjalanan. Yaitu dengan menerapkan system zakat yang wajib dikeluarkan bagi seorang muslim yang telah memenuhi syarat-syarat nya. Selain itu, untuk memberikan keseimbangan antara dua kepentingan tersebut Islam juga memberikan suatu pelarangan yang haram untuk dilakukna atau dipraktekkan demi keseimbangan dua kebutuhan dan kepentingan tersebut yaitu, pengharaman praktek ribawi, pengharaman monopoli ( ihtikar ), pelarangan hal yang menyebabkan kerugian kepada hak orang lain hingga menyebabkan perselisihan dan pertikaian. Karena di dalam Islam diajarkan harta bukan segala-galanya, ada nilai-nilai kebaikan dan amal soleh yang mesti selalu dikejar “  المال والبنون زينة الحياة الدنيا والباقيات الصالحات خير عند ربك ثواباً وخير أملاً oleh karena itu Islam lah solusi dari kegagalan system Kapitalisme individual yang menghapus dan mendzolimi hak-hak masyarakat, dan menjadi solusi pula bagi system ekonomi komunisme atau sosialisme yang menghapus dan mendzolimi hak-hak pribadi manusia.
7.     Sesuai  dengan realita yang ada
Ekonomi Islam adalah system yang sesuai denga realita yang ada baik itu didalam prinsip-prinsipnya, metode-metodenya, maupun didalam hokum-hukumnya. Sebagaiman yang telah kita sebutkan didalam pembukaan Islam adlah agama yang sempurna datang untuk kemaslahatan manusia, menetapkan syariat yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki manusia itu sendiri, karena yang menciptakan manusia adalah yang menciptakan syari’at itu pula. Oleh karena itu system yang dibuat tidak mengandung unsure khayal dan angan-angan, dengan kata lain bisa dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Mari Bersama-sama kita renungi ayat ayat Qur’an dibawah ini
نحن قسمنا بينهم معيشتهم فى الحياة الدنيا ورفعنا بعضهم فوق بعض درجات ليتخذ بعضهم بعضا سخريا ورحمة ربك خير مما يجمعون ( الزخرف 32 )
Artinya : kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberpa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan Rahmat Tuhanmu Lebih baik dari apa yang merka kumpulkan.
وهو الذى جعلكم خلائف الأرض ورفع بعضكم فوق بعض درجات ليبلوكم فى مآ آتاكم، إن ربك سريع العقاب وإنه لغفور رحيم ( الأنعام 165 )
Artinya : dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian yang lainnya beberpa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaa-Nya, dan sesungguhyna Dia Maha Pengampun lagi Maha penyayang.
8.     Universal atau bersifat Internasional
Artinya Islam sebagai agama Terakhir penutup dan penyempurna agama-agama lainnya,yang telah menetapkan prinsip-prinsip umum serta hokum-hukumnya yang integral serta yang didalamnya terdapat pengharmonisan antara hak pribadi dan masyarakat serta pengkolaborasian anatara hal-hal yang tetap dengan hal-hal yang berubah-ubah sesuai dengan waktu dan tempat. Di dalam hal-hal yang tetap atau di dalam prinsip-prinsip umum ekonomi Islam, itu semua tidak ada pengecualin dan tidak dapat diubah, dinegara mana pun, atau dibenua manapun semua itu harus dan tetap sama hukumnya, contoh konkritnya hokum bunga bank adalah haram baik itu di bank Amerika, Eropa ataupun di Bank-bank Asia dan Afrika. Sedangkan maslah-maslaah yang berubah-ubah dan berkembang itu disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan serta kemampuan yang dimiliki sesuai dengan waktu dan tempat.

Prinsip- prinsip ekonomi Islam
Di dalam system ekonomi Islam ,ada beberapa prinsip yang baku tidak bias diubah, dan ia merupakan landasan dan pijakan serta pegangan yang harus dipahami oleh setiap manusia yang ingin menjalankan ekonomi tersebut . yaitu “
1.     Kedaulatan serta pengabdian itu semata-mata hanya milik Allah
2.     Harta adalah milik Allah, kita hanya sekedar dititpi, untuk mengambil manfaat dari harta tersebut dijalan yang dibenarkan oleh agama. Ada dua kepemilikan.
3.     Unsur Ibadah dan Mu’amalah di dalam Islam tidak dapat dipisahkan, mereka saling terikat antar satu dengan lainnnya.
4.     Standar utama di dalam menilai manusia serta menderajatkannya di dalam masyarakat adalah dengan taqwa.
5.     Tugas manusia dibumi ini tidak hanya beribadah kepada Allah, akan tetapi kita harus memaknai’ ibadah tersebut dalam arti yang luas, hingga di dalamanya juga terdapat mu’amalah.
6.     Tujuan manusia ada dimuka bumi ini tidak lain adalah untuk memakmuran dunia, dan juga termasuk didalamnya adalah pembuahan terhadap harta ( pengelolahan)
7.     Agar bias bertumbuh kembangnya ekonomi Islam, maka  langkah yang diambil adalah “usaha” manusia di jalan yang dibenarkan syara’
8.     Kebebasan manusia di dalam tindakannya terbatas, sudah ada aturan mainnya yang telah dibuat dan ditetapkan.
ringkasnya  kegiatan ekonomi Islam mempunyai hubungan atau ikatan erat dan kuat dengan nilai-nilai ajaran agama serta nilai-nilia akhlak dan perilaku yang mulia. Oleh karena itu prinsip ekonomi Islam seperti yang digambarkan oleh Muhammad Abdul Mannan di dalam bukunyaTeori dan Praktek Ekonomi Islam 1992 yaitu :

(A)
Ilmu Ekonomi Islam
(B)
Ilmu Ekonomi Modern

A. (1) Manusia (sosial namun religius)
B (1) Manusia (sosial)

A. (2) Kebutuhan- kebutuhan tidak terbatas
A. (3) Kekurangan sarana
B. (2) Kebutuhan- kebutuhan tidak terbatas
B. (3) Kekurangan sarana
(E) masalah-masalah ekonomi

(E) masalah-masalah ekonomi
A. (4) Pilihan di antara alternatif (dituntun oleh nilai Islam)

B. (4) Pilihan di antara alternatif (dituntun oleh kepentingan individu)
A. (5) Pertukaran terpadu dan transfer Satu arah (dituntun oleh etika Islami, kekuatan bukan pasar)
B. (5) Pertukaran dituntun oleh
kekuatan pasar

Jadi ringkasnya, dalam ilmu ekonomi Islam kita tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat religiusnya [A(1)]. Hal ini disebabkan karena banyaknya kebutuhan [A(2)/B(2)] dan kurangnya sarana (A3/B3), maka timbullah masalah ekonomi (E). Masalah ini pada dasarnya sama baik dalam ekonomi modern maupun ekonomi Islam. Namun perbedaan timbul berkenan dengan pilihan. Ilmu ekonomi Islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam A (4) dan ilmu ekonomi modern sangat dikuasai oleh kepentingan diri si individu B (4). Yang membuat ilmu ekonomi Islam benar-benar berbeda ialah sistem pertukaran dan transfer satu arah yang terpadu mempengaruhi alokasi kekurangan sumber-sumber daya, dengan demikian menjadikan proses pertukaran langsung relevan dengan kesejahteraan menyeluruh (A/5) yang berbeda hanya dari kesejahteraan ekonomi (B/5).

Perbedaaan antara Ekonomi Islam dan ekonomi konvensional
Sebenarnya kita tidak tepat untuk membandingkan system manusia dengan system pencipta manusia, akan tetapi ini hanya sekedar penguat  akan kesempurnaan Allah dan Syari’ah nya saja. Hingga menambaha keimanan kita  untuk mengamalkan ajaran yang hanif ini.
1.     Dari  tujuan
Ekonomi Islam mempunyai tujuan agar terpenuhinya kebutuhan-kebutuha nmendasar bagi manusia, baik itu bersifat rohani maupun jasmani, hingga mereka bias memakmuran dunia ini dengan nilai-nilai Ibadah kepada Allah. Firman Allah هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا " ( هود "61")، وقوله كذلك : " وَمَا خَلَقْتُ الجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ " ( الذاريات"56")  Sedangkan tujuan dari ekonomi Konvensional adalah hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan materi duniawi semata tanpa adanya pertimbangan nilai-nilai atau kebutuhan rohani.
2.      Dari segi metode atau system
Ekonomi Islam tegak berdiri diatas system aqidah, akhlak, yang  selalu mengedepankan prinsip halal, hal-hal yang baik, amanah, kejujuran, kebersihan, saling membantu, kecintaan, serta persaudaraan, serta dengan meyakini bahwasannya pekerjaan tersebut ( aktifitas ekonomi ) adalah Ibadah , firman Allah فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلالاً طَيِّباً وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ " (النحل"114") ، وقول الرسول صلى الله عليه وسلم : "طلب الحلال فريضة بعد الفريضة" (متفق عليه) .
Adapun system ekonomi konvensional berdiri diatas prinsip sukuler, yaitu pemisihan anatar kekuasasan agama dan kehuidupan manusia. Jadi tidak ada peran akidah dan akhlak di dalam aktifitas ekonomi mereka, syiar mereka adalah “ Agama hanya milik atau untuk Tuhan, dan Negara adalah milki atau untuk semua dan juga syiar yang masyhur “ biarkanlah kaisar itu berbuat sesukanya, dan biarkanlah tuhan berbuat apa yang dimauinya”, kaidah juga di dalam ekonomi mereka  “ tujuan menghalalkan cara”. Semua teori-teori kuno ini adalah tertolak dan batil hukumnya di dalam Islam.
3.     Dari sisi pelegalisasian ( tasyri” )
Di Ekonomi Islam terdapat sejumlah kaidah yang menjadi dasar  ( ushul dan usus) yang diperoleh dari sumber-sumber hokum Islam, yaitu qur’an, sunnah, ijtihad fuqaha, dan kaidah ini tidak  bertentangan dengan maqosid syariyyah, bahkan dengan kaidah tersebut dapat merealisasikan tujuan mulia dari syariah Islamiyah yaitu menjaga agama, akal, jiwa, kehormatan, dan harta. Serta kaidah ekonomi Islam mempunyai ciri menginternasional, sesuai dengan realita yang ada, mempunyai hal-hal yang tetap, dan terakhir adanya hal-hal yang dapat berubah atau dinamis di dalam penjabarannya, prakteknya, kegiatannya, didalam cara-cara pelaksanaanya dll.
Sedangkan ekonomi konvensional  lahir dan dipelihara oleh sekumpulan konsep yang dilahirkan dari penelitian, serta pemikiran manusia yang kadangkala benar, dan kadang pula salah. Dan ekonomi ini juga terpengaruh atau dipengaruhi idiologi dalam suatu Negara, misalnya idiologi komunis, sosialis, atau kapitalis. Dan ekonomi ini tidaklah statis, tidak ada prinsip yang tetap di dalamnya, melainkan selalu berubah-ubah, begitu juga ekonomi ini  selalu berciikan bertentangan, kekurangan, ketidakadilan perselisihan  dll. Karena yang meletakkan atau menghukumi ekonomi ini adalah manusia yang serba kekurangan.
4.     Dari sisi  tata cara dan bentuk pelaksanaan
Para fuqaha serta praktisi ekonomi Islam  mengunakan beberapa tata cara serta bentuk pelaksanaan yang dapat mewujudkan cita-cita mulia dari ekonomi Islam dan syari’ah Islam dengan syarat semua itu sesuai dengan prinsip halal dan haram Syar’iah. Dan mereka bias mengambil atau menjalankan tata cara atau bentuk yang baru inovatif dan kreatif hingga memberikan kemaslahatan dan kesejahteraan lebih kepada manusia. Artinya kita sah-sah saj mengambil dan mempraktekkan yang baik-baik dari system ekonomi konvensional, sedangkan hal-hal yang jeleknya ditinggalkan dan atau disesuaikan dengan prinsip syariah. jadi yang membedakan antara keduanya adalah Islam selalu mengedepankan prinsip halal di dalam tujuandan wasilah, sedangkan di dalam ekonomi konvensionla tidak ada prinsip tersebut.
5.     Dari sisi komponen
Ekonomi Islam berdiri tegak diatas beberapa komponen diantaranya yaitu,   zakat harta, pengharaman riba atau seluruh transaksi yang mengasilkan atau menyebabkan kerugian terhadap[ manusia lainnya, serta mempraktekkan jaminan atau kesejahteraan social. Sedangkan di dalam ekonomi konvensional, berdiri tegak karerna penopangnya adalah praktek bung serta pajak langsung atau tidak langsung, dan inilah yang menjadi aib serta celah dan pada akhirnya merusak tatanan kehidupan manusia hingga ketidakadilan yang merajalela, kemudian menghilangkan kesejahteraan manusia seutuhnya. Dan bahkan dampak negatif dari praktek prinsip- prinsip ekonomi konvensional ini telah dikemukakan  sendiri pakar-pakar ekonom konvensional.


Perbankan Islam

pengertian dan sejarah Islamic Bank
a.   Pengertian Bank Islam
menurut Dr. Abdurahman Yusri perbankan Islam adalah lembaga keuangan yang tidak beroperasi atau tidak melakukan hal-hal yang berhubungan dengan Riba’, baik itu dengan memberi ataupun menerima. Bank Islam mendapatkan modal dari para nasabah dengan tidak memberikan persyaratan apapun, baik itu berupa kewajiban ataupun perjanjian secara langsung ataupun tidak untuk memberikan keuntungan ( profit) yang tetap terhadap investasi mereka, serta memberikan jaminan untuk memberikan modal awal kepada mereka ketikas diminta.
Menurut Dr. Mahmud Ansori bank Islam adalah lembaga keuangan yang berfungsi untuk menghimpun harta-harta serta mengelolahnya dengan sistem Syari’ah Islamiyah, hingga bisa bermanfaat dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, serta terciptanya keadilan didalam pendisribusian dan membuat harta beredar dengan roda yang sesuai dengan sistem Islam, dan bank Islam memiliki tugas dan peran yang lebih banyak dari pada bank konvensional, diantaranya adalah dengan bank Islam yang bersistemkan Syari’ah Islam maka ini merupakan alat untuk merealisasikan serta mengokohkan praktik-praktik yang mempunyai hubungan erat  dengan nilai-nilai akhlak dan moral serta perilaku-perilaku yang mulia, kemudian Ia sebagai pusat untuk memenuhi atau sebagai sumber yang dapat memberikan kepuasan, begitu juga berperan sebagai sekolah untuk mendidik, serta banka Islam merupakan jalan yang dapat mengantarakan manusia menuju kehidupan yang mulia baik itu untuk orang-perorang maupun untuk umat Islam seluruhnya. Sedangkan pengertian Bank Syariah menurut  UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yaitu Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
b.   Sejarah perbankan Islam
Dunia
 Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di Kota Mit Ghmar 1963. Beroperasinya Mit Ghamr Local Saving Bank di Mesir pada tahun 1963 merupakan tonggak sejarah perkembangkan sistem perbankan Islam. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung. Mit Ghamr menyediakan pelayanan dasar perbankan seperti simpanan, pinjaman, penyertaan modal, investasi langsung dan pelayanan sosial. Pada tahun 1967 pengoperasian Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir disebabkan adanya kekacauan politik. Walaupun Mit Ghamr sudah berhenti beroperasi sebelum mencapai kematangan dan menyentuh semua profesi bisnis, keberadaannya telah memberikan pertanda bagi masyarakat muslim bahwa prinsip-prinsip Islam sangat applicable dalam dunia bisnis modern. Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Develoment Bank (IDB), yang berdiri atas prakarsa dari sidang menteri luar negeri Negara-negara OKI di Pakistan (1970), Libiya (1973), dan Jeddah (1975). Dalam sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem keuangan berdasarkan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil. walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.  Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negeri Islam untuk mendirikan untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah. Pada akhir priode 1970-an dan awal periode 1980-an bank-bank syari’ah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki.  Tepatnya. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.
Indonesia
Berkembangnya bank-bank syari’ah di Negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an telah banyak diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam, akan tetapi prakarsa untuk mendirikan bank Islam baru dimulai pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan lokakarya tentang bunga bank dan perbankan menghasilkan terbentuknya sebuah tim perbankan yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi. Pada tahun 1991 berdiri PT. BMI (Bank Muamalat Indonesia).
Pada awal pendirian BMI keberadaan bank syari’ah belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional, disebabkan landasan hukum operasional bank yang menggunakan sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil, dan tidak terdapat rincian landasan hukum syari’ah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [2].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.di sini dapat kita lihat  perkembangan perbankan syari’ah ditandai dengan disetujuinya Undang-undang No.10 tahun 1998, yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplemen-tasikan oleh bank syari’ah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank konvensional untuk membuka cabang syari’ah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syari’ah. Saat ini Indonesia mempunyai 3 Bank Umum Syari’ah ( BUS ), yaitu Bank Syari’ah Mandiri ( BSM ), Bank Mu’amalat Indonesia (BMI ), dan Bnak Mega Syari’ah Indonesia ( BMSI . selain BUS, Indonesia juga punya 105 Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS ) serta 20 Unit Usaha Syari’ah (UUS ).
 Prinsip atau Tujuan Dasar Perbankan Syari’ah
Pada dasarnya Prinsip utama dari perbankan Syariah sebagaimna yang terdapat dalam defenisi Bank Syari’ah itu sendiri adalah menjalankan kegiatan ekonomi yang sesuai atau berdasarkan prinsip Syari’ah Islam. Dalam menjalankan kegiatannya Bank Islam memiliki beberapa prinsip-prinsip umum yaitu  sebagai berikut:
1.     Prinsip Keadilan
Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dan Nasabah
2.     Prinsip Kemitraan
Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpanan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat dengan mitra usaha. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, resiko dan keuntungan yang berimbang di antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun Bank. Dalam hal ini bank berfungsi sebagai intermediary institution lewat skim-skim pembiayaan yang dimilikinya.
3.     Prinsip Keterbukaan
Melalui laporan keuangan bank yang terbuka secara berkesinambungan, nasabah dapat mengetahui tingkat keamanan dana dan kualitas manajemen bank
4.     Univeralitas
Bank dalam mendukung operasionalnya tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan agama dalam masyarakat dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil'alamiin.
Pada sistem operasi bank syari'ah, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan (misalnya modal usaha), dengan perjanjian pem-bagian keuntungan sesuai kesepakatan. Ringkasnya tujuan dari perbankan Islam adalah The Fundamental principles governing Islamic Financing are the receipt of interest is prohibibited and Sharia prohibits transactions in which some or all of the following elements are gambling, uncertainty, prohibited commodities and activities.                                                                     Tujuan utama ekonomi Islam adalah untuk menghindari :
·         Maisir (Gambling)-may apply to dealings in futures and options to extent that they are speculative.
·         Gharar (uncertainty) in contracts-there is a prohibition on the sale of items whose existence or characteristics are not certain, and upon contractual terms which are ambiguous or unclear.
·         Riba (interest)- it is interpreted as any returns on money which is predetermined in amount and therefore includes modern interest-based financing
·         Haram (prohibited) commodities and activities whose are prohibited. For instance such as: pork, alcohol, gambling services, prostitution, machinery for the manufacturing of alcohol, and liquor,etc. But, different views exits on many cases as tobacco, and hotels.
Konsep dan Operasional Bank Syari’ah
1.     Sumber dan bank Syari’ah
Bank sebagai suatu lembaga keuangan yang salah satu fungsinya adalah menghimpun daan masyarakat,  harus memiliki suatu sumber penghimpunan dana sebelum disalurkan ke masyarakat kembali. Dalam bank syari’ah, sumber dana berasal dari modal inti (core capital) dan dana pihak ketiga yang terdiri dari dana titipan (wadi’ah) dan kuasi ekuitas (mudarabah account).
Modal inti adalah modal yang berasal dari para pemilik bank, yang terdiri dari modal yang disetor oleh para pemegang saham, cadangan dan laba ditahan. Modal yang disetor hanya akan ada apabila pemilik menyertakan dananya pada bank melalui pembelian saham, dan untuk penambahan dana berikutnya dapat dilakukan oleh bank dengan mengeluarkan dan menjual tambahan saham baru. Cadangan adalah sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya risiko kerugian di kemudian hari. Sedangkan laba ditahan adalah sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui RUPS) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank.  Modal inti inilah yang berfungsi sebagai penyangga dan penyerap kegagalan atau kerugian bank dan melindungi kepen-tingan para pemegang rekening titipan (wadi’ah) atau pinjaman (qard).
Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, bank syari'ah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana (deficit unit). Melalui bank, kelebihan dana-dana tersebut akan disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak. Dana pihak ketiga tersebut terdiri dari :
a.      Titipan/wadi’ah, yaitu dana titipan masyarakat yang dikelola oleh bank.
b.      Investasi/mudarabah, adalah dana masyarakat yang diinvestasikan.

2.     Bank syari’ah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dan menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara pemilik dana (shahibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana (mudarib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha. Pengelolaan dana tersebut didasarkan pada aqad-aqad yang disesuaikan dengan kaidah muamalat. Dari segi ada atau tidaknya kompensasi, fiqh muamalat membagi aqad menjadi dua bagian, yaitu aqad tabarru' dan aqad tijaroh.
Aqad tabarru', yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Aqad tabarru' dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekedar menutup biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan aqad tabarru' tersebut. Tetapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari aqad tabarru' itu. Contoh aqad tabarru' adalah:
-              Qard, pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
-              Wadi’ah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
-              Wakalah, aqad pemberian kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.
-              Kafalah, jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafl) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
-              Rahn, menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil atau ia bisa mengambil sebagian manfaat barang itu.
-              Dhaman, menggabungkan dua beban (tanggungan) untuk membayar hutang, menggadaikan barang atau menghadirkan orang pada tempat yang telah ditentukan.
-              Hiwalah, aqad yang mengharuskan pemindahan hutang dari yang ber-tanggung jawab kepada penanggung jawab yang lain.

Berbeda dengan aqad tabarru', maka aqad tijaroh (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Aqad-aqad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh aqad tijaroh antara lain:
-              Murabahah, adalah jual-beli barang dengan harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberitahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
-              Salam, pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sementara pem-bayaran dilakukan di muka.
-              Istisna’, kontrak penjualan antara mustashni’ (pembeli akhir) dan shani’ (supplier). Pembelian dengan pesanan.
-              Ijaroh, aqad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayar-an upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/ milkiyyah) atas barang itu sendiri.
-              Musyarakah, aqad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
-              Muzara’ah, adalah bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian setahun.
-              Musaqah, adalah bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian tahunan.
-              Mukhabarah, adalah muzara’ah tetapi bibitnya berasal dari pemilik tanah.
3.      prinsip-prinsip operasional
Secara umum, setiap bank Islam dalam menjalankan usahanya minimal mempunyai lima prinsip operasional yaitu :
a.      Prinsip simpanan giro, merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan danaya dalam bentuk al wadiah, yang diberikan untuk tujuan keamanan dan pemindahbukuan, bukan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan atau deposito.
b.      Prinsip bagi hasil, meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara pemilik dana (shahibul mal) dan pengelola dana (mudarib). Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Prinsip ini dapat digunakan sebagai dasar untuk produksi pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan.
c.      Prinsip jual-beli dan mark-up, merupakan pembiayaan bank yang diperhitungkan secara lump-sum dalam bentuk nominal di atas nilai kredit yang diterima nasabah penerima kredit dari bank. Biaya bank tersebut ditetapkan sesuai dengan kesepakatan antara bank dengan nasabah.
d.      Prinsip sewa, terdiri dari dua macam, yaitu sewa murni (operating lease/ijaroh) dan sewa beli (financial lease/bai' al ta’jir).
e.      Prinsip jasa (fee), meliputi seluruh kekayaan non-pembiayaan yang diberikan bank, seperti kliring, inkaso, transfer dan sebagainya.

4.     Produk perbankan Syari’ah
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
 (1 Produk Penyaluran Dana,
 (2) Produk Penghimpunan Dana, dan
(3) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberi­kan perbankan kepada nasabahnya.
Produk penyaluran dana
Dibedakan dalam 4 (empat) kategori yang dibedakan berdasar tujuan penggunaannya;
  • transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang, dilakukan dengan prinsip jual beli
  • transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa
  • transaksi pembiayaan untuk usaha kerja sama yang ditujukan guna mendapat sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
  • Akad pelengkap , Untuk mempermudah pelaku pembiayaan, diperlukan akad pelengkap. Meski tak ditujukan mencari keuntungan, dalam akad pelengkap dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besar pengganti biaya sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul
A.Jual beli ( ba’I )
            Prinsip jual beli, berhubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan Bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan atas bentuk pembayaran dan penyerahan barang sebagai berikut:
      a. Pembiayaan Murabahah                                                                                                                      Bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli Bank dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus sepakat atas harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli, dan tak berubah selama berlakunya akad. Dalam transaksi ini barang diserahkan setelah akad, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.                                                                                                                                b. Salam                                                                                                                                 Transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh, sedang pembayaran secara tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam salam, kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan barang ditentukan secara pasti. Dalam praktek, barang yang telah diserahkan kepada Bank, maka Bank dapat menjual kembali barang tersebut secara tunai atau cicilan. Harga jual yang ditetapkan adalah harga beli ditambah keuntungan.
 c. Istishna                                                                                                                         Menyerupai salam, namun pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa termin pembayaran. Skim istishna dalam Bank Syariah, umum dilakukan untuk pembiayaan manufaktur dan konstruksi. Spesifikasi barang pesanan harus jelas, seperti: jenis, ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual dicantumkan dalam akad istishna dan tak boleh berubah selama berlakunya akad.
B. Ijaroh ( sewa )      
Secara prinsip, Ijaraoh sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat.   Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Bila pada jual beli obyek transaksi adalah barang, maka pada ijarah obyeknya jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Harga jual dan harga sewa disepakati pada awal perjanjian ( ijaroh muntahiyah bittamlik/ sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan.
C. Syirkah ( bagi hasil atau kerjasama Modal Usaha )
     Prinsip bagi hasil dibagi dua, yaitu:                                                                                           a. Musyarakah
Musyarakah adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil. Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Dalam kerjasama ini para pihak secara bersama-sama memdukan sumber daya baik yang berwujud ataupun tidak berwujud untuk menjadi modal proyek bersama, dan secara bersama-sama pula mengelola proyek kerjasama tersebut.
b. Mudharabah                                                                                                                                              Adalah bentuk kerja sama antara 2 (dua) atau lebih pihak dimana pemilik modal mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Dengan kata lain mudharabah adalah salah satu bentuk spesifik dari musyarakah. Dalam Mudharabah, salah satu pihak berfungsi sebagai shahibul maal ( pemilik modal ) dan pihak yang lain berperan sebagai mudharib ( pengelola ).
D. akad pelengkap.                                                                                                                      a. Hiwalah (alih piutang)                                                                                                                      adalah transaksi pengalihan utang piutang. Fasilitas ini lazim untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksi. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.                                                                                                                                 b. Rahn (gadai)                                                                                                                                            Rahn dalam bahasa umum lebih dikenal dengan gadai.  Tujuan rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam meberikan pembiayaan.Untuk memberi jaminan pembayaran kembali kepada Bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria:a) Milik nasabah sendiri, b)Jelas ukuran, sifat dan nilainya, ditentukan berdasar nilai riil pasar, c) Dapat dikuasai, tapi tak boleh dimanfaatkan oleh
   c. Qard                                                                                                                                                  Adalah pinjaman uang.                                                                                                                                     Aplikasi Qard dalam perbankan, antara lain:                                                                                   Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberi pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Pinjaman dilunasi sebelum berangkat haji.                                                                                                                                                              Sebagai pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah.                                                             d. Wakalah (perwakilan)                                                                                                                                   Terjadi bila nasabah memberi kuasa kepada Bank untuk mewakili dirinya melaksanakan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C (Letter of Credit), inkaso dan transfer uang.                        e. Kafalah (Bank Garansi)                                                                                                                     Diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn (gadai), serta Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadiah. Bank diperkenankan mendapat ganti biaya atas jasa yang diberikan
Produk penghimpun dana
Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan mudharabah.
A.      Wadi’ah
Prinsip wadi’ah yang diterapkan dalam perbankan Syari’ah adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Dalam konsep wadi’ah yad dhamanah, bank dapat mempergunakan dana yang dititipkan, akan tetapi bank bertanggung jawab penuh atas keutuhan dari dana yang dititipkan.
Ketentuan umum wadi’ah :                                                                                                              Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung Bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat, namun tidak boleh diperjanjikan dimuka.
  • Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, Bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
  • Terhadap pembukaan rekening ini Bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar terjadi
  • Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah
B.      Mudarabah
Pola konsumsi dan pola simpanan yang diajarkan oleh Islam memungkin-kan umat Islam mempunyai kelebihan pendapatan yang harus diproduktifkan dalam bentuk investasi, maka bank Islam menawarkan tabungan investasi yang disebut simpanan mudarabah (simpanan bagi hasil atas usaha bank). Prinsip mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka. Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul mal ( pemilik modal ) dan bank sebagai mudharib ( pengelola ). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan murabahah atau ijaroh. Dapat pula dana tersebut  digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharaabah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang telah disepakati. Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, mudharabah terbagi tiga yaitu :
a.       Mudharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berda­sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Artinya mudharabah yang tidak disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari shahibul mal. Ketentuan umum dalam produk ini adalah:
Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan; maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenankan mengalami saldo negatif.
Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti de­posito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpan­jangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.
Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b.      Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restrict­ed investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat­-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disya­ratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digu­nakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus di­ikuti oleh bank wajib membuat akad yang mengatur persyarat­an penyaluran dana simpanan khusus.
Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
c.       Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank ber­tindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan an­tara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pe­laksana usahanya.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.
Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.
C.      Wakalah
Wakalah dalam praktek perbankan syari’ah dilakukan apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
Produk jasa perbankaan
Bank Syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut, antara lain:
  • Sharf (jual beli valuta asing) : pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf,selama Jual beli valas yang tidak sejenis, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valas ini.
  • Ijarah (sewa): Jenis kegiatan ijarah, antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa atas jasa tersebut.

Kendala, problematika dan tantangan perbankan syari’ah
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah memasuki babak baru.Pertumbuhan industri perbankan syariah telah bertranformasi dari hanya sekedar memperkenalkan suatu alternatif praktik perbankan syariah menjadi bagaimana bank syariah menempatkan posisinya sebagai pemain utama dalam percaturan ekonomi di tanah air.
Bank syariah memiliki potensi besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama bagi nasabah dalam pilihan transaksi mereka. Hal itu ditunjukkan dengan akselerasi pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
Setelah diakomodasinya Bank Syariah pada Undang-Undang Perbankan No. 10/1998, maka dari tahun 2000 hingga tahun 2004, dapat dirasakan pertumbuhan Bank Syariah cukup tinggi, rata-rata lebih dari 50% setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2003 dan 2004, pertumbuhan Bank Syariah melebihi 90% dari tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, pada tahun 2005, dirasakan ada perlambatan, meskipun tetap tumbuh sebesar 37%. Akan tetapi, walaupun dirasakan pertumbuhan Bank Syariah di Indonesia melambat pada tahun 2005, sebenarnya pertumbuhan sebesar itu merupakan prestasi yang cukup baik. Perlu disadari, bahwa di tengah tekanan yang cukup berat terhadap stabilitas makroekonomi secara umum dan perbankan secara khusus, kondisi industri perbankan syariah tetap memperlihatkan peningkatan kinerja yang relatif baik. Di samping itu, dapat pula difahami, bahwa meskipun share bank syariah pada akhir tahun 2005 baru 1,46%, namun hal tersebut telah menunjukkan peningkatan yang luar biasa dibandingkan share pada tahun 1999 yang hanya 0,11%. 
Menurut identifikasi Bank Indonesia, yang disampaikan pada Seminar Akhir Tahun Perbankan Syariah 2005, kendala-kendala perkembangan Bank Syariah di samping imbas kondisi makroekonomi, juga dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
1.     Jaringan kantor pelayanan dan keuangan Syariah masih relatif terbatas;
2.     Sumber Daya Manusia yang kompeten dan professional masih belum optimal;
3.     Pemahaman masyarakat terhadap Bank Syariah sudah cukup baik, namun minat untuk menggunakannya masih kurang;
4.     Sinkronisasi kebijakan dengan institusi pemerintah lainnya berkaitan dengan transaksi keuangan, seperti kebijakan pajak dan aspek legal belum maksimal;
5.     Rezim suku bunga tinggi pada tahun 2005;
6.     Fungsi sosial Bank Syariah dalam memfasilitasi keterkaitan antara voluntary sector dengan pemberdayaan ekonomi marginal masih belum optimal.
Menteri keuangan Jusuf Anwar mengatakan, infrastruktur perbankan Islam yang kurang memadai adalah 3 penghambat utama perkembangan perbankan Islam di Indonesia. Problem lainnya, kurangnya pemahaman masyarakat atas konsep dan produk perbankan Islam modern, serta kurangnya SDM yang ahli di bidang perbankan Islam.                                                                                                         Sedangkan menurut Faisal Basri  pengamat ekonomi yang juga dosen di FEUI bahwasannya kerja bankl syari’ah itu memble dan tidak profesional. Ia menguraikan beberapa kritik terhadap bank syari’ah. Diantaranya :
1.     minimnya kualitas sumber daya manusia sampai mandulnya kreatifitas dan inovasi para praktisi bank syari’ah. Dari regulasi, menurut Faisal Basri menilai apa yang ada sekarang memang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Ia menyebut persoalan utama keterlambatan perkembangan bank syari’ah adalah inovasi yang minim. Para pengelola masih berpikir menurut pola bank konvensional, mereka tidak mau melakukan otokritik.
2.     Dalam pandangan terhadap bunga sendiri saja masih tidak jelas. Padahal yang namanya bunga itu sudah jelas haram. Seluruh ahli ekonomi Islam yang ada di luar Indonesia mengatakan bahwa yang namanya bunga itu haram. Kalau disini masih tidak jelas.
Mengapa kondisi seperti ini terjadi?
3.     Sumber kesalahan utama mengapa bank syari’ah lambat, karena Bank Mua’malat –bank Syari’ah pertam Indonesia sudah terlalu lama diproteksi. Sebenarnya ada bank-bank Islam dari luar yang mau masuk tapi tidak diperbolehkan karena mereka minta waktu lima tahun. Saya tidak tahu aturannya ada di mana. Menurut Faisal Basri yang kita inginkan adalah syi’ar. Hal-hal yang bersifat Islami, entah itu dari Bank Mu’amalat atau bank dari Saudi Arabia atau Kuwait. Tapi yang terjadi, Bank Mua’malat tidak melakukan apa-apa, begini-begini saaj dan jalan ditermpat. Baik dari segi produk, segi manajemen dan pelayanan pun tidak mengalami perubahan yang mendasar. Pertumbuhan cabang-cabangnya pun terbatas.
Sedangkan menurut Rukmana kepala Divisi Syari’ah Bank Jabar, bahwa problem perbankan Syari’ah adalah kompetensi sumber daya insani yang masih jauh dari yang diharapkan. Sekretaris Masyarakat Ekonomi Syari’ah (MES) Jabar ini memberikan contoh, bagaimana para karyawan bagian marketing diperbanakn syari’ah tak fasih mengucapkan berbagai istilah dalam perbankan Syari’ah. Akibatnya, para calon konsumen potensial dari pasar emosional enggan memanfaatkan jasa perbankan syari’ah. Di sisi lain, para pekerja disektor perbankan syari’ah, ternyata tak cukup yakin bahwa sistem ini merupakan sistem yang bagus. Terbukti, sebagian dari karyawan perbankan syari’ah masih memanfaatkan layanan bank konvensional dalam transaksi kesehariannya sebagai pribadi. Jadi, bagaimana para praktisi perbankan syari’ah bisa mengajak pihak lain untuk memanfaatkan layanan perbankan syari’ah, sementara mereka sendiri tak mempraktekannya. Persoalan lain yang muncul adalah, belum tersosialisasikannya sistem syari’ah, bahkan kepada para nasabah perbankan syari’ah sekalipun – baik pemilik dana maupun mitra yang dibiayai – secara baik. Dalam beberapa kesempatan, ditemukan bahwa sebagian nasabah memilih berhubungan dengan perbankan syari’ah karena lokasinya tak jauh dari tempat nasabah ( kantor maupun rumah) atau karena perbankan syari’ah inilah yang menawarkan pembiayaan kepada mereka. Dengan demikian, keputusan untuk memanfaatkan layanan perbanakan syari’ah, bukan didasari oleh bukti/alasan bahwa sistem ini lebih baik dan lebih menguntungkan ketimbang perbankan konvensional. Terakhir kendala yang masih dihadapi oleh perbankan syari’ah adalah belum adanya payung hukum yang kuat yang dapat dijadikan landasan dan dasar untuk mengadakan inovasi dan kreasi di dalam transansi perbankan Syari’ah. Aturan mengenai perbankan syari’ah yang ada hingga kini, belum cukup mengakomodasikan berbagai kegiatan transaksi syari’ah yang mungkin dilakukan BI. Meskipun mengaku peduli dengan perkembangan perbankan syari’ah, tampak kurang antusias untuk melakukan berbagai hal yang lebih mendukung kemajuan dan pesatnya perbankan syari’ah. Pernyataan Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, mengenai belum perlunya deputi khusu bidang syari’ah saat ini contoh nyata mengenai hal itu. Perlu diingat , bahwasannya perekonomian syari’ah Indonesia begitu tertinggal jauh. Negara dengan penduduk muslim terbesar ini rupanya baru mulai mendirikan bank Syari’ah sejak 1992. Bandingkan dengan negeri jiran Malaysia yang sudah punya bank Islami sejak 1980-an, bahkan dimalysia, sebelum bank syari’ah pertama lahir, UU mengenai perbankan syari’ah sudah hadir terlebih dulu. Berbeda dengan Indonesia yang sudah hampir memasuki tahun ke-20 tepatnya tahun ke-15 RUU nya saja belum kelar hingga saat ini.  Kondisi seperti ini membuat Siti Fajriah tidak tenang dan agak bimbang. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) bidang perbankan syaria’h ini menandaskan pentingnya Undang-Undang tentang perbankan syari’ah. “ supaya kita punya arahan yang jelas. Rancangan UU perbankan syari’ah harus segera disahkan,” tuturnya di depan Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Saat ini praktek perbanakn syari’ah perbankan masih ditampung dalam UU no 10 tahun 1998 tentang perbankan. Memang kita sadari UU penyempurna UU No 7 tahun 1992 ini cukup komprehensif mengatur perbankan syari’ah. Akan tetapi melihat perkembangan bank syari’ah yang cukup bisa dikatakan pesat, atau dengan kata lain perkembagnan bank syari’ah memang dinamis sehingga membutuhkan payung hukum tersendiri. RUU ini sebenarnya disusun atas inisiatif kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada 5 Januari lalu, ketua Agung Laksono mengirimkan draft ini kepada Presiden Susilo. Sebulan kemudian, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra ( kala itu) meneruskan draft tersebut kepada Menteri Keuangan, Menteri Agama, serta Menteri Hukum dan HAM. Hingga kini, pemerintah –dan BI- masih belum rampung merespon draft tersebut.
Dari beberapa pendapat pengamat serta praktisi okonomi Islam dan perbankan syari’ah Indonesia tentang permasalahan perbankan syari’ah tersebut penulis dapat menyimpulkan dan mengemukakan tiga permaslahan yang penting, dan dari 3 inilah yang menghasilakan permasalahan atau kendala-kendala lainnya. Yaitu:
1.     Sumber daya manusia yang kompeten dan profesional masih belum optimal atau dengan kata lain kompetensi sumber day insani (SDI) yang masih jauh dari yang diharapkan.
2.     Pemahaman masyarakat terhadap bank syari’ah itu sendiri belum sempurna dan tidak penuh dan jauh dari apa yang diharapkan.
3.     UU perbankan syari’ah masih lemah, belum ada payung hukum yang kuat dan tersendiri.

Perbedaan antara bank Syari’ah dan bank konvensional
Dalam beberapa hal, bank syari’ah dan bank konvensional memiliki persamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pem-biayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan lain-lain. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya yaitu menyangkut aspek legal, stuktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
1.        Akad dan aspek legalitas
Dalam bank syari’ah, akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sehingga pelanggaran kesepakatan dapat diminimalisir. Selain itu akad dalam perbankan syari’ah baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun keten-tuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, baik rukun maupun syaratnya.
2.        Lembaga penyelesaian sengketa
Dalam perbankan syari’ah, apabila terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabah, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di pengadilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai dengan tatacara dan hukum materi syari’ah. Hukum yang mengatur ini disebut BAMUI yang didirikan bersama antara MUI dan Kejaksaan Agung.
3.        Stuktur organisasi
Dalam stuktur organisasi bank syari’ah memiliki kesamaan dengan bank konvensional, seperti komisaris maupun direksi. Tetapi unsur yang dapat membedakan antara bank syari’ah dan konvensional adalah adanya pengawas syari’ah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produk agar sesuai dengan garis-garis syari’ah dan DPS biasanya diletakkan pada posisi setingkat dewan komisaris pada setiap bank. Banyaknya DPS pada bank perlu disyukuri, akan tetapi perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya fatwa yang berbeda di masing-masing DPS, maka MUI sebagai payung dari lembaga organisasi keislaman di Indonesia perlu membentuk dewan syari’ah secara nasional yang membawahi lembaga-lembaga keuangan termasuk di dalamnya bank-bank syari’ah. Lembaga ini biasa disebut Dewan Syari’ah Nasional (DSN), yang berfungsi mengawasi produk-produk keuangan syari’ah agar sesuai dengan syariat Islam (meneliti dan memberi fatwa bagi produk yang dikembangkan). DSN juga bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DSN pada satu lembaga keuangan. Selain itu DSN juga dapat memberikan teguran dan mengusulkan kepada otoritas yang berwenang untuk memberikan sanksi kepada bank yang melakukan dan mengembangkan tidak sesuai syari’ah.
4.        Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam bank syari’ah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan harus sesuai dengan syari’ah. Karena itu, bank syari’ah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung dalam hal-hal yang diharamkan.
5.        Lingkungan kerja dan corporate culture
Dalam bank syari’ah haruslah memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syar’ah. Dalam hal etika misalnya sifat amanah, shiddiq harus melandasi setiap karyawan, sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Begitu pula karyawan bank harus skillful dan profesional (fathanah) dan mampu melakukan tugas secara teamwork dimana informasi merata di semua fungsional organisasi (tabligh) begitu pula dalam hal reward dan punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syari’ah.
6.Prinsip bagi hasil di dalam perbankan Syari’ah
a.     Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
b.     Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c.     Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
d.     Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil
e.     Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
Sedangkan di dalam perbankan konvensional yaitu dengan system bunga
a.     Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
b.     Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkanPenentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
c.     Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
d.     Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam
e.     Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam
f.    Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. http://www.syariahmandiri.co.id/images/jarak.gif
Terakhir apa korelasinya antara perkembangan bank syari’ah dengan status kita sebagai mahasiswa syari’ah? Ungkapan yang lebih tepat dan cermat adalah apa peran kita dalam menumbuh kembangkang perbankan syari’ah di Indonesia?                                                                                                   Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin menegaskan bahwasannya praktek atau pelaksanaan perbankan syari’ah khususnya serta praktek-praktek mua’malah atau ekonomi Islam lainnya adalah langkah awal dari akan ditegakkannya Syari’atullah di bumi pertiwi. Sektor ekonomi merupakan sektor yang penting dan memiliki peran yang sangat urgen di dalam masyarakat Islam. Maka dari itu perbaikan di bidang ekonomi merupakan salah satu dari bidang yang asasi untuk segera diperbaiki. Maka kita lihat bagaimana konsep-konsep Qur’an di dalam memperbaiki umat melalui sektor atau bidang ekonomi tersebut diantaranya adalah pelarangan praktek-praktek ribawi., betapa keras ancaman serta hokum  yang Allah berikan kepada orang-orang yang menjalankan praktek ribawi tersebut, bahkan di dalam  salah satu ayat dikatakan “ sebagai perang terhadap Allah dan Rasulnya”. Praktek ribawi ini memang termasuk dosa besar dan perbuatan yang keji dan merusak tatanan kehidupan manusia, buktinya saat ini telah jelas ekonomi konvensional yang syarat dengan praktek ribawi tidak mampu mensejahterakan manusia. Untuk itu ekonomi Islam sebagi solusi akhir dari kegagalan paham-paham ekonomi konvensional seperti paham kapitalisme tersebut. Oleh karena itu pertumbuhan atau gerak langkah ekonomi Islam khususnya perbanakn Syari’ah tidak bisa kita anggap perkara kecil dan remeh. Ini langkah awal kita untuk memberikan kesejahteraan bagi ibu pertiwi kita. Dengan perbankan syariah yang berdasarkan prinsip syari’ah Islamiyah inilah yang mampu membukakan pintu barokah langit dan bumi. Oleh karena itu dibutuhkan peran kita anak bangsa , genersi muda, dan penurus risalah agama. Khususnya kita yang notabenenya adalah mahasiswa Syari’ah yang bersentuhan langsung dengan masalah-masalah tersebut. Sebagaiman yang telah penulis kemukakan diatas yaitu permaslahan atau kendala dari ekonomi Islam khusunya di bidang perbankan Syari’ah. Untuk itu ada beberapa kiat yang menjadi pr besar kita semua yaitu :
1.     Yaitu meningkatkan pemahaman, penelaahan, serta kajian kita tentang hukum fiqh khususnya dibidang ekonomi Islam atau yang dikenal dengan “mua’malah”. Karena hanya dengan kiat ini menjadi solusi dari kurang dan lemahnya sumber daya manusia yang kompeten terhadap permaslahan ekonomi syariah. Kita –kita inilah yang diharapkan akan menjadi praktisi-praktisi yang bergerak diperbanakn syari’ah di Indonesia.
2.     Setelah kita memahami dan mendalami kajian ekonomi Syari’ah tersebut, maka langkah yang kita harus lakukan adalah mengajarkannya atau memberikan pemahaman hak tersebut kepada orang lain, ( keluarga, teman, masyarakat dll) baik dalam bentuk tulisan, maupun lisan. Disini kita dituntut untuk memberikan kontribusi kepad umat, karena sebagaimana yang telah disebutkan diatas , diantara permasalahan perbankan syari;ah adalah ketidaka pahaman maysrakat terhadap sistem , keuntungan dan kelebihan serta keutamaan dari praktek banak syari’ah. Ini bentuk sosialisasi kita kepada masyarakat dan ummat, dan merupakan jalan atau peran dakwah.
3.     Dan terakhir, yaitu dibutuhkannya  orang-orang yang akan duduk dan bekerja dibidang hukum dan perundang-undangan. Kita telah ketahui bersaama, sebagaimana yang telah penulis paparkan diatas, saat ini sedikit sekali orang-orang yang duduk dipemerintahan yang mendukung langsung pergerakan atau pertembuhan perbankan syari’ah , bahkan sampai saat ini RUU saja yang telahada belum dibahs-bahas.point ketigsa ini menurut penulis sangant penting, karena kalau pemerintahan kita didudukii dan dipenuhi oleh orang-orang yang tidak tahu agama, bahkan yang ingin memerangi agama, maka jangan kita berharap agama kita akan bisa tegak diatas bumi pertiwi. Setidaknya ada diantara kita-kita yang duduk di peradilan agama, dewan syariah nasional, MUI, atau bisa jadi ada yang duduk di MPR/DPR yang akan memperjuangkan agama Islam ini. Penulis teringat akan perkataan Hujjatul Islam Imam Ghazali “ dunia adalah ladang bagi akhirat, tidak sempurna agama kecuali dengan menjalankan syari’at Allah di dunia. Raja dan Agama adalah saudara kembar, agama adalah pondasi, sedangkan raja adalah penjaga. Segala sesuatu yang tidak ada pondasinya akan hancur, dan segala yang tidak ada penjaganya akan hilang”.
Penutup
Dan sedikit mengulang, sekarang ummat membutuhkan generasi – generasi yang memilki  pemahaman yang luas dan mendalam diseluruh cabang ilmu pengetahuan, khususnya dibidang ekonomi Islam, oleh karenanya kesungguhan kita untuk terus menggali dan mengkaji disiplin ilmu ekonomi Islam sangant diharapkan sekali hingga cita-cita mulia ini tercapapi, karena factor utama dan pertama keterlambatan dari pertumbuhan Perbankan Islam adalah kurangnya SDI yang mengelolah dan mengatur perbankan Islam. Inilah pengantar singkat tentang Ekonomi dan Perbankan Islam. Penulis sadar banyak kekurangan yang ada di coretan-coretan ini, oleh karena itu kritik konstruktif diharapkan dari semua pihak hingga lebih menghasilkan manfaat dan maslahat bagi ummat amin. moga coretan ini bermanfaat bagi pencoret khususnya dan bagi semua yang membaca pada umumnya, yang benar hanya semata-mata dari Allah, dan yang salah dari pencoret pribadi, nastaghfirullah,  lailaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzalimin.
Bahan bacaan dan tulisan
-       Alqur’an dan terjemahannya
-       Mausu’ah qodoya fiqhiyyah muasiroh wa iqtisod Islamy DR>.Ahmad Ali Salus
-       Kajian ekonomi Islam ICMI Kairo
-       Manajemen Zakat dan Lembaga Keuangan Syari’ah di Indonesia ,DR. Didin Hafidhuddin,M.Sc dan DR. Muhammad Syafi’I Antonio ,M.Ec
-       Manhaju qur’an fi Islahil mujtama’  Dr. Muhammad said Yusuf.
-       Dll.


Mengapa Jual-Beli Saham itu Haram

Sesungguhnya Pasar Modal itu halal jika bertujuan untuk mempertemukan antara pengusaha yang memerlukan modal dengan investor yang kelebihan uang, sehingga sektor real bisa bangkit. Dengan cara ini, maka produksi, baik barang maupun jasa bisa meningkat untukk memenuhi kebutuhan masyarakat, serta membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Hal seperti itu halal, dengan catatan tidak ada gharar (penipuan) atau riba yang mengurangi hak dan merugikan investor.
Setelah itu, perusahaan berjalan dengan suntikan modal investor. Sesungguhnya kerjasama seperti ini (Mudlorobah atau Musyarokah) yang kalau di zaman modern mungkin disebut dengan join venture sudah dikenal dan dihalalkan dalam Islam selama tidak ada tipu-menipu.
Dalam hadis Qudsi, Allah mengatakan:
“Saya adalah ketiga dari dua orang yang bersyarikat itu, selama salah satu pihak tidak mengkhianati kawannya; jika salah satu mengkhianati kawannya, maka saya akan keluar dari antara mereka berdua itu.” (Riwayat Abu Daud dan Hakim dan ia sahkannya)
Ibnu Razin dalam kitab Jami’nya menambahkan: (dan akan datang syaitan).
“Dan tolong-menolonglah kamu atas kebaikan dan tagwa.” (al-Maidah: 3)
Sebagian ummat Islam menganggap bahwa jual-beli saham di Bursa Saham (Stock Market) adalah halal, sementara sebagian lainnya menganggap haram karena termasuk spekulasi atau judi.
Manakah yang benar? Sebagai ummat Islam, jika ada perbedaan seperti itu, hendaklah kita kembali berpegang pada Al Qur’an dan Hadits
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An Nisaa:59]
Kita memang tidak bisa mengklaim sebagai yang paling benar, tapi sesungguhnya Al Qur’an itu tidak ada keraguan bagi orang yang takwa serta mentaati Nabi itu adalah perintah dari Al Qur’an. Al Qur’an dikenal juga sebagai Al Furqon, yang membedakan mana yang haq dengan yang bathil. Untuk itu, kita harus berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, bukan cuma berdasarkan pendapat kita sendiri.
Ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham halal dengan alasan sama dengan jual-beli barang lainnya seperti buah atau beras. Hal ini kurang tepat.
Saham itu baik barang maupun nilainya tidak jelas, sehingga membeli atau menjualnya adalah tindakan yang spekulatif. Jangankan saham, buah saja meskipun halal, tapi jika kondisinya belum jelas dilarang diperjual-belikan:
Menurut jabir; “Rasulullah s.a.w. melarang penjualan buah-buahan sebelum ia masak.” (Hadis riwayat Bukhari).
Anas juga menyatakan, “Rasulullah s.a.w. melarang Munabazah yaitu menjual pakaian dengan melemparkan kepada pelanggan sebelum dia mempunyai masa untuk meneliti atau melihatnya; Beliau juga melarang Mulamasah, menjual pakaian dengan hanya menyentuhnya sebelum pembeli sempat melihatnya; Beliau juga melarang Muhaqilah yang berupa amalan menjual jagung yang masih melekat pada empulurnya untuk ditukarkan dengan jagung bersih; malah beliau melarang Mukhadarah yang berupa jualan benda-benda yang hijau atau belum masak; dan Beliau juga melarang Muzabanah yang berupa penjualan kurma yang segar (sudah diproses) dan penjualan buah-buahan yang belum masak yang masih di atas pokok.” (Hadis riwayat Bukhari)
“Dari Jabir bin Abdullah ra katanya: Rasulullah SAW melarang kontrak jual beli hasil buah kebun untuk beberapa tahun lamanya” (HR Muslim).
Kenapa Nabi melarang hal itu? Karena itu itu tindakan spekulatif, walau pun buah itu halal. Jika buah-buahannya masak, pembeli untung, tapi jika tidak masak atau busuk, maka pembeli rugi. Begitu pula dengan saham.
Nabi melarang jual-beli tanpa si penjual memberi kesempatan bagi si pembeli untuk meneliti barang yang dibelinya, misalnya hanya memegang tanpa melihat, atau langsung dilempar begitu saja. Boleh dikata, hampir semua pembeli di bursa saham membeli saham tanpa pernah pergi ke perusahaannya dan melihat assetnya apakah benar sesuai dengan laporan keuangan atau tidak.
Ada yang berpendapat jual-beli saham halal karena dalam hal muamalah sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam hadits Nabi, kita mengetahui bahwa berserikat membentuk perusahaan antara pengusaha dan investor itu sudah ada di zaman Nabi dan dibolehkan. Pada zaman Nabi, tidak ada investor yang memperjual-belikan sahamnya, oleh karena itu tidak ada “larangan” untuk jual-beli saham. Tapi adakah itu berarti jual-beli saham halal?
Sesungguhnya kita tidak akan menemui larangan memakai narkoba atau bermain poker di Al Qur’an dan Hadits, tapi itu tidak berarti bahwa memakai narkoba atau bermain poker itu halal.
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” [Al Baqoroh:219]
Narkoba digolongkan ulama sebagai khamar karena membuat mabuk dan pikiran tidak berfungsi sementara poker digolongkan sebagai judi, karena pada saat ada yang menang, ada pula yang kalah atau menderita. Dari ayat Al Qur’an di atas juga jelas bahwa ada pertimbangan antara manfaat dengan mudlorot atau kerusakan yang bisa ditimbulkan. Jika lebih banyak mudlorotnya ketimbang manfaat, jangankan jual-beli saham, ibadah Haji yang termasuk wajib pun jika keadaan sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kematian (misalnya perang besar di daerah itu), bisa gugur hukumnya.
Kenapa jual-beli barang biasa misalnya kebutuhan pokok seperti beras, ikan, atau pakaian halal meski spekulasi bisa terjadi (walau sedikit dan ini juga dilarang dalam Islam) halal, sementara jual-beli saham haram? Karena manfaat yang pertama lebih besar ketimbang bahayanya. Tanpa jual-beli seperti beras, kehidupan tidak akan berjalan. Rakyat tidak bisa makan kecuali dia menanam atau membuat sendiri. Tapi tanpa jual-beli saham, orang tetap bisa hidup tanpa ada gangguan sedikitpun. Bahkan hal itu lebih bermanfaat, karena dia bisa mengerjakan sesuatu yang real.
Charlie Sheen yang berperan sebagai Bud Fox, pialang saham muda yang mengagumi Gordon Gekko (master pemain saham yang licik), dinasehati ayahnya (Martin Sheen) di dalam film Wall Street agar berusaha/bekerja dengan tangannya untuk menghasilkan produk yang nyata, ketimbang bermain saham yang tak menghasilkan apa-apa kecuali uang dari orang lain.
Dalam satu hadits, Nabi juga berkata bahwa sesungguhnya Allah mencintai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Bukan orang yang cuma duduk-duduk saja membeli saham sambil berharap suatu saat dapat capital gain.
“Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
“Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan hasil keringatnya sendiri” (HR Baihaqi)
Bahkan Rasulullah pernah mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz ra tatkala beliau melihat bekas kerja pada tangan Mu’adz. Seraya beliau bersabda: “(Ini adalah) dua tangan yang dicintai Allah Ta’ala”
Jual-beli saham pada pasar sekunder, jika trend grafiknya naik, mungkin semua orang akan senang. Tapi jika grafiknya lurus horisontal, maka jika fluktuatif, akan ada yang menang dan ada yang rugi. Persis seperti judi. Jika ada yang menang, maka ada yang harus menderita. Tidak mungkin semua mendapat kemenangan. Misalnya untuk untung, kita harus beli di harga rendah dan menjualnya di harga tinggi, misalnya kita beli harga saham di harga Rp 1000 dan menjualnya di harga Rp 2000. Agar bisa terjadi seperi itu, tentu ada yang harus membeli di harga tinggi (Rp 2000) dan menjualnya di harga rendah (Rp 1000). Kita mungkin menang, tapi yang lainnya rugi.
Pada kondisi trend grafik menurun, lebih parah lagi. Ada yang rugi sedikit, ada pula yang rugi besar hingga harus menjual rumah atau kehilangan milyaran rupiah. Contoh terakhir adalah kasus bunuh dirinya seorang pemain saham yang kalah, sehingga uang nasabahnya sebesar Rp 500 milyar lenyap begitu saja. Saya juga mengamati, dari transaksi jual-beli saham antara tahun 2002-2003, ada sekuritas yang transaksinya merugi hingga Rp 150 milyar, ada pula yang menang hingga Rp 300 milyar. Kemenangan satu pemain saham umumnya berasal dari kerugian pemain lainnya.
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [Al Maa-idah:91]
Islam mensyaratkan adanya saling kerelaan (senang) di antara pembeli dan penjual:
“Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu.” (an-Nisa’: 29)
Kerelaan di atas maksudnya baik pembeli dan penjual tidak kecewa atau dirugikan. Pada transaksi riba, mungkin antara debitur dan kreditur menanda-tangani peminjaman dengan sukarela, tapi pada dasarnya itu haram, karena debitur dirugikan. Demikian pula dengan jual-beli saham terutama ketika grafik rata atau menurun.
Dengan jual-beli saham, berapa banyak pemain saham yang dianggap master dan dikagumi juniornya akhir menderita kekalahan dan bahkan ada yang akhirnya bunuh diri. Seorang pemain saham, bahkan bisa melotot memonitor pergerakan harga saham sepanjang hari agar tidak kehilangan kesempatan menarik keuntungan jika seandainya harga saham turun atau naik. Pernah ada kejadian seorang nasabah yang ingin memukul broker-nya dengan palu karena rugi. Saya ragu jika itu sesuai dengan syariah…
Ada yang berpendapat, jika berusaha di sektor real juga kita bisa rugi. Itu benar, tapi kenyataan menunjukkan bahwa hal itu adalah halal, dan kenyataannya, lebih dari 70% para pengusaha itu berhasil. Jika seandainya rugi, maka prosesnya tidak secepat pada saham. Seorang pengusaha dengan modal 1 milyar, paling-paling dia bangkrut setelah 1-2 tahun beroperasi. Tapi dalam bermain saham, sama halnya dengan judi, uang sebesar itu bisa lenyap dalam semalam atau sebulan saja. Misalnya dia membeli saham A di harga 1 milyar, kemudian sebulan dia jual Rp 500 juta. Kemudian dia beli saham B, sebulan kemudian karena harganya turun terpaksa dia jual Rp 100 juta. Kerugian terjadi begitu cepat, apalagi jika saham yang dibeli nilainya jadi 0. Jika pada sektor real seorang pengusaha yang jatuh akhirnya bisa belajar dan akhirnya sukses, pada saham proses begitu cepat dan bisa menimbulkan kecanduan seperti judi.
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al Hasyr:7]
Jual-beli saham itu haram karena melanggar perintah Allah pada surat Al Hasyr ayat 7. Pada Mudlorobah dan Musyarokah, pengusaha yang memerlukan modal bisa mendapat uang dari investor untuk menjalankan usahanya. Jika jual-beli saham diadakan, maka modal yang diperlukan untuk usaha itu akhirnya beredar antara investor satu dengan investor yang lain, sehingga sektor real justru tidak bisa berkembang karena kekurangan dana.
Contohnya, di Bursa saham transaksi jual-beli saham mencapai antara Rp 200 milyar hingga Rp 1 trilyun PER HARI. Uang tersebut tidak bermanfaat apa-apa karena hanya beredar di antara orang-orang kaya (pemilik uang) saja. Padahal jika uang itu diinvestasikan untuk membuka perusahaan baru, paling tidak 200 perusahaan bisa berdiri. Misalkan kita mengimpor kedelai sebesar Rp 3 trilyun per tahun dari AS, bisa jadi dengan uang di atas, kita bisa menggerakan sektor pertanian, sehingga ratusan ribu petani bisa bekerja dan memberi nafkah bagi jutaan anggota keluarganya, rakyat bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, dan negara bisa menghemat devisa sebesar Rp 3 trilyun per tahunnya.
Tapi jika kita menganggap jual-beli saham itu halal meski bertentangan dengan ayat Al Hasyr ayat 7, maka uang sebesar Rp 200 milyar hingga Rp 1 trilyun itu tidak berarti apa-apa kecuali beredar di antara sesama spekulator saham. Ekonomi bisa mandek…
Jual-beli saham juga bertentangan dengan konsep Syarikat Islam. Dalam konsep Syarikat Islam, orang-orang yang bekerjasama membentuk perusahaan, baik pengusaha atau pun investor saling mengenal dan terikat kontrak yang jelas. Konsepnya mungkin hampir mirip pada perusahaan join venture modern.
“Dari Saib Al Makhzumi ra: Dia adalah syarikat (partner bisnis) Rasulullah SAW ketika belum menjadi Rasul. Setelah peristiwa Fathu Mekkah, Nabi berkata: “Selamat datang saudaraku dan syarikatku” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Begitulah konsep persekutuan bisnis dalam Islam. Sesama partner saling mengenal. Kalau dalam jual-beli saham, para partner bisnis mayoritas majhul atau tidak dikenal. Saking liquid-nya, pemegang saham satu perusahaan bisa berubah-rubah baik jumlah mau pun orangnya. Seorang Liem Sioe Liong atau James Riady (pemilik perusahaan yang asli), boleh dikata tidak mengenal para investor yang membeli saham-nya lewat Bursa Saham di pasar sekunder. Mana yang lebih baik, sistem Islam atau sistem Kapitalis?
Ada yang berpendapat bahwa semua itu tergantung niat. Jika niatnya membeli saham untuk investasi, maka jual-beli saham di pasar sekunder halal. Jika spekulasi, maka haram. Semudah itukah?
Jika niatnya memang investasi, tentu dia akan menyerahkan modalnya langsung kepada pengusaha yang memerlukan modal baik langsung atau di pasar perdana (IPO). Tapi jika menyerahkan uangnya kepada pemilik saham yang menjual sahamnya (spekulan) di pasar sekunder, itu sama saja dengan spekulasi. Ini mengakibatkan uang hanya beredar di antara sesama pemilik uang seperti yang disebut di atas.
Niat seperti itu jika tidak dilakukan dengan cara yang benar, sama saja dengan bersedekah pada orang berduit yang kemudian memakainya untuk berjudi atau bermaksiat. Jika dia sudah mengetahui hal itu tapi tetap melaksanakannya, sungguh dia telah tolong-menolong dalam kemaksiatan seperti yang disebut dalam Al Qur’an.
Ada juga pengamat yang berkata bahwa jual-beli saham untuk orang awam yang tidak punya data itu haram, karena resikonya besar. Tapi bagi yang ahli serta punya data, itu halal. Ini sama dengan mengatakan bahwa orang yang tidak mabuk, halal meminum khamar, atau seorang penjudi yang jago halal untuk berjudi. Islam tidak diskriminatif seperti itu…
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda: “Akan datang suatu masa di mana orang tak peduli akan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal atau dari yang haram” (HR Bukhari)
Mungkin ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham itu perlu agar investor yang cuma punya saham bisa mendapatkan uang dengan menjualnya jika ada keperluan yang mendesak.
Sesungguhnya dari ayat dan hadits di atas jelas bahwa jual-beli saham banyak mudlorotnya dan dilarang oleh agama. Jika investor itu memang butuh uang, maka dia bisa menarik modalnya dari syarikatnya jika uangnya memang ada. Tapi jika uangnya tidak ada, maka dia bisa berhutang, sebab berhutang itu selama tidak ada ribanya dihalalkan oleh agama. Ada baiknya Pasar Modal Syariah bekerjasama dengan Bank Syariah untuk meminjamkan uang bagi investor yang kepepet. Dan ada baiknya para investor untuk tidak menginvestasikan seluruh uang yang dimilikinya, serta menabung sebagian uangnya di Bank Syariah, sehingga tidak sampai melakukan jual-beli saham.
Jual-beli saham terjadi selain karena emitennya performance-nya kurang baik, mungkin juga disebabkan adanya kecurangan dari emiten sehingga para investor tidak bisa mendapatkan keuntungan yang layak, kecuali dari capital gain lewat jual-beli saham di pasar sekunder. Bayangkan, ada satu perusahaan besar dengan banyak produk yang dipakai luas di masyarakat, tapi hanya memberikan deviden sebesar 2,3% saja per tahun dari nilai pasar yang ada jika kita membelinya. Itu berarti jika kita membeli saham itu, maka pokok modal kita akan kembali setelah lebih dari 40 tahun! Padahal Direksinya bergaji puluhan juta rupiah per bulan, demikian pula pemilik perusahaan tersebut.
Hal itu persis ayat seperti ini, jika untuk kepentingannya sendiri, maka emiten ingin mendapat keuntungan/gaji yang besar. Tapi jika untuk investornya, dia beri hasil yang sedikit:
“Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!” (al-Muthafifin: 1-6)
Saya punya teman yang bergerak di bidang Baitul Maal wa Tamwil, dengan meminjamkan uang Rp 50 ribu, rata-rata dia bisa mendapatkan uang dari bagi hasil (7 untuk pedagang dan 3 untuk BMT) sebesar Rp 30 ribu dalam waktu hanya 20 hari. Itu berarti dalam waktu kurang dari 1 bulan, dia mendapat keuntungan sebesar 60%. Dalam setahun jika kondisinya seperti itu, paling tidak BMT-nya mendapat keuntungan 720%. Modalnya dalam setahun kembali sebesar 7 kali lipat lebih.
Jadi tanpa jual-beli saham, dengan berbagi keuntungan saja investor seharusnya bisa hidup jika emiten (syarikat)nya jujur. Mungkin seorang investor tidak akan mendapat keuntungan sebesar 720% seperti di atas, tapi seharusnya 50% saja sudah bisa didapatkannya jika tidak terjadi gharar. Sebab bisnis itu jika dijalankan dengan profesional, keuntungannya bisa jauh di atas bunga bank yang ada (9%), bukan di bawahnya.
Dalam Islam, bagi hasil dilakukan secara adil, sehingga baik pengusaha maupun investor bisa hidup dari keuntungan tersebut.
Imam Malik berkata dalam kitab Al Muwaththo: Dari Al ‘Ala bin Abdul Rahman bin Yaqub, dari bapaknya, dari kakeknya ra: “Bahwasanya ia menggunakan harta Usman (untuk berbisnis) yang keuntungannya dibagi dua”
Jual-beli saham di pasar sekunder terjadi karena emiten tidak bertanggung-jawab untuk memberikan bagi hasil yang adil kepada investor atau mengembalikan modal investor jika investor membutuhkannya. Tanggung-jawab itu dilemparkan kepada investor lain yang ada di bursa saham. Bisa terjadi ketika saham emiten (perusahaannya bangkrut) tersebut menjadi 0, Direktur beserta komisaris atau pemilik perusahaan yang asli (yang ada sebelum IPO) bisa tetap menikmati kekayaan berupa rumah dan mobil mewah dari uang yang diperolehnya lewat perusahaan tersebut ketika masa jaya, sementara investor non emiten menjadi bangkrut. Itulah sebabnya, ada saham yang meski harganya tinggal 20 rupiah, para Direksi dan pemilik perusahaan yang asli tetap saja bisa mempunyai rumah dan mobil mewah yang dijaga oleh bodyguard mereka, sementara investor yang bertransaksi jual-beli saham menderita.
Seandainya memang semua investor sepakat untuk menjual perusahaan, maka yang dijual bukanlah saham yang tidak nyata itu, tapi aset perusahaan tersebut. Misalkan aset perusahaan itu adalah gedung, maka yang dijual adalah gedungnya, uangnya dibagi kepada para syarikat yang ada. Itulah cara Islam.
“Dari Jabir ra katanya: Berkata Rasulullah SAW: Barang siapa yang berserikat pada rumah atau kebun (milik bersama), tidaklah dia boleh menjualnya sebelum memberitahukan kepada teman syarikatnya. Jika dia setuju, dibelinya. Jika tidak, baru dijual kepada orang lain”
Dalam Islam, seorang investor bisa menetapkan syarat:
“Dari Hakim putera Hizam ra, ia berkata: “Bahwasanya ia memberikan syarat kepada seseorang yang ingin menyerahkan hartanya sebagai modal. Katanya: Janganlah kamu jadikan hartaku padabinatang, jangan dibawa ke laut, jangan pula menyeberang sungai. Jika kamu melanggarnya, kamu harus mengganti hartaku ini” (HR Imam Daruquthni)
Pada Bursa saham yang ada, seorang pemegang saham minoritas tidak bisa melakukan hal itu. Ketika pemegang saham mayoritas merubah core business-nya menjadi lain, misalnya dari Asuransi menjadi perusahaan Dotcom dan nilai sahamnya menjadi hancur, pemegang saham minoritas tidak dapat mengambil kembali uangnya.
Pada jual-beli saham pada pasar sekunder satu saham bisa ditawar oleh banyak orang baik beli atau jual pada harga yang berbeda, sehingga harganya tidak menentu. Hal ini haram karena melanggar larangan Nabi:
“Dari Abu Hurairah ra katanya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah seorang Muslim mengajukan tawaran kepada barang yang sedang ditawar orang lain” (HR Muslim)
Seorang investor yang membeli saham kemudian akhirnya dijual lewat Bursa Saham guna mendapatkan capital gain ketika harga naik meski mungkin menjualnya dalam rentang waktu yang lama, tak ubahnya seperti seorang penimbun/spekulator:
“Dari Ma’mar bin Abdullah ra, Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang menimbun (agar harga naik), kecuali orang yang berdosa” (HR Muslim)
Sesuatu itu haram jika mudlorotnya lebih besar dari manfaatnya. Jual-beli sesuatu yang haram adalah haram juga.
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai, babi dan patung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Ia haramkan juga harganya.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
Mungkin dengan dihilangkannya Jual-beli saham pada pasar sekunder, orang-orang yang ingin mendirikan Pasar Modal Syariah akan kecewa, karena PMS tidak akan mendapatkan fee jual-beli saham yang nilainya lumayan (bisa mencapai 300 juta per hari). Bagaimana PMS bisa hidup setelah IPO?
Saya menyarankan (entah ini benar atau salah), sebaiknya untuk setiap perusahaan yang IPO, PMS mendapat bagi hasil sebesar 5% sebagai salah satu syarikat. PMS berperanan untuk menyeleksi emiten yang akan IPO apakah layak atau tidak, serta terus mengawasi emiten tersebut (mungkin sebagai komisaris) apakah berjalan dengan benar atau tidak, sehingga tidak merugikan investor.
Jika PMS berfokus pada penanaman modal untuk perusahaan-perusahaan baru di pasar perdana, maka banyak perusahaan akan berdiri, lapangan kerja terbuka luas, produksi bertambah banyak sehingga bisa memenuhi kebutuhan nasional (Indonesia bisa jadi mandiri), keuntungan terus bertambah, pada akhirnya ini akan menguntungkan PMS sendiri walau PMS mungkin didirikan atas niat lillahi ta’ala.
Sesungguhnya, pendirian Pasar Modal Syariah tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa Pasar Modal Konvensional tidak atau kurang memenuhi syariah. Jika PMS ternyata sama dengan Pasar Modal Konvensional atau Pasar Modal Konvensional itu halal, untuk apa kita mendirikan PMS?
Tidak semua yang datang dari Barat itu jelek, dan tidak semua yang datang dari Barat itu baik. Oleh karena itu, tidak sepatut-nya ummat Islam langsung mengadopsi segala hal dari Barat, kemudian dengan sedikit permak langsung dilabeli dengan kata “Syariah” sehingga jadi jual-beli saham syariah. Janganlah kita membebek Barat secara membabi-buta, sehingga yang buruknya pun kita ikuti sebagaimana yang diperingatkan oleh Nabi SAW:
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang yang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian tetap mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam punya konsep sendiri. Hal dari Barat bisa diterima jika memang tidak bertentangan dan sesuai dengan sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadits.
Demikian sekedar ulasan saya tentang jual-beli saham di pasar sekunder. Pendapat saya bisa benar atau salah, tapi insya Allah Al Qur’an tidak mungkin salah serta Rasul Allah tentu lebih benar ketimbang kita semua. Ada yang berpendapat jual-beli saham itu halal (mohon diberikan dalil Al Qur’an dan Hadits-nya), ada yang bilang syubhat, ada pula yang tegas menyatakan haram.
Dari Nu’man bin Basyir ra diberitakan bahwa Nabi bersabda: “Sebenarnya yang halal itu jelas dan yang haram jelas pula. Di antara yang halal dan haram itu ada yang syubhat (tidak jelas), banyak orang tak mengetahuinya. Siapa yang menghindar dari syubhat, dia telah memelihara agama dan kehormatannya. Siapa yang terkena syubhat, maka dia terkena yang haram…” (HR Muslim)
Dari hadits di atas serta kesimpang-siuran status jual-beli saham di pasar sekunder, jelaslah bahwa jual-beli saham itu jika tidak haram, dia adalah syubhat, karena itulah orang berbeda pendapat. Meninggalkan hal syubhat itu lebih utama ketimbang mengerjakannya, apalagi jika bahayanya lebih besar dari manfaatnya.
Kesimpulan
1. Jika penjualan saham dilakukan oleh pengusaha/emiten kepada masyarakat tanpa ada tipuan/manipulasi yang merugikan pihak lain pada saat IPO (penjualan saham perdana) maka halal.
2. Jika jual-beli saham dilakukan sesama investor/spekulan saham dengan harapan mendapat keuntungan dengan menjual saham tersebut ketika harganya naik, maka ini spekulasi. Tak jauh beda dengan judi yang jelas diharamkan.
Referensi:
Al Qur’an
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Diskusi di milis ekonomi-syariah


Demokrasi Versus Nomokrasi

March 7th, 2011
Sebuah penjelasan yang jarang diperoleh tentang tata pemerintahan Islam versus humanis-atheis.
Pengorganisasian masyarakat Islam dilaksanakan dalam suatu tatanan masyarakat kesejahteraan yang dijalankan oleh suatu Daulah, mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam syariah. Menurut Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi (2002) dalam Sultaniyya kata Daulah (Arab: Dawla) memiliki akar kata dal-alif-lam dan memiliki arti ‘merubah setiap saat, mengambil giliran, menggantikan dan memutar’. Kata ini juga bermakna ‘memenangkan dan mengungguli’; juga memiliki arti ‘menukar, dan meneruskan’. Dari sini dijelaskan pengertiannya yang lebih luas bahwa tatanan politik Islam harus didasarkan kepada pergerakan dan pemerataan kekayaan. Tiga kekuatan yang melekat di dalamnya yang akan menggerakkan kekayaan ini adalah: pasar dan perdagangan, zakat, dan sebagai instrumen pemerataan terakhir, melalui jalan pembagian harta pampasan perang (ghanam). Nomokrasi
Tatanan politik Islam in dapat dikenali sebagai Nomokrasi: bermakna ‘hukum yang berkuasa’ (rule of law). Berbeda dari demokrasi yang mengenal tiga pilar sebagaimana disebut di atas nomokrasi hanya mengenal dua pilar: eksekutif dan yudikatif. Dalam tata pemerintahan Islam tidak dikenal lembaga legislatif. Dengan kata lain, berbeda dari negara demokrasi yang mengatur kehidupan berdasarkan ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh manusia (legislatif), dan karena itu kekuasaan (sovereignty) ada di tangan beberapa orang (yang disebut sebagai Parlemen itu), nomokrasi Islam mengatur kehidupan berdasarkan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariah.
Konsekuensi pertama dari tata pemerintahan yang berbeda ini adalah ada atau tidaknya ‘kelas politisi’. Dalam demokrasi, dengan sendirinya, diciptakan kelas politisi, yang mengklaim diri mereka mewakili warga negara lainnya, tetapi dalam kenyataannya hanya bertindak untuk menjaga kepentingan tertentu yang diabdinya. Paling jauh mereka mewakili kepentingan pribadi mereka. Dalam nomokrasi Islam tidak dimungkinkan terciptanya ‘kelas politisi’, apalagi ‘kelas kapitalis’, karena dua alasan. Pertama, Islam tidak mengenal konsep perwakilan politik sebagaimana telah disebutkan di atas. Kedua karena riba dilarang dalam Islam, mekanisme utama terbangunnya kapitalisme tidak dimungkinkan.
Untuk mempertegasnya, sekali lagi, tata pemerintahan Islam tidak dijalankan atas dasar kekuasaan pada manusia (konstitusi, Parlemen) melainkan atas dasar ketentuan hukum (rule of law, syariah). Hukum buatan manusia bukanlah hukum yang sebenarnya yang bertujuan menciptakan keadilan, melainkan cerminan kepentingan-kepentingan mereka yang menyusunnya. Dalam nomokrasi, kalaupun ada semacam Parlemen maka perannya bukanlah membuat dan menetapkan undang-undang, tetapi merupakan lembaga konsultatif, yang dikenal sebagai shura. Hukum syariah juga bukan ‘milik’ eksekutif, karena ia bersifat abadi.
Para fuqaha yang mengendalikan cabang eksekutif semata-mata hanya menafsirkan syariah berdasarkan ketentuan fikih. Kita akan kembali membahas soal ini nanti, dan menunjukkan kekeliruan para pembaru Islam, yang mengajukan suatu konsepsi yang disebut sebagai ’sistem hukum modern berdasarkan syariah’. Pembentukan otoritas dalam nomokrasi Islam, yang sekaligus menjadi sumber legitimasinya, tidak dilakukan dengan cara ‘pemilihan umum’ sebagaimana dalam sistem demokrasi, melainkan melalui pengakuan langsung atas otoritas sang pemimpin (baiat).
Penegakkan Amr
Pengakuan dan pembentukan otoritas (amr), dalam Islam, wajib hukumnya. Al Mawardi dalam bukunya, Al Ahkam as-Sultaniyyah mengatakan, ‘Kepemimpinan ditetapkan untuk melanjutkan kerasulan sebagai cara untuk menjaga dien dan mengelola urusan dunia’. Ibn Khaldun, dalam bukunya Muqaddimah, juga menyatakan hal yang sama. Ia mengatakan, ‘otoritas untuk dapat melakukannya (memenuhi ketetapan syariah dan urusan dunia) dipegang oleh wakil hukum agama, yakni Rasul; dan kemudian pihak yang meneruskannya, para khalifah’. Dan otoritas yang terbentuk ini, seperti telah disinggung di atas, tidak mewakili kehendak kolektif rakyat - yang bisa benar atau salah - tetapi mewakili kehendak Allah, yang tidak mungkin salah.
Satu-satunya standar untuk mengevaluasi otoritas bersangkutan adalah apakah ia accountable atau tidak terhadap ketetapan syariah. Dengan kata lain, sang pemimpin, harus tunduk terhadap ketetapan otoritas yang lebih tinggiyang bukan datang dari manusia lain (yang diklaim sebagai ‘rakyat’ [Konstitusi] dalam sistem demokrasi), tetapi dari Allah. Di sini fungsi sebenarnya para fuqaha adalah sebagai kekuatan pengendali para pemegang otoritas, bukan seperti yang terjadi di zaman kini ketika para ulam ajustru mengambilalih kepemimpinan umat. Akibatnya, terbentuklah semacam ‘kerahiban’ di satu sisi, dan kevakuman kepemimpinan politik umat di lain sisi.
Dalam buku-buku teks ilmu politik pandangan semacam ini, tentu saja, tidak pernah dituliskan. Sebab teori politik modern didasarkan kepada keyakinan bahwa ‘Kekuasaan” ada di tangan ‘rakyat’ dan di luar itu diberi arti sebagai tirani. Dalam Islam otoritas tertinggi dan valid tiada lain, tentu saja, adalah yang ada pada Allah sendiri. Inilah nomokrasi yang, secara pejoratif, acap dilabelisasi sebagai teo-krasi. Nomokrasi merupakan tatanan masyarakat yang berdasarkan pada fitrah. Sedangkan demokrasi, atau tepatnya sistem negara struktural, adalah tatanan masyarakat yang dikendalikan oleh sebuah mesin kekuasaan, sistem yang dirancang atas dasar rasionalisme. Tujuan negara struktural adalah untuk mengendalikan dan menindas hak-hak pribadi warga negaranya sendiri.
Dalam konteks ini dengan mudah dapat ditunjukkan inkonsistensi ‘teori politik Islam’ yang mengajarkan tentang ‘demokrasi Islam’. Seorang pemimpin yang menetapkan bahwa ‘riba itu haram’ berarti ia bertindak ‘mewakili’ Allah dengan menjalankan syariah. Ia menjadi penguasa yang accountable. Sedang demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. Seandainya mayoritas, kehendak kolektif publik, mengatakan bahwa ‘riba itu halal’ dan penguasa mengikutinya dan memutuskan bahwa ‘riba itu halal’, ia telah bertindak demokratis. Tapi, keputusan ini tidak lantas menafikan ketetapan syariah, bahwa ‘riba itu haram’. Hal ini hanya membuktikan bahwa ‘perwakilan rakyat’, bagaimana pun, tidak dapat melangkahi otoritas Allah.
Daulah Islam, berbeda dengan negara fiskal, tidak menarik pajak dari warganya. Satu-satunya ‘pajak’ yang ditariknya, secara terbatas kepada orang kaya saja dan dalam proporsi yang sangat kecil (tergantung komoditas yang terkena ketentuan), adalah zakat. Zakat, tidak seperti pajak, tidak sedikitpun yang dibolehkan untuk dipakai membiayai keperluan pemerintahan, melainkan sepenuhnya harus didistribusikan kepada anggota masyarakat yang berhak. Pembagian zakat harus dilaksanakan dalam waktu yang sangat segera dan karenanya tidak dimungkinkan terjadinya penimbunan(yang dalam konteks sekarang berarti berada dalam sistem perbankan). Pendapat sejumlah orang yangmengatakan bahwa pajak adalah ‘zakat modern’ sungguh keblinger. Zakat bukan (sumber) pendapatan pemerintah, tetapi merupakan bagian dari kewajiban pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Islam Tak Mengenal Negara
Di sini sangat penting bagi kita untuk memahami makna istilah ‘negara’ secara tepat. Kita harus menemukan padanan yang paling sesuai dengan hukum Islam untuk suatu pengertian yang mengacu kepada suatu fungsi otoritas. Istilah yang tepat untuk itu hanyalah ‘pemerintahan’ (government) bukan ‘negara’ (state) yang secara lebih tepat berarti ‘negara fiskal’ (fiscal state) sebagaimana telah diuraikan di atas. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dan akan kita buktikan segera di sini, negara fiskal adalah konsepsi negara kapitalis yang asing bagi Islam.
Dengan sangat mudah dapat dibuktikan, di dalam mesin kekuasaan negara fiskal - negara-negara republik dan demokratis atau monarki parlementer atau negara sosialis - sebgaian besar pajak yang dikumpulkan negara dari rakyatnya berasal dari atau kembali kepada (sistem) perbankan. Modus ini beroperasi sejak awal terbentuknya negara fiskal ini, mengikuti diakhirinya tata pemerintahan personal di Eropa pada awal abad ke-18 dan abad ke-19. Perubahan radikal tata pemerintahan ini dimulai oleh Revolusi Perancis (1789), kemudian Revolusi 1848 (gerakan republikanisme) yang terjadi di berbagai wilayah Eropa.
�Dalam kapitalisme lanjut di zaman modern kini negara-bangsa justru kembali menjadi tidak relevan. Kedaulatan politik pada tingkat pemerintahan nasional telah hilang karena telah dipisahkan dari motor sumber kekuasaan itu, yakni uang. Rezim pemerintahan sah yang dibentuk melalui prosedur demokrasi (Pemilihan Umum) tidak lagi menjadi kewenangan, karena telah diambilalih oleh ‘Kekuatan Uang’ internasional. Prosedur pemilu demokratis itu sendiri telah sepenuhnya menjadi sekadar formula aritmatik yang berfungsi sebagai mesin politik yang menghasilkan pemimpin-pemimpin berkualitas buruk yang sebelumnya - melalui mekanisme partai politik - telah ditapis oleh kekuatan uang. Siapapun yang mampu mengumpulkan angka (suara) terbanyak;, yang dapat diperoleh dengan kekuatan uang (tanpa harus berarti membeli suara), dia yang akan memimpin.
*Kutipan dari buku “Ilusi Demokrasi” Bab 1- buku ini dapat diperoleh di Dinar Shop
Bookmark and Share

Tiada Kepemimpinan Tanpa Ketaatan

February 22nd, 2011
Dalam pelatihan-pelatihan dasar kepemimpinan salah satu hal baku yang diajarkan adalah tentang perbedaan antara pemimpin (leader) dan pelaksana (manager). Disebutkan bahwa pemimpin adalah seseorang yang mampu menunjukkan tujuan yang benar, sedangkan pelaksana adalah seseorang yang mampu mencapai tujuan dengan cara yang benar. Dengan demikian pemimpin adalah seorang visioner, sedangkan pelaksana adalah seorang teknisi. Para pemimpin adalah mereka yang dapat melihat dan menunjukkan jalan keluar atas suatu keadaan yang bagi kebanyakaan orang adalah persoalan dan kebuntuan.
Selanjutkan di antara para pemimpin itu pun dibedakan dari gaya dan cara kepemimpinannya. Ada jenis pemimpin transformatif-kharismatik yang menerapkan kepemimpinannya atas dasar karakter alamiahnya, dengan pendekatan pendampingan (coaching) dan kesetaraan, yang dipercaya berdampak menghasilkan pemimpin-pemimpin baru berikutnya. Ada pula jenis pemimpin transaksional, dengan pendekatan lebih lugas dan pragmatis, atas dasar imbalan dan hukuman. Cara ini dipercaya memberikan dampak kemepemimpinan yang efektif.
Kepemimpinan itu sendiri dimaknai sebagai seni untuk membawa serta orang lain untuk mengikuti kemauan sang pemimpin untuk mencapai tujuan yang ditentukannya, kalau bisa secara sukarela, atau kalau perlu dengan dipaksa, meski secara halus. Perdebatan lain yang acap didiskusikan adalah pertanyaan: apakah seorang pemimpin itu dilahirkan ataukah diciptakan? Adakah kepemimpinan itu adalah hasil bakat ataukah hasil didikan atas seseorang?
Berbagai teori dan pengertian tentang pemimpin dan kepemimpinan di atas dikembangkan dari cabang informasi yang disebut sebagai psikologi, tepatnya psikologi perilaku. Dasarnya, tentu saja adalah rasionalisme dan humanisme, yakni keyakinan bahwa manusia adalah pusat segalanya dan memiliki kemampuan untuk memahami, menjalani, dan bahkan membentuk sejarahnya sendiri. Aneka teori dan diskripsi tentang pemimpin dan kepemimpinan yang bermacam-macam itu kemudian digunakan sebagai pembenaran atas penetapan salah satu pilihan gaya dan metoda kememimpinan yang diambil seseorang. Di balik itu, tentu, ada ideologi tertentu yang mendasarinya.
Demokrasi dan Islamisasi Demokrasi
Dalam ranah politik praktis, sebagai ajang kepemimpinan paling masif dan luas, kemudian diciptakanlah instrumen dan prosedur penentuan pemimpin yang dianggap paling sah. Yang paling dominan saat ini adalah melalui prosedur demokrasi: pemilihan pemimpin atas dasar suara terbanyak. Dengan berbagai pembenaran demokrasi didifinisikan sebagai cara terbaik dalam memilih pemimpin. Di luar prosedur demokrasi dikatakan sebagai tirani. Maka, secara all out, demokrasi dipertahankan mati-matian sedemikian rupa hingga muncul watak aslinya sebagai sistem politik tirani, demokrasi tidak mentolerir kemungkinan pilihan lain yang nondemokratis.
Di kalangan umat Islam pun, yang secara empiris selama ratusan tahun sama sekali asing dengan demokrasi, belakangan gencar berlangsung islamisasi politik (dan ekonomi). Hasilnya adalah syariah Islam, yang sebelumnya sepenuhnya menjadi panduan kehidupan, termasuk dalam ranah ekonomi dan politik, dikompromikan atau bahkan ditinggalkan sama sekali. Hasilnya, terbalik dari yang diharapkan yakni menjadi-islam-nya institusi-institusi ekonomi dan politik, justru Islamlah yang ditundukkan di bawah sistem sekuler ini. Sebab, dalam proses kompromi ini, Islam pertama-tama diletakkan di bawah struktur negara dengan sistem demokrasi konstitusional, beserta status quo tatanan politik internasional di bawah naungan lembaga supranasional khususnya Perserikatan bangsa Bangsa (PBB) dan seluruh turunannya. Islam kemudian kemudian disesuaikan dengan keduanya (konstitusi dan globalisasi).
Produk akhir yang dapat dibayangkan adalah semacam ‘demokrasi Islam’, ’partai Islam’, atau ‘Konstitusi Islam’, sebagaimana yang diajarkan oleh para pemikir awalnya, seperti Sayyid Qutb di Mesir dan padanannya Abul A’la Maududi di Anak Benua Indo-Pakistan. Cita-cita akhir yang dicanangkan adalah terbangunnya sebuah ’negara Islam’. Akibatnya, kembali dalam konteks kepemimpinan yang tentu saja mengikuti model tatanan politik yang melingkupinya, kaum Muslimin meninggalkan model terbaiknya yang telah diwariskan selama ratusan tahun sejak masa Rasulullah salallahu alaihi wassalam: kepemimpinan dengan ketaatan, digantikan dengan sistem kepemimpinan dengan dasar perseteruan, dimotori oleh sikap permusuhan antara yang dipimpin dan yang memimpin, untuk saling menjatuhkan demi pergiliran kekuasaan, melalui proses politik yang diabsahkan oleh suara terbanyak.
Kembalinya Kepemimpinan Islam
Dalam konsensus para ulama, sebagaimana disimpulkan oleh dua fakih besar Imam Al Mawardi (lihat Al Ahkam al Sultaniyya) dan Ibn Khaldun (lihat Muqaddimah), disepakati bahwa kepemimpinan dalam Islam merupakan kelanjutan dari kerasulan. Dengan kata lain tidak ada pemisahan antara urusan dunia dan urusan akherat. Tata cara dan prosedur penunjukan dan penetapan seorang pemimpin pun diatur dalam syariat Islam, meski secara historis mengalami berbagai variasi, sejak penunjukkan Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah SAW, sampai bertahtanya khalifah terakhir di Kekhalifahan Utsmani, Sultan Abdalhamid Khan II, sampai para sultan di Nusantara, hingga berakhirnya nomokrasi Islam ini, digantikan oleh demokrasi ateis hingga saat ini.
Dengan telah berlangsungnya islamisasi demokrasi di kalangan kaum Muslimin di seluruh dunia saat ini, menyusul bangkrutnya sistem politik tirani yang telah mendahuluinya, apakah berarti sejarah telah berakhir, dengan kemenangan demokrasi (berserta individualisme dan kapitalisme yang menghidupinya)? Francis Fukuyama, yang pada tahun 1992 menerbitkan buku The end of History and the Last Man, dan para pengekornya meyakininya demikian.
Namun, rentetan peristiwa ekonomi dan politik yang berlangsung terutama sejak akhir 1990an, yang terjadi di pusat-pusat demokrasi dan kapitalisme, justru memperlihatkan fakta yang sebaliknya. Pembusukan kapitalisme telah sampai pada tahap terakhirnya. Lihatlah salah satu fakta yang boleh jadi merupakan ironi sejarah modern ini: Cina, negeri komunis, musuh bebuyutan demokrasi, kini tampil sebagai pahlawan mengulurkan upaya terakhir menyelamatkan kapitalisme dan demokrasi. Sesudah berhasil menyelamatkan Afrika dan Amerika, kini Cina sibuk menyelamatkan Eropa, dengan cara pembelian besar-besaran obligasi yang diterbitkan oleh negara-negara Eropa, mulai dari Yunani sampai Spanyol. Dan itu baru permulaan, sebab cadangan valuta asing Cina yang bisa dengan royal mereka belanjakan saat ini mencapai 2.65 triliun dolar AS, boleh jadi lebih dari cukup untuk ”membeli” seluruh Eropa.
Fenomena ini memperlihatkan dengan jelas kepada kita bahwa ekonomilah, dan bukan politik, yang mengendalikan tata kehidupan saat ini. Dan ekonomi yang berlangsung saat ini, dari kaca mata Islam, tiada lain adalah sistem riba. Jadi, mau disebut kapitalisme atau sosialisme, secara substansial tak ada perbedaannya, keduanya adalah kebatilan, yang penuh dengan ketidakadilan. Dari sisi yang sebaliknya kita pun dapat memahami bahwa sistem politik yang ada saat ini, demokrasi, tiada lain adalah perpanjangan tangan dari sistem ekonomi, yakni sistem riba, yang batil dan tidak adil itu. Dan kebatilan ini bukan cuma bila dinilai secara hukum, baik hukum Islam atau bukan, tetapi secara subtsansial karena dilandaskan kepada ilusi. Maka, bahkan sesudah diislamisasi menjadi ”ekonomi Islam” dan ”demokrasi Islam” pun, tidak berbeda dari versi Aslinya.
Wahyu Ilahi Mengganti Konstitusi
Di sinilah, bagi kebanyakan pendukung demokrasi dan kapitalisme, agaknya tampil ironi lain bahwa solusi bagi kehancuran sistem yang didasarkan kepada humanisme-ateis, sebagaimana disinggung di muka, adalah kembali kepada tuntunan wahyu ilahi. Bahwa riba, sebagaimana juga diajarkan dalam agama Kristen dan Yahudi, adalah praktek terlarang, dan untuk ratusan tahun lamanya demikian adanya, sampai masa wahyu ilahi ditinggalkan. Kini tinggal Islam yang tetap kokoh berdiri menghadapi riba, dus kapitalisme dan demokrasi yang menopangnya. Syariat Islamlah Bahtera Nabi Nuh terakhir, bukan cuma bagi umat Islam, tetapi seluruh manusia di bumi ini.
Inilah tantangan bagi para pemimpin Muslim di masa kini. Pilihan kita memang tidak banyak, bahkan mungkin tidak ada sama sekali, kecuali kembali kepada Wahyu Ilahi dan berpaling dari Konstitusi, kembali kepada Tauhid dan meninggalkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi seorang Muslim, aneka peristiwa ekonomi dan politik yang mengguncang dunia saat ini, bukanlah ironi sama sekali, tetapi sebungkah opportunity.
Syariat Islam dalam kehidupan dunia hari ini, dan di sini, adalah muamalat. Dan itu berarti urusan sosial dan politik. Tugas kita, di tengah kehancuran sistem kehidupan batil yang sudah sangat dekat ini, adalah menghidupkan kembali muamalat, sebagai model otentik Islam, dan bukan mengislamisasi demokrasi dan kapitalisme, yang mengakibatkan kita tidak mampu, jangankan menerapkan, bahkan sekadar melihat, model otentik Islam ini. Sebagai antitesa dari sistem batil yang didasarkan kepada dua hal, yakni sistem finansial yang didasarkan kepada riba (dengan alat tukar batil berupa uang kertas) dan struktur kekuasaan menindas melalui sistem bernama negara-bangsa, Islam pun melalui muamalat menawarkan dua struktur kebalikannya.
Dua struktur tata kehidupan Islam ini, yang pernah berjalan tetapi kemudian dikalahkan secara politik dan vakum hingga kini, sebagaimana diutarakan oleh Shaykh Abdalqadir as Sufi, (dalam pengantar buku The Muslim Prince), adalah kekayaan yang didasarkan kepada alat tukar yang memiliki nilai sejati (intrinsik), yakni mata uang Dinar emas dan Dirham perak Islam, bersama uang recehnya Fulus, dalam pasar pasca-riba; serta kekuasaan yang didasarkan kepada pemerintahan personal, yakni seorang Pangeran, seorang Sultan atau seorang Amir, dalam puncak segala urusan, yang memimpin dengan musyawarah, secara terbuka, dan berdasarkan kepada rasa saling percaya, antara Sang Pemimpin dan Rakyat yang dipimpinnya. Sebuah model tata pemerintahan yang didasarkan kepada perlindungan di satu sisi dan ketaatan di lain sisi.
Bila hal-hal mendasar ini sudah dimengerti selebihnya adalah masalah-masalah teknis. Bila Sang Pemimpin (Leader) telah lahir di sini selebihnya adalah urusan para Pelaksana (Manager).
Bookmark and Share

Syariat Islam, Bahtera Nuh Terakhir

January 4th, 2011
Zaim Saidi
Syariat Islam, Bahtera Nuh Terakhir
Zaim Saidi eksis sebagai sosok aktivis organisasi nonpemerintah. Sikapnya jernih dan lugas. Kesetiaannya pada prinsip, diikuti ketekunannya mewujudkan apa yang ia yakini, mengalir di jalan elitis: riset dan publikasi. Pencariannya, mengantarkannya pada hijrah pemikiran yang menggenapi perjalanannya sebagai aktivis. Ditemui di kantornya yang ‘nyempil’ di pedalaman Tanah Baru, Beji, Depok, Zaim dengan rileks menguraikan pandangan-pandangannya tentang Islam dan dunia.
Anda mengawali aktifitas pascakuliah dengan menjadi aktifis lembaga non pemerintah?
Benar. Begitu lulus, sampai sekarang saya tidak pernah menyandang gelar profesi tertentu. Saya langsung sibuk bergelut dengan isu-isu kekonsumenan yang sangat bersifat teknis. Soal pewarna makanan yang berbahaya bagi kesehatan, soal lingkungan, dan sebagainya.
Lalu saat ini Anda fokus kepada persoalan kebijakan publik?
Pengalaman empirik selama berkecimpung di LSM justeru mengantarkan saya pada satu kesimpulan bahwa kerja-kerja saya tidak akan banyak memberikan perubahan. Lalu saya melihat ada persoalan yang lebih mendasar daripada membela dan melindungi untuk memperoleh hak-haknya serta terpenuhi kebutuhan serta kepentingannya. Persoalan itu adalah persoalan kebijakan publik, public policy. Dari situ kepedulian saya bergeser ke ranah advokasi, yakni mengkritisi bagaimana pemerintah melayani warganya, terutama yang bersentuhan dengan persoalan hukum, HAM dan lingkungan.
Tahun 1996-1997 Anda menjalani jeda kuliah, apakah itu juga mempengaruhi lebih jauh cara pandang Anda terhadap dunia?
Sudah pasti. Masa jeda itu saya gunakan untuk mempelajari ekonomi politik internasional. Ini menjadi beyond dengan urusan public policy. Wawasan saya merambah sampai ke persoalan politik dan ideology, soal ekonomi. Saat itu saya juga mulai bersentuhan dengan Islam. Awalnya sebagai aktifis LSM, kemusliman saya relatif liberal, pro demokrasi. Tetapi dalam pertemuan dengan guru saya Syech Abdalqadir As-Sufi saya mendapat perspektif baru tentang Islam. Beliau mengajak kepada telaah yang lebih basic dalam sistem Islam dalam menanggulangi persoalan-persoalan sosial, politik dan ekonomi. Menurutnya, ada yang hilang dari Islam dalam kehidupan masyarakat muslim saat ini yakni muamalat, yang termasuk di dalamnya persoalan politik. Dari berbagai kajian, akhirnya ditemukan fakta bahwa sistem politik dunia merupakan salah satu instrumen dari sistem riba.
Zaim Saidi lahir di Parakan 21 November 1962. Alumni jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, IPB, 1986 ini aktif di berbagai LSM, antara lain YLKI, Lembaga Ekolabel Indonesia dan Walhi, sejak tahun 1987. Pada 1991 ia memperoleh Public Interest Research Fellowship dari Multinational Monitor. Pada 1996, Zaim menerima Merdeka Fellowship dari pemerintah Australia, dalam rangka 50 tahun Kemerdekaan RI. Beasiswa ini ia manfaatkan untuk studi banding tentang perlindungan konsumen dan menempuh studi S-2, Public Affairs di Department of Government and Public Administration, University of Sydney. Tesisnya berjudul The Politics of Economic Reform in the New Order: 1986-1996. Tahun 2006-2007 belajar Muamalat di Dallas College, Cape Town, di bawah bimbingan langsung Prof. Umar Ibrahim Vadillo, juga dari Shaykh Dr. Abdalqadir As-Sufi.
Dengan melihat gejala ekonomi politik beberapa waktu belakangan ini, Anda memprediksi atau meyakini bahwa sistem negara bangsa (nation state) pada akhirnya cepat atau lambat akan runtuh. Bagaimana itu bisa terjadi?
Sebelum sampai kepada kesimpulan itu, perlu dijelaskan dulu bahwa kita saat ini hidup dalam satu cara yang orang sebut sebagai cara hidup modern. Itu adalah cara hidup yang berlandaskan sikap materialistik dan keduniaan, yang dipicu oleh paham rasionalisme dan humanisme. Keduanya memutus kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Konstruksi cara hidup modern adalah sekularisme dalam kehidupan sosial dan politik serta materialisme dalam kehidupan ekonomi. Teknik yang dipakai untuk membangun konstruksi kehidupan modern adalah sistem negara bangsa, berdasarkan pada konstitusionalisme, serta praktek riba melalui perbankan. Keduanya saling menopang, terintegrasikan, untuk melestarikan cara hidup ini secara keseluruhan. Sistem kehidupan modern inilah yang dapat disebutkan dalam satu terminologi yang masif, yakni kapitalisme.
Kapitalisme inilah yang dibangun di atas pondasi riba dan menjadikan riba sebagai doktrin yang absolut. Dalam perspektif ini, sosialisme pun adalah kapitalisme dalam versi lain, yakni kapitalisme Negara. Elemen utama kapitalisme adalah sistem bank sentral, uang kertas, dan pajak. Semua itu ditetapkan dalam konstitusi yang pada akhirnya didudukkan layaknya ayat-ayat suci karena dijadikan sebagai rujukan untuk menentukan ‘halal-haram’ tindakan individu dalam politik, ekonomi, bahkan sosial budaya. Konstitusi menjelma jadi dogmatisme hukum negara modern, apakah dalam negara yang mengklaim negara demokrasi maupun bukan, semuanya sama di permukaan bumi, menopang kapitalisme sebagai cara hidup modern.
Nah, secara singkat, dari sudut ekonomi, bangunan sistem finansial berlandaskan riba yang menopang sistem ekonomi negara bangsa menunjukkan gejala kehancuran melalui letupan yang terjadi susul menyusul. Negara demi negara mulai mengalami kesulitan untuk membiayai keberlanjutan keberadaannya. Keruntuhan sistem finansial ribawi, juga akan dengan segera diikuti oleh keruntuhan sistem politik yang menopangnya.
Bagaimana keniscayaan runtuhnya sistem tersebut?
Ini agak panjang pemaparannya. Tetapi secara singkat sistem yang ditopang oleh riba sangat rapuh. Basis riba adalah penggelembungan nilai melalui ilusi uang kertas. Secara matematis sistem ini akan runtuh dengan sendirinya, hanya soal waktu yang tidak dapat dipastikan. Rentetan peristiwa yang kita sebut sebagai ‘krisis moneter’ adalah awal dari keruntuhan sistem ini.
Karena Indonesia juga bagian dari sistem negara bangsa konstruksi Kapitalis, maka kita pun mulai merasakan gejala keruntuhan itu yakni saat krisis moneter pada tahun 1997, sesudah itu disusul krisis demi krisis di berbagai tempat, sampai pertengahan 2010, yang terus melanda Eropa, diawali oleh kebangkrutan Yunani. Dua tahun sebelumnya, 2008-2009, Amerika Serikat telah diguncang terlebih dahulu, dipicu oleh krisis kredit macet perumahan. Dampak krisis moneter di AS diawali dengan bangkrutnya Lehman Brothers itu pun dirasakan di Indonesia. Pada pertengahan Nopember 2008 kurs rupiah sudah menembus Rp 12.500/dolar AS. Indeks Harga saham gabungan (IHSG), di Pasar Saham Jakarta, berada di angka terendah, mendekati angka 1000. Pengaruh di sektor riil juga semakin kuat. Ekspor sejumlah komoditi berkurang, produksi menyusut, sejumlah pabrik melakukan PHK. Semuanya terjadi dengan kecenderungan yang terus memburuk.
Kapan titik terburuk akan tercapai?
Tidak ada yang bisa memastikan, kecuali bahwa titik terburuk itu pasti akan kita capai. Boleh jadi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Mengapa sistem itu secara alamiah pasti runtuh?
Karena sistem ini semata didasarkan atas ilusi. Pertama, ilusi tentang uang. Sistem riba menggunakan kertas sebagai alat tukar. Uang dalam bangunan negara fiskal modern, bukan lagi benda bernilai sebagaimana sebuah alat tukar seharusnya, yang paling lazim sejak masa purba adalah koin emas dan perak, melainkan angka-angka yang dikaitkan dengan benda-benda. Semula ia berupa secarik kertas, yang tentu saja tak bernilai, tetapi secara ilusif seolah menjadi bernilai, hingga bisa dipertukarkan dengan komoditas, karena ditutupi dengan tindakan bahwa ‘uang hampa’ ini dapat diutang-piutangkan.
Utang atas uang tak bernilai ini, tak lebih adalah antiuang, sekadar menutupi ilusi kertas tak berharga ini. Pada gilirannya, secarik kertas yang kini ‘bernilai selayaknya komoditas’ ini lantas bisa diperjualbelikan, hingga menutupi ilusi antiuang tersebut. Lebih jauh lagi, ilusi perdagangan palsu ini ditutupi lagi dengan bahwa utang-yang-diperdagangkan itu pun adalah komoditas yang dapat diperjualbelikan di masa yang akan datang, future trading! Fenomena ini, tentu saja, lebih tepat disebut antiperdagangan.
Dalam kegiatan antiperdagangan, apa yang terjadi sebenarnya?
Dalam antiperdagangan, tidak ada yang diperjualbelikan. Alat tukar dan komoditas sama-sama maya, sekadar angka-angka di dalam layar komputer. Dalam dunia maya itu nilai komoditas yang seolah ada itu, bisa dipermainkan sedemikian mudahnya. Lihatlah contoh gonjang-ganjing dalam kasus ‘perdagangan’ saham PT Bumi Resource Tbk. Dalam perdagangan saham ini, apa yang diperjualbelikan? Saham adalah secarik kertas, bukti ‘pemilikan’, tanpa ada sesuatu benda yang dimiliki. Dalam prakteknya secarik kertas itu pun tidak ada wujudnya, dan ketika saham itu diperdagangkan, yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hanya sederet angka-angka di layar komputer. Alat untuk membayar pun, persis sama dengan mata dagangannya, yakni angka-angka yang berkedap-kedip di layar komputer. Hanya dengan sebuah ‘klik’ dari keyboard komputer para pialang saham terjadilah ‘jual-beli’ itu, dengan ‘surplus’ atau ‘kerugian’ tertentu bagi salah satu pihak, yang tentu saja, berupa bit komputer pula!
Kalau demikian apa yang dimaksud perdagangan yang sebenarnya?
Perdagangan sejati berkaitan dengan kegiatan tukar-menukar satu benda berharga, misalnya seekor kambing, dengan benda berharga lainnya misalnya koin emas sebagai alat tukar, dengan surplus pada satu sisinya yakni pihak penjual, dan kemanfaatan pada sisi lainnya, yakni pembeli. Dengan demikian, perdagangan adalah aktifitas produktif, menghasilkan surplus, sekaligus menggerakkan harta yang merupakan aset nyata dari satu tangan ke tangan lainnya. Perdagangan adalah instrumen fitrah pemerataan kekayaan.
Zaim tergolong aktifis yang produktif menulis, beberapa karyanya antara lain: Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM dan Kebangkitan Masyarakat (Gramedia, 1995), Konglomerat Samson Delilah: Menyingkap Kejahatan Perusahaan (Mizan, 1996), Soeharto Menjaring Matahari (Mizan, 1997), Balada Kodok Rebus (Mizan, 1999), Jangan Telan Bulat-Bulat: Panduan Konsumen Menghadapi Iklan (PIRAC, 2002), Tidak Islamnya Bank Islam (Pustaka Adina, 2003), Lawan Dolar dengan Dinar (Pustaka Adina, 2003), Mengasah Hati (Pustaka Adina, 2004), Ilusi Demokrasi: Kritik dan Otokritik Islam (Republika, November 2007). Selain menulis buku, ayah dari 5 orang anak hasil perkawinannya dengan Dini Damayanti ini secara periodik menulis kolom di berbagai media massa nasional, di antaranya Tempo, Koran Tempo, Republika, dll. Zaim pernah mengasuh acara talkshow di televise, yaitu, Kamar 619, bertemakan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI, Juni-Oktober 2000), dan Gerbang Agribisnis di TVRI (sejak Februari 2002).
Sistem riba nyatanya terus berkembang dan hegemonik. Secara historis, bagaimana munculnya sistem finansial ribawi itu muncul sehingga semakin mencekik kehidupan manusia di muka ini?
Perubahan sistem ekonomi politik dan ekonomi terjadi sejak abad XVIII, yakni ketika terjadinya Revolusi Prancis. Selain terjadi perubahan ekonomi politik, terjadi pula perubahan orientasi ideologi yang beragam seperti atheisme, agnotisisme. Agama saat itu, yakni Kristen, tinggal hanya kulit saja. Dalam konteks keindonesiaan, agama diredusir dalam kontruksi redaksional ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Akibat perubahan ini, sistem politik yang berlandaskan wahyu ilahi pun bergeser, yakni dari Tauhid ke atheis, agnostik, dari wahyu ilahi ke humanisme, rasionalisme.
Bagi manusia modern, Tuhan diintegrasikan dalam cara berpikir saintifik. Tuhan, menjadi ‘Tuhan Pembuat Jam’, Setelah jam itu selesai dibuat, ia akan bergerak sendiri sepenuhnya, secara mekanis. Pandangan manusia atas alam semesta juga berubah sama sekali. Alam semesta dijadikan sebagai semata-mata ‘stok investasi’, bahkan mendudukkan manusia sendiri sebagai ‘sumber daya manusia’. Kategorisasi itu kemudian melahirkan industrialisasi dan kapitalisme yang sepenuhnya berlandaskan paham materalisme-sekuler. Capaian-capaian materialistik menjadi ukuran utama ‘maju tidaknya’ seseorang, dan kemudian ukuran maju tidaknya sebuah bangsa. Kemudian bahkan diajarkan kepada manusia bahwa kemajuan material ini merupakan bukti akan ‘keridhaan Tuhan’ di dunia.
Jadi, semakin makmur seseorang, itu tanda semakin besar ridho Tuhan kepadanya?
Benar. Inilah doktrin yang lahir di kalangan kristiani pasca Pencerahan, lewat proses reformasi yang tekenal sebagai Protestanisme itu. Dari paham ini berlanjut ke penghalalan sistem riba, yang pada gilirannya melegitimasi kapitalisme. perubahan paradigma ini pada saat yang sama juga mengubah secara total kehidupan sosial dan politik, terutama sejak abad ke-18, dengan momentum awal Revolusi Perancis. Filsafat humanis tidak saja telah mengantarkan revolusi ilmu pengetahuan, tapi juga menghasilkan rancang bangun pengorganisasian manusia melalui sebuah mesin politik baru. Sistem negara-bangsa atas dasar konstitusi yang ditulis berdasarkan nalar manusia, dengan slogan ’gereja harus dipisahkan dari negara’, menggantikan kekuasaan pada orang yang dibimbing oleh Wahyu Ilahi. Pada tingkat keimanan Tuhan diabstraksikan sebagai ’ide tentang Tuhan’. Pada tingkat sosial, demi terbentuknya masyarakat baru yang rasional dan sekuler, agama-agama harus dihapuskan, atau direformasi, menjadi ’tatakrama sosial’, pada tingkat politik ekonomi, sistem jual beli diganti dengan sistem riba, pemerintahan sesungguhnya dikangkangi oleh para pedagang—lebih spesifik para bankir. Pada tingkat budaya, masyarakat terus dibujuk untuk percaya bahwa penampilan fisik dan segala macam kebutuhan jasmani adalah terpenting, sementara kebutuhan ruhani terabaikan. Dalam soal keimanan, teknik yang diterapkan untuk kepentingan ini adalah penerapan doktrin ’toleransi’, dan proses esoterisasi agama-agama.
Anda mengatakan demokrasi yang dipuja-puja manusia sekarang adalah sebuah ilusi pula. Bagaimana Anda menjelaskan itu?
Kalau kita kaji secara cermat, sistem demokrasi sesungguhnya adalah anak emas kapitalisme. Demokrasi hanyalah salah satu dari sekurang-kurangnya empat teknik para pemilik modal untuk memastikan status quo sebagai pengeruk kekayaan publik secara sistematis, massif dan langgeng. Demokrasi dipakai para pemilik modal, yakni para bankir, sebagai mesin kekuasaan politik. Nietzsche mengatakan demokrasi hanyalah instrumen politik untuk mengkonsolidasikan mediokrasi secara kokoh dan ampuh. Demokrasi mencegah lahirnya manusia-manusia bermutu, pemimpin-pemimpin sejati. Demokrasi adalah panggung dimana para Petruk hendak jadi Ratu. Demokrasi adalah jalan tol bagi kere munggah bale.
Ini pendapat sinis tentang demokrasi….
Anda tentu sudah kenyang dengan fenomena belakangan ini. Ruang publik kita penuh sesak oleh seribu satu wajah orang-orang yang hendak bertarung berebut kursi kekuasaan. Mereka muncul seperti serangga di musim hujan yang sekonyong-konyong, menyeruak berseliweran di muka kita. Nyatanya, kecuali segelintir tokoh teras partai politik dan selebritis, masyarakat tak mengenali mereka. Kita juga tidak mengetahui rekam jejak, prestasi, kompetensi, serta keterlibatan mereka dalam masyarakat sebelumnya. Reputasi mereka pada umumnya, gelap gulita.
Apa dasar mereka berani menawarkan diri menjadi wakil masyarakat?
Hanya satu, klaim. Bersamaan dengan sekonyong-konyongan kemunculan mereka itulah klaim para politisi dadakan ini bertaburan: memperjuangkan rakyat, bersih dan peduli, membela dan memberdayakan wanita, pendidikan gratis, mengupayakan sembako murah, dan seribu janji lainnya. Seribu satu orang dengan seribu janji tanpa ada perbedaan hakiki. Demokrasi adalah anybody chosen every body, asal dipilih orang banyak, Petruk pun bisa jadi Ratu.
Peran ideologi dalam demokrasi?
Tidak ada. Kadang hanya jadi jargon belaka. Yang terjadi sesungguhnya, demokrasi menjadi ajang politisi mencari sesuap nasi. Kampanye politik tak ubahnya sebagai investasi yang, celakanya, bukan saja menjadi semakin tidak murah, tapi tak selalu membawa untung. Sebut saja, dalam pemilihan wakil rakyat, kalkulasi kebutuhan modal seorang caleg untuk meraih posisi yang diinginkannya, dibanding total pendapatan resmi yang bakal diperoleh selama menjadi anggota DPR atau DPRD, kebanyakan tidak masuk hitungan. Belum lagi biaya politik yang harus dibayar terus-menerus oleh para politisi selama menjadi wakil rakyat atau selama menjadi penguasa.
Bagaimana solusi dari semua itu?
Kita harus kembali kepada cara hidup Islami. Hijrah kepada sistem hidup sebagaimana pernah ditegakkan oleh Rasululllah, para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabiin yang dilandasi spiritualitas bersumber ajaran Tauhid, tujuannya mengabdikan diri hanya kepada Allah. Islam menyatukan kehidupan di dunia dan akhirat. Cara hidup Islami dijalankan dalam kehidupan sehari-hari mengikuti tatanan alamiah, dalam masyarakat yang saling tolong menolong, yang terikat dalam satuan komunitas di bawah suatu otoritas pemimpin, yang disebut sebagai jamaah. Modus operandi tatanan masyarakat Islami adalah pemerataan kesejahteraan melalui muamalat dan penerapan hukum Islam atau syariah di bawah otoritas kepemimpinan yang diakui dan diikuti oleh warga masyarakat bersangkutan.
Apakah yang Anda maksud kita harus kembali ‘hijrah’ ke Madinah dalam arti hidup dengan mengikuti tradisi amal Madinah?
Persis. Karena pada kenyataannya, modernitas dan Islam adalah dua hal yang tidak dapat dikompromikan. Misalkan, ekonomi modern yang bersendi riba, tidak mungkin dikompromikan dengan ekonomi Islam yang berlandaskan perdagangan. Sistem pajak tidak bisa berdampingan dengan sistem zakat.
Bukankah pandangan ini sudah banyak disuarakan kelompok Islam di seluruh dunia? Bagaimana mempertemukan keragaman ini?
Dari pencarian selama ini, saya temukan jalannya pada mazhab Imam Malik – tokoh yang sebenarnya tidak membangun mazhab sendiri melainkan menjalankan apa yang berlangsung di Madinah al Munawwarah. Beliau perekam dan pelanjut sendi-sendi dasar keislaman pada waktu itu. Kita bisa dalami itu lewat kitab Al Muwatha’. Islam harus bersyariah, fiqih itu praktiknya dan otoritas penetapannya ada pada ulama. Dengan bermazhab, apapun mazhabnya, seorang muslim punya jalan untuk menegakkan prinsip syari’ah. Tanpa mazhab, mana jalannya, karena tidak setiap orang memiliki otoritas keilmuan. Islam itu memiliki sanad, tidak diinterpretasikan semaunya. Kebebasan menginterpretasi semaunya kehendak Tuhan itu, kesombongan manusia dengan akalnya.
Apakah Anda sudah memulai menjalankan Amal Madinah itu?
Kita tetap berbuat meski diikuti sedikit orang. Madinah saja, dimulai dari tiga orang, ketika diikuti 70 orang, sistem Islam tegak dan menjadi ikutan banyak orang. Sesedikit apapun, kita melakukan hal konkret, tidak hanya berwacana. Mulailah berekonomi dengan real money, dinar dan dirham, fulus, bukan dengan uang kertas yang tak ada nilainya. Mulai menegakkan zakat secara benar, yaitu dengan nuqud, dikeluarkan dengan dinar dan dirham, bukan dengan mata uang lainnya. Kita memang tak punya kekuasaan menuntaskan masalahnya, kewajiban kita berikhtiar. Sunnatullah, bahwa sistem kufur akan hancur sebagaimana fakta demi fakta yang melanda seluruh dunia hari ini. Ibarat zaman Nabi Nuh, seluruh dunia sedang tersesat kecuali sebagian kecil pengikut Nabi Nuh yang ditertawakan saat membangun bahtera di sebuah bukit. Kehancuran itu keniscayan, dan Islam yang belum diperhitungkan dunia ini, adalah bahtera Nuh terakhir yang harus kita yakini. Syaratnya, gunakanlah pencarian pada jalannya, pada mazhab. Zaman keemasan Islam saja, seorang Sultan pasti didampingi syaikh dan faqih. Umat terlalu lama mengalami dekonsktruksi pemahaman lewat modernisme Islam yang menjauhkannya dari syariah.
Pada tahun 1997, Zaim bersama beberapa koleganya mendirikan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center). Dalam lima tahun terakhir, lembaga ini secara aktif melakukan kegiatan riset, studi kasus, pelatihan dan advokasi untuk mempromosikan filantropi di Indonesia. Pada 2000 Zaim Saidi mendirikan dan memimpin Wakala Adina, yang sejak Februari 2008 berubah menjadi Wakala Induk Nusantara (www.wakalanusantara.com), sebagai pusat distribusi dinar emas dan dirham perak yang beroperasi di Indonesia. Tahun 2008-2009 Zaim Saidi mendapat amanah sebagai Direktur Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa. Kini ia kembali aktif di PIRAC dan Wakala Adina.”Saya sedang menyiapkan buku barur, Senjakala Negara Bangsa,” ujarnya.
Teks: ApikoJM, Iqbal Setyarso
Foto: Hardiyanto
Bookmark and Share

Sedekah di Kala Musibah

November 19th, 2010
Belum lepas duka kita dari banjir yang melanda wilayah Wasior, Papua Barat, dan sekitarnya, awal Oktober lalu, kita kembali diguncang oleh bencana yang lebih besar skalanya.
Beruntun kejadiannya, dan kalau kita tarik waktu dalam kurun setahun terakhir, maka hampir tidak ada bulan tanpa bencana. Jawa Barat, Sumatra Barat, Jambi, dan Bengkulu, belum lama berselang gunugn berapi meletus Sumatra Utara, kini Kep Mentawai, DIY dan sebagian Jawa Tengah, menjadi pusat-pusat ‘bencana baru’.
Korban tewas dan kerugian harta benda pun semakin banyak jumlahnya. Gempa Sumatra Barat tahun lalu makan korban tewas melebihi 525 orang. Tsunami Mentawai kali ini makan korban, sekurangnya 315 meninggal dan lebih dari 400 hilang. Wedus Gembel Merapi menewaskan beberapa belas nyawa, termasuk sang juru kunci yang banyak dimistifikasi, mbah Marijan.
Spontan mobilisasi atas bantuan kemanusian dilakukan oleh berbagai pihak. Spontan pula masyarakat Indonesia, yang terbukti selalu pemurah, memberikan berbagai bantuan, uang maupun barang. “Tanggap Musibah”, “Peduli Tsunami”, “Mentawai Menangis”, “1Hati Mentawai-Merapi”, dan seribu satu jenis slogan lainnya, bermunculan di media massa.
Tanpa mengurangi prasangka baik akan ketulusan semua pihak yang bergerak spontan ini, kecuali sedikit penyalahgunaan oleh segelintir orang yang akan selalu terjadi, serta tanpa mengurangi rasa duka kita kepada keluarga korban, ada baiknya kita mengambil jarak atas musibah ini. Di luar kerja keras para sukarelawan serta kemurahatian para dermawan, reaksi lain yang banyak kita lihat tiap-tiap ada musibah, adalah aneka penjelasan dari para ‘ilmuwan’ tentang asal-muasal dan sebab-musabab musibah ini.
Gempa kali ini berskala sekiat Skala Richter, dengan pusat gempa sekian puluh kilometer di bawah laut, dengan posisi geografis sekian, disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik, dan seterusnya. Lalu, bantuan dan sedekah pun disalurkan, para korban dibantu dan disantuni. Sesudah itu kembali biasa, sampai nanti, tanpa disangka-sangka, guncangan baru, musibah baru, menerpa kita kembali. Siklus aksi-reaksi ini pun menjadi rutinitas biasa.
Adakah yang salah dengan ‘rutinitas’ semacam itu?
Tentu saja tidak, tetapi ada yang kurang di situ: tafakur.
Marilah kita bertanya: mengapa musibah terus melanda kita?
Mengetahui data seismograf gempa bumi tentu perlu, tetapi tak ada gunanya, bila tidak memberikan dampak apa pun pada kita, sebagai insan, yang mengalaminya. Artinya menjadi lebih penting untuk merenungkan dan mengerti mengapa Allah SWT mengirimkan ‘agennya’, berupa gempa (dengan data seismograf seperti apa pun, tidaklah penting kembali), juga Tsunami yang meluluhlantakkan.
Allah SWT mengajarkan kepada kita bahwa pada tiap peristiwa ada makna di sebaliknya. Apalagi peristiwa tersebut adalah sebuah guncangan dahsyat, yang membuat kita sebagai makhluk tak berdaya. Marilah kita tempatkan seluruh kejadian kosmos maupun individual kita, baik yang mengalami langsung maupun yang melihatnya dari kejauhan, sebagai kenyataan bahwa kita tengah terhempas dalam peristiwa yang menghadapkan kita, di setiap tempat dan di setiap saat, dengan keagungan dan keindahan Allah SWT, di satu sisi. Di sisi lain, kita juga dihadapkan kepada kekuasaan dan kemahaperkasaan Allah SWT, atas konsekuensi segala tindakan dan kelakuan kita.
Tidak ada kuncen yang sakti mandraguna, yang boleh jadi merasa harus tidak meninggalkan tempat, karena dipotret sebagai manusia “roso”, tanpa sadar, mengiktui hawa nafsuya sendiri sebagai korban mitos yang dibangun oleh media massa atas sosok dirinya, akhirnya hangus terpanggang. Seperti halnya pemeran tokoh Superman, yang sebagai tokoh fiktif sakti mandraguna, tetapi dalam realitasnya akhirnya mati setelah bertahun-tahun lumpuh total, “hanya” karena terjatuh dari kuda. Ada makna ilahiah di balik peristiwa kasat mata ini.
Ingatlah bagaimana kisah kaum Tsamud, sebagaimana diceritakan dalam Surat Syam, dibinasakan. Dalam Surat As Syam (di ayat 14-15), disebutkan “Lalu Allah meratakan mereka (dengan tanah). Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu”. Perhatikanlah ketetapan Allah yang Mahaperkasa ini, ‘tidak takut terhadap tindakan-Nya itu.’ Meski meluluhlantakkan lebih dari 200 ribu nyawa sebagaimana terjadi di Tsunami Aceh, apalagi ‘cuma’ 500-600 orang di Sumatra Barat atau Kepulauan Mentawai.
Kaum Tsamud dibinasakan karena membangkang pedoman yang dibawa oleh Rasulnya. Dalam ayat ini Allah SWT menggunakan kata “rabbu-hum”, menunjukkan ‘Ke-Tuhan-annya’, dan Dia tak peduli dengan konsekuensi tindakan-NYA. Camkan benar-benar. Allah SWT meluluh-lantakkan Kaum Tsamud karena dosa mereka. Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa dalam kesatuan eksistensi bumi, sebuah tindakan yang salah karena didorong oleh sikap membangkang akan mendatangkan tindakan Allah. Resapi firman itu, ‘dan mereka diratakan dengan tanah.’ Ini berarti bahwa bumi, dalam tabiat kepatuhan fitrahnya sesuai dengan penciptaan kejadian, menghancurleburkan mereka. Atas perintah Allah SWT.
Dengan kata lain, gempa bumi, Guncangan Besar, Az Zalzalah, dalam bahasa Al Qu�ran, haruslah kita pahami sebagai agen belaka. Di balik fenomena alam ini adalah makna relasi kita dengan Allah SWT, yang telah memberikan pedoman melalui Rasul dan Risalahnya, serta memberitahukan konsekuensi-konsekuensi atasnya. Pada kepatuhankah kita atasnya atau pembangkangan, seperti Kaum Tsamud?
Maka, di tengah kesibukan kita menolong, di tengah kepiluan kita yang masih hidup, saatnya pula kita bersedekah sambil bertafakur. Agar sedekah kita tidaklah sia-sia. Sebab apa yang berlaku pada Kaum Tsamud, juga berlaku pada kita. Dan, pembangkangan umum apakah yang kini kita terapkan? Salah satunya adalah larangan memakan riba! Inilah yang sepatutnya kita sadari, riba telah menjadi sistem, dan cara hidup kita hari ini. Paceklik, banjir dan badai, kegersangan, adalah tanda-tanda yang diberikan oleh Rasul SAW apabila masyarakat telah mengingkari timbangan dan takaran. Dan wujud paling nyata, paling curang tetapi halus, paling menindas, tetapi paling menguntungkan segelintir orang, adalah dipraktekkannya riba.
Maka, menjadi kewajiban kita semua, untuk bertaubat, memahami segala bentuk praktek riba, dan mulai meninggalkannya. Pemakaian kembali Dinar dan Dirham, serta Fulus pada saat sudah beredar nanti, akan memudahkan masyarakat memahami kembali kerjahatan riba, sambil secara bertahap meninggalkannya.
Agar kita tidak menjadi seperti kaum Tsamud.
Bookmark and Share

Bangkrutnya Modernisme dan Modernisasi Islam

November 19th, 2010
Saat ini gencar dipromosikan ide “Pencerahan”, bersamaan dengan promosi sebuah film populer. Tulisan ini memberi sudut pandang berbeda.
Para penulis buku Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans: Pandangan Kritis Islam atas Modernismei adalah dua orang Muslim Eropa: Haji Abdalhaqq Bewley dari Inggris dan Haji Umar Ibrahim Vadillo dari Spanyol. Mereka berdua berkulit putih, berambut coklat-pirang, dengan bola mata albino. Bersatunya sekaligus dua identifikasi ‘keeropaan dan kemusliman’ pada diri mereka ini penting untuk dipahami. Sejauh ini, terutama di kalangan ‘Barat’, Islam hanya diidentifikasikan dengan Asia, Timur Tengah, atau Afrika, dengan demikian Islam adalah ‘Timur’. Lebih jauh lagi ‘Barat’ adalah progresif dan modern - bermakna ‘maju’; sedang ‘Timur’, artinya Islam, berarti kolot dan tradisional - bermakna terbelakang.
Karakterisasi secara geografis keberadaan Islam, tentu saja, keliru. Secara historis dalam kurun waktu yang sangat lama, sekitar 700 tahun, Islam juga merupakan bagian dari Eropa: di Andalusia, Bosnia, Macedonia, Bulgaria, Rumania, Albania, Portugal, Sisilia, dan sebagainya. Sementera Kristen, yang merupakan identifikasi ‘agama Barat’, walaupun kini telah bangkrut digerus oleh humanisme-ateis`ii, seperti halnya Islam juga berasal dari kawasan yang sama. Islam dan Kristen sama-sama bermula dari ‘Timur’. Lebih lagi Islam secara tegas menolak pembedaan atas dasar ras, warna kulit, apalagi sekadar letak geografis.
Sosok kedua penulis, dengan demikian, menggoyahkan dialektika palsu: Timur versus Barat, Progresif versus Kolot. Mereka jelas ‘orang Barat’ bukan ‘Timur’. Mereka juga, meminjam istilah politik partisan tahun 1950an, bukan ‘kaum sarungan’, melainkan ‘kaum berjas-berdasi’. Walaupun begitu, sebagaimana dengan sangat jelas dapat kita baca pada buku ini, mereka bukanlah ‘Islam modernis’. Justru sebaliknya, mereka berdua memperlihatkan, bahwa modernitas telah mulai berakhir. Karena itu mereka mengingatkan bahwa ‘modernisme Islam’, tidak saja bukan solusi bagi umat Muslim, tetapi juga jalan menuju kebangkrutan bagi umat itu sendiri.
Sekilas Pembaruan Islam
Marilah sejenak kita ingat kembali tentang Gerakan Pembaruan (Reformasi) atau Modernisasi Islam yang melanda dunia Islam sejak akhir abad ke-19, dan bermula dari Mesir. Dua pemikir utama modernisasi Islam adalah Jamaluddin Al ‘Afghaniiii’ (1839-1897) dan muridnya Muhammad Abduh (1845-1905). Pengaruh pemikiran dua orang ini kemudian meluas di bawah aktivitas murid utama Abduh, yang lahir di Syria, Rashid Rida (1865-1935), melalui majalah Al Manar yang diterbitkannya dari Kairo sejak 1898. Rashid Rida juga seorang aktivis nasionalis Arab, yang terkait dengan kelompok Turki Muda (Young Turk) yang membawa ide-ide liberal sekuler. Para reformis ini mengatakan bahwa Islam sangat perlu menyerap filsafat dan ilmu pengetahuan modern, demi mencapai kemajuan sosial sebagaimana yang telah dicapai oleh dunia Barat.
Walapun retorika modernis tampak anti-Barat, gerakan ini memang lahir dengan semangat anti-imperialisme Barat, tetapi pada saat yang sama juga penuh dengan kekaguman terhadapnya. Modernisme telah membuka pintu untuk ‘membanjiri doktrin dan hukum Islam dengan inovasi-inovasi dunia modern’. Muhammad Abduh seolah mencoba membangun benteng untuk mencegah sekularisme, tetapi yang dibangunnya justru jembatan untuk menuju ke sana. Gerakan sekularisasi adalah titisan langsung dari ajaran pembaruan Muhammad Abduh, yang mengambil inspirasi pada Revolusi Perancis, pada abad ke-17.
Sebagaimana kita saksikan bersama saat ini umat manusia di seluruh muka bumi, Islam maupun non-Islam, secara dominan sedang ditundukkan dalam satu cara hidup yang seragam. Dan itu berarti hidup ‘dalam sistem ekonomi yang sama, Kapitalisme; dalam sistem politik yang sama, Demokrasi-Liberal; dan dalam cara bernalar yang sama, Skeptis-Empiris’. Dalam bukunya yang lain, Esoteric Deviation in Islam (Madinah Press, 2003), Umar Vadillo menunjukkan bahwa modernisme Islam telah sepenuhnya mengasimilasi Islam ke dalam Kapitalisme. Teknik dan teknologi yang mendominasi cara hidup kaum Muslim modern tak dapat lagi dibedakan sedikitpun dengan yang diterapkan pada cara hidup orang-orang non-Islam, kecuali pada namanya saja, yang berimbuhan kata sifat ‘islam’: bank Islam, partai islam, rumah sakit islam, demokrasi Islam, dan Iptek Islam, sampai pasar saham dan kartu kredit Islam.
Sebelumnya, umat Islam juga telah disodori dengan asimilasi dalam ranah politik, melalui konsep ‘Negara Islam’ atau sekurangnya ‘Demokrasi Islam’ dan ‘Parlemen Islam’. Konseptualisasi tata pemerintahan dan kemasyarakatan Islam dalam ‘negara’ jelas sangat reduksionistik, dan tidak pernah ada presedennya dalam sejarah Islam, sejak masa Rasulallah saw, sampai masa-masa berikutnya. Dalam terminologi Umar Vadillo Islam adalah ‘pemerintahan tanpa negara, dan perdagangan tanpa riba’. Dasar nomokrasi Islam adalah Syariah, dan dimotori dengan pemerataan kekayaan (melalui muamalah), sedangkan dasar struktur politik modern, negara, adalah humanisme dan penumpukan harta (Kapitalisme). Dengan kata lain, terbalik dari retorika semula yang ingin menggantikan ‘cara hidup Barat dengan cara Islam’, modernisasi Islam telah berakhir sepenuhnya pada ‘cara Barat’ tersebut. Alih-alih mengentaskan umat Islam dari imperialisme dan kolonialisme Barat, modernisme Islam, justru makin mengokohkan dominasinya dengan cara yang lebih halus dan terselubung. Umat Islam, tanpa menyadarinya, berada dalam sistem Negara Fiskaliv, wajah politis Kapitalisme yang sangat menindas. Pada dataran yang paling mendasar ini berarti digantikannya landasan pokok kehidupan seorang Muslim, Tawhid, dengan Humanisme.
Kritik atas Cara Berpikir Modern
Dalam buku Heidegger for Muslim itu kedua penulis memang tidak sedang mengkritisi dengan lebih jauh lagi Pembaruan Islam tersebut. Yang sedang dievaluasi adalah akar dan falsafah dari modernisme itu sendiri. Secara kronologis, dengan ringkas tetapi cukup memadai, Haji Abdalhaqq memaparkan bahwa modernisme (di Eropa) tidak terjadi begitu saja. Modernisasi dimulai dengan momentum Renaisans (Kelahiran Kembali), pada abad ke-16, dan diteruskan sampai pada puncaknya dengan pencerahan (Enlightenment) dan revolusi ilmu pengetahuan, pada abad ke-18.
Sebelum Renaisans masyarakat (Barat) telah merasa puas dengan pandangan dunia yang didasarkan kepada wahyu ilahi. Segala bentuk aktivitas manusia dipusatkan untuk pengabdian kepada Tuhan, dan diyakini bahwa segala tindakan seseorang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-NYA. Kemudian datanglah para filosof yang mengajarkan bahwa pada tiap diri manusia berlaku hukum alam yang dapat didekati dengan nalar. Tuhan diposisikan sebagai penyebab sekunder, ibarat seorang tukang jam, setelah selesai dibuat jam tersebut dibiarkan bekerja sendiri secara mekanis. Sekali manusia dan alam semesta telah diciptakan Tuhan kemudian berpangku tangan, tindakan berikutnya sepenuhnya tergantung kepada penilaian moral manusia sendiri.
Dengan dasar rasionalisme itulah manusia modern kemudian mengukur kebenaran, bahkan satu-satunya kebenaran, sebagai kebenaran ilmiah. Kebenaran metafisik, yang kadang kala tampak tidak masuk akal dalam pemahaman ilmiah yang terbatas, menjadi kian terpinggirkan dan akhirnya diabaikan sama sekali. Maka, logika adalah satu-satunya dasar pencarian kebenaran. Sesuatu yang tidak logis berarti tidak riel, tidak dapat dibuktikan secara empiris, berati tidak ilmiah, berarti tidak dapat dibenarkan. Empirisme dan metode ilmiah yang dikembangkan para ilmuwan dianggap telah mampu memberikan penjelasan atas semua fenomena alam. Campur tangan Tuhan di alam semesta, dan eksistensi dunia spiritual, dienyahkan dari realitas alam. Peran Kitab Suci digantikan oleh formula-formula matematik. Manusia menjadi makhluk rasional semata: jika fakta ilmiah tampak bertentangan dengan nas wahyu, maka wahyu ditolak demi kepentingan sains. Sisi inilah, dalam istilah Haji Abdalhaqq, merupakan kegelapan dari pencerahan!
Sampai tingkat yang cukup jauh Islam memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan filsafat dan humanisme. Dalam Islam ukuran kebenaran adalah wahyu ilahi, sebagai kebenaran mutlak, dari Allah semata. Filsafat berlandaskan pada skeptisisme, meragukan dan mempertanyakan segala hal (kecuali dirinya sendiri!), dan tak pernah berakhir dengan jawaban, melainkan pertanyaan baru berikutnya. Sedangkan Islam berlandaskan kepada kayakinan, kepada Iman, dan karenanya akan berakhir dengan kepastian. Memandang rasionalisme dan filsafat Barat dengan kacamata Al Qur’an, karenanya, ‘mudah selesai’, sebab di antara keduanya ada posisi yang tidak dapat dinegosiasikan.
Di sinilah arti penting dari dua risalah yang kini jadi buku di hadapan Anda ini. Sudah disebutkan di atas kedua penulisnya adalah dua orang Muslim Eropa. Dengan gamblang keduanya memperlihatkan bahwa pengetahuan tentang keesaan, Tawhid, bukan merupakan sesuatu yang sama sekali asing dalam tradisi Eropa sendiri. Pudar dan hilangnya pengetahuan ini berlangsung secara bertahap dalam proses sejarah, karena rasionalisme humanis di atas. Keadaan ini telah berlangsung selama kurang lebih tiga ratus tahun lamanya, dan sampai pula mempengaruhi kaum Muslimin, yang didorong oleh ‘Reformasi Islam’ dalam kurun seabad terakhir ini.
Munculnya Pandangan Berbeda
Sebagaimana ditunjukkan juga oleh Haji Abdalhaqq dalam bagian I buku ini, satu per satu landasan filosofis dan saintisme manusia modern, rontok di tangan sejumlah ilmuwan dan filosof kritis yang datang belakangan. Penemuan-penemuan baru tentang hakikat materi dan enerji oleh para fisikawan abad ke-20 menggoyahkan pandangan-pandangan lama dari Newton. Pandangan Newton dalam bukunya Principia Mathematica, yang merumuskan hukum mekanika dan gravitasi, telah menjadi dasar manusia dalam mengkonstruksikan model alam semesta.
Dengan Newton menusia modern memahami hubungan sebab akibat segala fenomena alam dan seolah dapat mengendalikan semuanya. Dan, dengan pemahaman semacam ini plus filsafat dualisme Cartesian � manusia adalah subyek yang berpikir dan mengatasi alam sebagai obyek - manusia telah menempatkan diri sebagai ‘penguasa alam’. Alam semesta dan segala isinya dipandang rendah, semata-mata menjadi ’sumber daya’, untuk dieksploitasi sespenuhnya demi kepentingan manusia sendiri. Manusia modern adalah manusia egois, dan nihilistik, bertentangan dengan ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa ‘Allah menciptakan segala sesuatu bukan untuk bermain-main’. Dengan kata lain semua ciptaan memiliki tujuannya sendiri, ada makna rubbubiyah-nya, bukan sekadar untuk dieksploitasi oleh manusaia dengan seenaknya.
Para ilmuwan sesudah Newton, yakni Rutherford, Neils Bohr, Max Planc dan Heisenberg, menunjukkan bahwa materi, ‘bukanlah zat tanpa kehidupan’, seperti yang dinyatakan oleh Newton, tapi ‘pada intinya yang paling dalam, terdiri atas energi itu sendiri’. Materi bukan bersifat lembam dan mudah diprediksi tetapi sangat dinamik dan amat misterius. Dengan kata lain para ilmuwan ini memastikan bahwa teori lama sama sekali tidak memadai untuk memahami materi, apalagi alam semesta. Dan, dengan demikian, hal ini membuka pintu bagi kembalinya pemahaman melalui pendekatan lain, tentang Realitas yang Hakiki, yang dulu dianggap berada di luar sains.
Itu yang terjadi di dunia ilmu pengatahuan alam. Kemudian datanglah sosok Heidegger, filosof Jerman, yang dengan lebih tajam lagi menohok dunia filsafat itu sendiri, dengan menyatakannya sebagai ‘Telah Berakhir’. Pandangan-pandangan kritis Heidegger inilah yang menjadi topik bahasan dari Umar pada bagian II buku ini. Ia memberikan judul risalahnya dengan menggelitik, Heidegger untuk Muslim. Heidegger bukan seorang Muslim. Maka, seperti kata Umar, bukan tempatnya mencari sesuatu tentang Islam padanya. Tetapi, dari Heidegger, kita dapat memahami cara berpikir manusia modern dan segala akibat yang dibawanya terhadap keseluruhan kehidupan manusia.
Lebih-lebih bagi umat Islam, memahami cara berpikir manusia modern ini sungguh penting, sebab inilah satu-satunya cara berpikir yang umumnya kita pahami dan anut saat ini. Kita umumnya sudah menerima dengan sendirinya bahwa cara kita berpikir saat ini, sebagaimana diajarkan di sekolah, dengan nalar, dengan prosedur ilmiah, adalah satu-satunya cara berpikir. Kita tidak pernah meragukan, apalagi mempersoalkan, ‘jangan-jangan ada yang salah dengan cara berpikir ini.’ Bukan cuma ini. Sebagaimana sudah disinggung di atas sejumlah tokoh pembaru Islam bahkan mengislamkan cara berpikir ini, yang semakin menutup akses umat Islam kepada kemungkinan cara berpikir yang berbeda.
Seperti diungkapkan Haji Abdalhaqq posisi kaum Muslim saat ini justru lebih buruk dibanding yang non-Muslim, karena kaum Muslim berpikir karena telah merumuskan tawhid dengan lidah, mereka akan kalis dari pengaruh pandangan dunia ilmiah. Dalam kenyataannya kaum Muslim menjalankan, dalam istilah Haji Abdalhaqq, ‘kehidupan ganda’: mereka berbicara tentang kebenaran sains sebagai sesuatu yang berbeda jauh dari kebenaran agama. Di masjid dan lingkungan Islami para pelajar menggunakan satu kosa kata tetapi di laboratorium dan ruang kelas menggunakan kosa kata yang lain. Tanpa disadari banyak orang Islam mengidap sejenis syirik tersembunyi.
Peranan Martin Heidegger
Dan, persis di sinilah, datang Martin Heidegger, yang secara paralel bersama sejumlah ilmuwan yang telah disebut sebelumnya, mendongkel kemapanan cara berpikir modern ini. Heidegger datang dan mengatakan: ‘cara pikir kita mengandung cacat mendasar’, ‘ilmu pengetahuan tidak berpikir’, serta ‘filsafat tidak akan membawa kepada kebenaran’. Tetapi, sebelum sampai di sini, Heidegger terlebih dahulu mempersoalkan pandangan manusia modern atas eksistensi manusia itu sendiri. Pandangan dualisme Cartesian, yang menempatkan manusia sebagai subyek, dan realitas lainnya sebagai obyek, ditohok habis oleh Heidegger.
Bagi Heidegger manusia tidak lagi dianggap sebagai ’satu pikiran dalam jasad fisik yang memandang keluar sebuah dunia yang terpisah’. Dalam pandangan Cartesian manusia adalah subyek yang independen, yang bersama filsafat, sebagaimana diuraikan di atas, menjadi ‘perumus kebenaran berdasarkan logika’. Kritik Heidegger pertama-tama adalah pada pandangan aprirori atas subyektifitas manusia ini. Karenanya ia tidak puas untuk penyebutan ‘manusia’ ini dan ia menggunakan kata Dasein, sebagai penggantinya. Secara harfiah Dasein berarti Ada-di sana (Being-there). Dasein merupakan manusia yang menyejarah ’sebuah paduan kompleks masa lalu, masa kini dan masa depan dan dunia tempat dia tinggal,’ dengan kesadaran yang ‘dijelmakan dalam kehidupan melalui pencarian makna Ada (Being) itu sendiri’. Bagi Heidegger Dasein yang merupakan lokus tempat ada (being) mewujud ini, mengandung dua karateristik, yaitu mendahukukan eksistensi dari esensi dan individualitas Dasein.
Pengertian Dasein ini, paling kurang, memberikan dua implikasi penting.
Pertama, Heidegger telah membebaskan manusia dari penjara atas dirinya sendiri sebagai sebuah entitas pasif, kepada entitas yang aktif mencari makna atas eksistensi dirinya dan keterikatannya atas waktu (kesementaraan). Berpikir eksistensial bermakna bahwa tindakan seseorang bukanlah sebuah konsep, tapi ia bermakna ketika tindakan itu diwujudkan. Mempertahankan individualitas bermakna bahwa manusia tidak dapat disamaratakan. Hilangnya dua karakteristik ini pada makna manusia menghasilkan pandangan bahwa manusia adalah ‘konsep manusia’, yang membawa pada depersonalisasi manusia sebagai ‘obyek’.
Kedua, Dasein merupakan lokus tempat perwujudan Ada, yang berati Kebenaran itu sendiri. Dalam hal ini Heidegger menggunakan kata Lichtung (Pencahayaan), dan menyebutkan akses kepada Kebenaran ini sebagai ‘aletheia’ dalam bahasa Yunani, yang bermakna ‘penyingkapan’. Jadi, Kebenaran dalam pengertian Heidegger, berbeda sama sekali dari makna kebenaran dalam filsafat, yang telah teredusir oleh konsekuensi dari cara berpikir logis, menjadi ‘teori korespondensi’: sesuatu menjadi benar bila ada kesesuaian antara sebuah pernyataan dan fakta atas pernyataan tersebut.
Ranah berpikir Heidegger sangatlah luas. Bagi kebanyakan orang memahami pemikiran Heidegger tidaklah mudah. Risalah yang ditulis oleh Umar yang menjadi bagian II buku ini sudah barang tentu tidak mencakup keseluruhan pemikirannya. Namun demikian, sudut bahasan yang dipilihnya sangat membantu kita untuk dapat mengerti beberapa pokok pikiran Heidegger yang paling penting. Pembahasan tentang manusia, Dasein ini, oleh Umar ditempatkan pada urutan terakhir. Yang pertama didiskusikan adalah ‘Berpikir dan Kebenaran’, kemudian disusul dengan topik ‘Logos dan Kelahiran Filsafat’, baru yang terakhir tentang ‘Manusia dan Ilmu Humaniora’, yang inti pokoknya membahas soal Dasein. Saya, sebagai penyunting buku Heidegger for Muslim, tidak bermaksud untuk mengulangi atau meringkaskan kembali risalah yang oleh penulisnya dijanjikan akan membuat ‘membaca Heidegger semudah membaca novel’ ini. Keunikan pendekatan Umar, dibandingkan ‘pakar Heidegger’ lainnya, adalah sudut pandangnya sebagai seorang Muslim, khususnya atas pengetahuannya tentang tassawuf. Dalam tassawuf kebenaran akan tersingkap pada seseorang yang mendekatkan diri pada Allah. Kebenaran tidak dapat dipelajari di bangku sekolah.
Dalam penjelasan Umar:
Penyingkapan tabir ini berarti penyingkiran nafs, diri sendiri. Diri (nafs) ini tidak ada urusannya dengan mengetahui. Dalam pengertian ini, diri (nafs) ini bukan instrumen pengetahuan, diri ini tidak dapat memikiri Allah. Allah mewujud kepadanya, dalam proses penyerahan diri kepada-Nya: pada saat kita berserah diri kepada Allah, Allah memberi kita pengetahuan tentang Diri-Nya.
Menurut pengalaman saya, sudut pandang ini, benar-benar membuat pengertian kita tentang keterbatasan - atau tepatnya kekeliruan - cara berpikir manusia modern menjadi jelas di satu sisi, dan perbedaannya dengan cara berpikir Islami di sisi lain, juga menjadi terang-benderang. Ditambah lagi dengan sejumlah catatan pada bagian Pendahuluan yang diberikan oleh penulisnya sendiri sudah cukup bagi pembaca untuk mengerti dari awal kegunaan, kelebihan serta kekurangan, dari pemikiran Heidegger. Sesudah membaca buku ini siapa pun yang meminati pemikiran Heidegger, dan menelaahnya secara langsung dari teks-teks aslinya, akan dengan lebih mudah dapat memahaminya.
Heidegger, sebagaimana ditunjukkan baik oleh Haji Umar maupun Haji Abdalhaqq, meninggalkan sesuatu yang belum terselesaikan. Dia mengakhiri filsafat, tetapi tidak secara jelas menunjukkan jalan keluarnya. Dia menyelesaikan masalah ini dengan apa yang dia sebut “puisi”, puisi dari seseorang yang melepaskan subyektifitas dirinya sebagai pengamat, tapi yang diamati, yang membiarkan “hal-hal memperlihatkan diri mereka sendiri” kepadanya. Heidegger membawa kita kepada cara berpikir orang-orang Yunani Awal, sebelum para ‘Bapak Filsafat’ Plato dan Aristoteles, lalu berhenti sampai di sini. Tetapi, sekurangnya, dia telah ‘membuka sekali lagi pintu terhadap Tawhid bagi bangsa Eropa [dan manusia modern lainnya]‘. Umar Vadillo menegaskan ‘Sesudah Heidegger menutup kedai filsafat, hanya Islam yang dapat mengambil alih. Satu-satunya takdir terakhir bagi pemikiran dunia Barat, bahkan dunia Barat itu sendiri, ialah Islam.’
Dari sini kita bisa melihat bahwa ramalan spekulatif semacam ‘benturan budaya’ ala Samuel Huntington, yang mempertentangkan Barat dan Islam, bukan saja superfisial tetapi juga palsu. Dalam tradisi Eropa (baca: Barat) sendiri, sebagaimana di tunjukkan pada Heidegger dan sejumlah pemikir lain, naluri terhadap keberadaan dan keesaan Tuhan bukan tidak ada. Karena proses sejarah, dan perkembangan pemikiran manusia sendiri, pengetahuan tentang Tawhid ini pudar dan hilang. Tuhan dalam tradisi Kristiani, sebagaimana dinyatakan oleh Nietzsche, yang bagi Heidegger adalah filosof terakhir, telah mati.
Islam Sebagai Masa Depan
Matinya Tuhan, dalam pandangan Nietzsche, bukan karena paham ateisme sebagaimana acap dinisbatkan kepada filosof ini, melainkan karena ‘Tuhan telah dibunuh oleh umatnya sendiri’, dan kuburannya justru ada di gereja-gereja. Pandangan Nietzche ini dengan mudah bisa dipahami malalui kacamata Heidegger, karena Tuhan telah berubah menjadi ‘Konsep Tuhan’, ketika pengetahuan tentang keesaan (’Tawhid’) telah berubah menjadi Teologi. Dengan bangkrut dan tercemarnya sumber-sumber lain, satu-satunya yang tersisa untuk dapat mengerti Tawhid, hanyalah Islam. Dan, Islam, sebagaimana kita saksikan hari ini, telah kembali dan menyebar di Eropa sendiri.
Tetapi, Islam yang kita butuhkan juga bukan ‘Islam modern’, yang justru mengikuti jalan gelap modernitas itu sendiri. Modernitas mengandaikan kemajuan, dalam pengertian hari ini atau besok dan lusa, pasti menjadi lebih baik, khususnya melalui jalan sains dan teknik atau teknologi yang makin maju pula. Bagi orang modern tidak ada satu persoalan kemanusiaan pun yang tidak dapat diselesaikan dengan akal dan kemampuan manusia sendiri. Suatu keyakinan yang sudah rontok sepenuhnya di tangan Heidegger dan pemikir kritis lainnya. Nietzsche juga sudah mengatakan bahwa tradisi pemikiran Barat telah berakhir pada nihilisme, pada kekosongan, kesia-siaan belaka. Maka dalam perspektif Islam, juga dalam pemikiran tradisi Yunani sebelum kehadiran filsafat, kehidupan manusia justru tampak semakin dekaden � menjauh dari teladan dan sumber terbaiknya.
Dalam pandangan Yunani awal dekadensi manusia ditunjukkan pada perubahan wataknya yang semakin hari semakin rendah: dari kecintaan pada pencarian kebenaran, melorot kepada kecintaan pada harta, dan terakhir kecintaan pada segala keinginan syahwatinya. Persis seperti yang kita lihat pada sosok manusia modern hari ini, dalam pandangan ini, adalah sosok manusia berwatak terendah: materialistik dan hedonistik, yang diakomodasikan dalam sistem kapitalis dalam ekonomi. Maka, Plato, dalam buku terkenalnya Republic, pun mengingatkan kita bahwa beragam watak manusia ini juga tercerminkan ke dalam sistem sosial-politik yang kita pilih atau jalani. Dalam hal ini, menurut Plato, sistem politik demokrasi - dalam versi modernnya sebagai bentuk Negara Fiskal yang telah disebut di atas - menunjukkan watak manusia materialistik-hedonis tersebut. Demokrasi adalah sistem politik buruk bagi manusia bermutu buruk pula.
Dalam konteks Islam sumber terbaik itu, tiada lain, adalah masa awal Islam itu sendiri yang oleh Rasulallah saw dijelaskan sebagai ‘tiga generasi pertama’, yakni generasi Sahabat, Tabi’un, dan Tabi’ut-Tabi’un. Tidak berarti lalu kita menjadika pengalaman masa lampau ini, dalam metafora Haji Abdalhaqq, sebagai ‘cetakan mati yang diturunkan dari langit lalu diambil dan digunakan berkali-kali,’ sebab Islam merupakan satu pola pertumbuhan organik. Ia mengingatkan bahwa kita tidak bisa sekadar kembali pada Kitab dan Sunnah, sebab Kitab Allah dan Sunnah bukan satu dokumen sejarah semata, sesuatu yang berasal dari masa lalu atau ibarat barang antik. Qur’an adalah kata-kata Allah, bukan hasil ciptaan, di luar ruang dan waktu, ia akan terus dan tetap segar sepanjang masa.
Saya ingin menutup catatan ini dengan mengutipkan beberapa paragraf dari Haji Abdalhaqq:
“Kita harus menemukan kembali ayat-ayat ini pada masa kini, merenunginya, mencari cahaya dan energi darinya dan membuat ayat-ayat tersebut menjadi batu loncatan kita untuk menegakkan kembali tuntunan Allah. Sunnah merupakan rekaman pola-pola dasar cara penyempurnaan manusia, dalam pribadi Nabi, salla’llahu ‘alayhi wa sallam, mengejawantahkan tuntutan ilahi menjadi realitas kehidupan dan cara beliau dan para Sahabat, radiya’llahu ‘anhum ajma’in, mengalihbentuk diri mereka dan situasi mereka. Untuk mengikuti Sunnah, kita harus menemukan kualitas-kualitas Nabi dalam diri kita sendiri, mentransformasi diri kita dengan cara yang ditempuh para Sahabat, juga mentransformasi situasi kita sebagaimana mereka melakukannya. Dengan kata lain, kita harus bergerak di depan Kitab dan Sunnah, bukan sekadar kembali pada keduanya. Manusia pada jaman kita memerlukan Islam yang baru saja dimasak dan masih segar, bukan yang basi tetapi dihangatkan kembali.”
Modernisme telah bangkrut, dan kita tidak membutuhkannya lagi. Yang kita butuhkan adalah Islam. ‘Islam tidak butuh direformasi [modernisasi], tapi Islamlah yang bertugas untuk mereformasi cara hidup kita.
Bookmark and Share

Salah Kelola Zakat dan Sedekah

September 16th, 2010
Idul Fitri 1431 H usai sudah. Tapi, ada yang tak boleh dilewatkan: berulangnya fenomena ribuan orang berebut recehan sedekah.
Tahun lalu di rumah H Saikhon (Pasuruan) 21 orang mati terinjak-injak demi Rp 30 ribu. Tahun ini di halaman Istana Negara, kediaman resmi Presiden SBY, peristiwa serupa terjadi, meski ‘cuma’ satu orang tewas. Padahal presiden tidak sedang bersedekah, hanya silaturahmi.
Sungguh masygul melihat ribuan laki-perempuan, termasuk orang tua dan anak-anak, yang sebagian besar pasti Muslim, tiap kali berdesakan berburu sedekah, bukan cuma di rumah seorang haji atau presiden, bahkan di halaman kelenteng, vihara, atau gereja. Mengapa itu terjadi, dalam skala yang makin tinggi?
Tiga Persoalan
Paling tidak ada tiga persoalan. Pertama, ini adalah ekspresi kepapaan dan penderitaan mayoritas Muslim, akibat kemiskinan yang bukan berkurang tapi makin mencekik. Kedua, di tengah kemiskinan mencekik ini, kekayaan terkumpul dan tertumpuk di kalangan sedikit orang. Ketiga, betapa tidak mudahnya melawan nafs, yang menyelinap dalam hati manusia khususnya yang berposisi atas, untuk tidak menonjol-nonjolkan “kebaikan”.
Riya’ adalah penyakit hati. Marilah kita jadikan bukan mereka yang miskin dan rela berdesak-desakan itu, tetapi juga segelintir orang kaya ini, yang boleh jadi terbersit dalam hatinya rasa senang, bangga, dan entah perasaan apa lagi, melihat ribuan Muslim miskin beradu nyawa demi sedekah, sebagai cermin. Tapi kita juga harus melihat masalah ini melampauai soal kepribadian seseorang saja.
Kita harus mencari solusi agar peristiwa seperti ini berhenti. Ada yang menyatakan agar sedekah disalurkan hanya kepada lembaga atau badan amil zakat “resmi” saja. Tapi sungguh ini bukan soal teknis belaka. Dan banyaknya harta zakat yang disalurkan belum tentu pertanda baik. Allah SWT menyatakan akan “menyuburkan sedekah dan memusnahkan riba” (Al Baqarah: 276). Namun, ini tidak bisa terjadi begitu saja, bagai mukjizat. Suburnya sedekah dan musnahnya riba, sepenuhnya tergantung pada sikap dan perbuatan kita sendiri.
Banyaknya zakat yang dibayarkan saat ini, diperkirakan jumlahnya yang tercatat saja bisa melampaui Rp 1 triliun, belum tentu tanda baik, belum tentu menjadi bukti suburnya sedekah. Sebab, boleh jadi, justru sebaliknya: banyaknya zakat saat ini hanya mencerminkan banyaknya harta yang ditimbun-timbun di tangan segelintir orang. Suburnya sedekah yang lebih riil ditandai oleh zakat yang berasal dari harta produktif, dari pertanian, perkebunan, peternakan, dan perdagangan. Bila zakat berasal dari harta produktif dibuktikan dengan produk pertanian (beras, jagung, polong-polongan, dsj) dan perkebunan (kismis, kelapa sawit, dsj), hewan ternak (kambing, sapi, dan kerbau, dsj), serta nuqud (dinar emas atau dirham perak), yang ditarik dan dibagikan kepada fakir-miskin dan mustahik lainnya.
Sementara, di sisi lain, berapa banyak zakat saat ini cuma berasal dari timbunan harta berupa deposito, dan sejenisnya, yang artinya bergelimang riba dan menumpuk pada sedikit orang? Allah SWT menegaskan ancaman pedih bagi penimbun harta: “Ingat ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka jahanam, dan dengan itu disetrika dahi dan punggung mereka, dikatakan ‘inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, rasakan akibatnya’(At Taubah 35).
Tak ada larangan bagi setiap orang jadi hartawan, tapi hartanya harus berputar, melalui proses produksi dan perdagangan, hingga “menyuburkan sedekah dan memusnahkan riba” dan “harta tidak berputar hanya di kalangan orang kaya”. Sebaliknya, kekayaan yang ditimbun dalam rekening bank, meski dibayarkan zakatnya, berarti “memusnahkan sedekah dan menyuburkan riba” dan “menghentikan beredarnya harta”. Zakat yang ditarik dan dikelola secara benar adalah obat mujarab bagi penyakit hati, cinta harta. Tata kelola zakat harus dikembalikan pada yang seharusnya, hingga fungsinya sebagai “paru-paru” harta dan obat hati, dapat berfungsi. Harta adalah untuk dicari, dikumpulkan, dan dibagikan, terus-mernerus, seperti paru-paru yang menghirup, menggelembungkan, dan mendistribusikan, oksigen kehidupan.
Luruskan Tata Kelola Zakat
Pertanda lain bahwa zakat berasal dari harta produktif adalah pengumpulan dan pemeratannya yang terjadi setiap hari, sepanjang tahun. Sebab, nisab dan haul zakat, niscaya akan jatuh secara berbeda pada setiap orang, mengikuti dinamika proses produksi, entah di pertanian, peternakan, dan - apalagi - di perdagangan (termasuk manufaktur). Penumpukan penghimpunan dan penyaluran zakat hanya di satu periode saja, sepanjang Ramadhan misalnya, adalah cermin penimbunan harta itu sendiri.
Sementara memberikan zakat kepada lembaga-lembaga amil zakat yang ada saat ini juga bukan penyelesaian. Bahwa masyarakat kurang mempercayai mereka, itu satu hal. Dalam kenyataannya berapa banyak porsi zakat yang dihimpun oleh LAZ dan BAZ yang langsung dibagikan kepada yang berhak secara tunai? Kebanyakan uang zakat saat ini justru ditahan, diakumulasikan, lalu dijadikan aneka program: entah pendidikan, entah kesehatan, entah permodalan, dan sebagainya. Mereka juga tak peduli dengan zakat harta lain, hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Penerima zakat telah ditetapkan oleh Allah SWT, tidak untuk program, tidak untuk administrasi, tidak untuk institusi, termasuk masjid sekalipun. Harta zakat sepenuhnya untuk seseorang (yang berhak). Secara syar’i pengumpul zakat tidak berhak atas penentuan peruntukan harta zakat. Hak itu sepenuhnya ada pada para mustahik. Tugas amil hanya menariknya dari kaum berpunya, dan membagikannya kepada yang berhak, segera dan secara tunai, dalam bentuk Dinar emas dan Dirham perak, serta harta (pertanian, peternakan, perkebunan) lainnya.
Pertanda bahwa sedekah telah subur dan riba telah punah adalah banyaknya orang-orang yang membayarkan zakatnya dalam alat bayar yang benar tersebut di atas, setiap hari, sepanjang tahun, dan dengan cara yang benar, yakni ditarik oleh para pemimpin Muslim (amir) setempat. Tata kelola zakat yang benar ditandai dengan adanya Baitul Mal di berbagai tempat di bawah amir-amir kaum muslim tersebut, menyantuni fakir-miskin dan mustahik lain secara tunai, dan terus-menerus, karena zakat ditarik dan dibagikan dengan tiada hentinya.
Para amir itu, atau petugas yang ditunjuknya, yang akan mendatangi mustahik, dan menyerahkan harta zakat yang jadi hak mereka. Bukan membagi kupon, meminta mereka datang berduyun-berdesakan, saling berebut, entah uang receh entah sembako. Juga bukan dengan mengakumulasikannya, menyusun program, dan melaksanakannya, sementara si papa dan miskin, hanya menerima remah-remahnya.
Tulisan sudah dimuat di Republika
http://koran.republika.co.id/koran/24/118986/Salah_Kelola_Zakat_dan_Sedekah
Bookmark and Share

Zakat Fitrah Dirupiahkan Jangan

September 16th, 2010
Penyempurna puasa Ramadhan adalah zakat fitrah makanan pokok. Merupiahkan zakat fitrah menghilangkan pengetahuan dasar muamalat.
Dari segi ketaatan dalam membayar zakat fitrah kaum Muslim, sejak zaman dulu hingga kini, agaknya tidak pernah ada masalah. Berbeda halnya dengan zakat mal, yang diwajibkan pada harta uang (dinar dan dirham), hewan peternakan, serta hasil pertanian dan perkebunan tertentu, yang sejak sepeninggal Rasulullah SAW, telah banyak yang membangkang. Boleh dikatakan, bagi umat Islam di Indonesia, membayarkan zakat fitrah bahkan dirasakan sebagai bagian kegembiraan mengakhiri Ramadhan dan menyambut idul fitri.
Sampai beberapa tahun lalu masyarakat muslim di Indonesia membayarkan zakat fitrah dengan beras, karena makanan pokok kita umumnya adalah beras, kecuali di daerah tertentu seperti Madura atau sebagian Indonesia Timur, yang makanan pokoknya jagung atau sagu. Di sana zakat fitrahnya mengikuti makanan pokoknya, jagung atau sagu. Tetapi, entah siapa yang memulai, dan kapan terjadinya, semakin kebelakang, semakin banyak orang membayarkan zakat fitrah tidak dengan makanan, melainkan diganti dengan uang (rupiah).
Saat ini, misalnya, banyak panitia penerima zakat fitrah menyetarakan kewajiban berzakat fitrah dengan uang senilai Rp 20-Rp 25 ribu/kepala. Ini merupakan penyimpangan dari ketentuan fikih. Karena itu, tulisan ini ingin mengingatkan agar umat Islam kembali mentaati ketetapan tentang zakat fitrah: dibayarkan hanya dengan makanan, sesuai dengan yang dikonsumsi masyarakat setempat.
Dari Imam Malik sampai Syekh Al Banjari
Dalam Kitab Al Muwatta, Imam Malik, meriwayatkan:
Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Zaid bin Aslam dari Iyadl bin Abdullah bin Sa’d bin Abu Sarh Al ‘Amiri, Bahwasanya ia mendengar Abu Sa’id al Khudri berkata, “Kami mengeluarkan zakat fitrah satu sa’ barley [sejenis gandum], atau satu sa’ gandum, atau satu sa’ kurma, atau satu sa’ keju, atau satu sa’ kismis. Itu berdasarkan ukuran sa’ nabi sallallahu ‘alayhi wasallam.”
Dari riwayat ini, dan yang menjadi amal umat Islam dari zaman dahulu, jelas bahwa zakat fitrah hanya dikenakan pada makanan, sesuai kondisi setempat. Di Madinah, atau di Hijaz umumnya, barley dan gandum, yang merupakan golongan tepung-tepungan dan biji-bijian, adalah makanan utama; selain itu kurma dan kismis, dua jenis makanan golongan buah-buahan kering; lalu keju, sebagai bentuk pembayar zakat fitrah lain, dari golongan produk susu.
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama kita di abad 18, artinya hidup 1100 tahun sesudah Imam Malik, dalam kitab fikih Sabil al-Muhtadin, sebuah kitab fikih yang luas dipakai di Nusantara, Thailand, bahkan sampai Kamboja, menyebutkan benda yang dikenai kewajiban zakat fitrah ini dengan istilah qut artinya “makanan yang mengenyangkan”, jadi tidak sepenuhnya hanya “makanan pokok”, sebagaimana yang kita kenal sekarang. Syekh Al Banjari menyebutkan, “Dan wajib keadaan fitrah itu daripada jenis qut [makanan yang mengenyangkan] yang ghalib [lazim] pada tempat yang difitrahi ia.”
Jadi, zakat fitrah tidak ada urusannya sama sekali dengan harta uang, baik itu dinar emas, dirham perak, ataupun uang kertas, yang lazim kita kenal sekarang. Baik di zaman Imam Malik maupun zaman Syekh Al Banjari. Maka, sangat jelas bahwa membayarkan zakat fitrah dengan uang kertas, merupakan sebuah absurditas, karena kita melaksanakan sesuatu yang tidak ada relevansinya sama sekali dengan yang ditetapkan. Ini merupakan penyimpangan yang sangat fatal.
Sementara pihak memberikan alasan yang tampaknya dibuat-buat untuk membenarkan pembayaran zakat fitrah dengan uang, semisal kepraktisan, apalagi membawa-bawa kepentingan si mustahik, semisal “biar ada keleluasaan dalam menggunakannya, karena kebutuhannya kan tidak selalu berupa beras.” Tetapi, persoalan kita adalah, dalam urusan ibadah semacam ini, apa yang hendak kita lakukan: mentaati perintah Allah SWT dan Rasul-nya SAW, dengan menjalankan perintah dan contoh amal yang telah ada, ataukah mengikuti kemauan dari nafs kita sendiri, dengan alasan apa pun?
Hilangnya Pengetahuan dan Amal Muamalat
Tanpa kita sadari, sikap menggampangkan sebuah ketetapan syariat seperti halnya dalam soal zakat fitrah ini, membuat kita semakin jauh meninggalkan Islam sebagaimana diajarkan oleh Rasul SAW. Praktek menguangkan zakat fitrah ini membawa implikasi luas, bukan sekadar penyimpangan hukum saja, tetapi dalam kehidupan sosial politik umat Islam secara mendasar. Mulailah dari yang sederhana. Ketika zakat fitrah dirupiahkan umat Islam kehilangan satu pengetahuan mendasar dalam muamalat yakni soal takaran (dan timbangan). Berapa banyak di antara Muslim saat ini yang mengetahui makna 1 sa’ itu?
Satu sa’, yang oleh Nabi SAW, disebut sebagai ‘takaran Madinah’, adalah 4 mudd. Satu mudd adalah setangkup dua tangan orang dewasa. Di Nusantara dulu 1 sa’ disebut sebagai 1 gantang. Kalau disetarakan dengan takaran modern, yakni liter, 1 sa’ setara sekitar 2.035 liter. Ada juga yang menyetarakan sampai sekitar 2.5 liter.
Hilangnya pengetahuan tentang takaran, dan sudah pasti diikuti dengan hilangnya pengetahuan tentang timbangan, yang oleh Rasul SAW disebutkan sebaga ‘timbangan Mekah’, memberikan implikasi lanjutan yang sangat serius. Umat Islam kehilangan pengetahuan mendasar tentang ‘nilai’ dan cara mengevaluasi atau mengukur nilai, yang hanya diajarkan melalui dua cara tadi, yaitu�: ‘ditakar dengan takaran Madinah’ atau ‘ditimbang dengan timbangan Mekah.’
Berapa banyak Muslim yang masih mengerti makna mengukur nilai dengan ‘takaran Madinah dan timbangan Mekah’ ini? Dan bahwa, dari ketentuan ini, kita akan sampai pada pengetahuan bahwa nilai, bila dipertukarkan kita sebut sebagai harga, haruslah diukur hanya dengan (dinar) emas dan (dirham) perak, yakni unit yang dimaksud dengan ‘timbangan Mekah’?
Dari pengetahuan dasar ini masyarakat akan sampai pada pengetahuan bahwa uang, sebagai alat tukar, haruslah memiliki nilai intrinsik, agar keadilan pertukaran (perdagangan) dapat dicapai. Dan dari sini umat Islam akan tahu bahwa nilai nominal (pada uang kertas) adalah fantasi, yang jadi alat mengelabui, semata Dan, lebih jauh lagi, dengan pengetahuan ini semua umat Islam akan kembali mengerti yang dimaksud dengan riba secara benar.
Secara fitrah pengetahuan datang, bertahan, dan diwariskan melalui amal. Karena itu, ketika amalnya dihentikan, pengetahuan itu pun ikut hilang. Karena itu, sekali lagi, dalam hal zakat fitrah, marilah kita kembalikan amalnya seperti semula, agar pengetahun yang telah hilang ini kembali. Meskipun, atau justru karena itulah, ada pihak-pihak tertentu yang menghendaki hilangnya amal dan pengetahuan ini.
Bookmark and Share

Saatnya Beralih ke Dinar Emas

July 12th, 2010
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Krisis finansial yang melanda Eropa saat ini, dimulai dari utang Yunani dan merembet ke Spanyol dan Portugal, membuat masyarakat kembali menoleh emas.
Di mana-mana permintaannya naik drastis. Dua pekan pertama April 2010, the Austrian Mint, produsen koin emas populer, Philharmonic, menjual emas melebihi seluruh penjualan Kuartal I 2010. Dalam dua pekan terjual 243.500 oz, baik koin maupun batangan, jauh di atas 205.000 oz selama kuartal pertama 2010. Ini untuk Eropa saja. Austrian Mint pun mempekerjakan karyawan 24 jam (tiga shift). Keadaan serupa terjadi di Amerika Serikat tahun lalu menyusul krisis finansial berkepanjangan sejak setahun sebelumnya. American Eagle, produk koin emas AS menjadi sangat populer, hingga akhir 2009 kehabisan stok. Dalam kenyatannya, ada atau tidak ada krisis, nilai semua jenis uang kertas terus merosot. Dolar Amerika, misalnya, telah kehilangan daya belinya (terhadap emas) lebih dari 95% dalam kurun 40 tahun (dari 35 USD/oz 1971 ke 1235/0z 2010). Euro, yang konon merupakan mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun terakhir, kehilangan sekitar 70% daya belinya (dari 276 euro/oz 2001 ke 1041 euro/oz 2010). Rupiah? Lebih dari 99,9% daya belinya telah lenyap dalam 65 tahun (dari Rp 62/oz 1946 ke Rp 11.3 juta/oz 2010).
Begitulah, harga emas yang terus-menerus naik membuat masyarakat menjadikannya sebagai safe heaven. Dalam keadaan “normal” pun orang menjadikan emas sebagai satu bentuk investasi, sebagai tabungan, yang memang memberikan perlindungan nilai terbaik. Meski “mbener” cara pandang seperti ini, dari kacamata syariat Islam, keblinger.
Memperlakukan emas (dan pasangannya, perak) sebagai investasi dalam arti ditabung untuk sekadar menjaga nilai justru sangat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Dalam pandangan Islam, emas beserta pasanganya perak, adalah uang, alat tukar yang harus beredar. Emas dan perak, dalam bentuk mata uang Dinar emas (4.25 gr) dan Dirham perak (2.975 gr) harus ditransaksikan dalam perdagangan sehari-hari. Ia harus berpindah tangan, dipertukarkan dengan komoditas dan jasa, dan tidak ditimbun dalam brankas, hanya untuk suatu saat ditukarkan kembali menjadi rupiah. Memperlakukan Dinar dan Dirham sebagai “alat investasi” pasif seperti ini melawan perintah Allah Ta’ala dalam Al Qur’an untuk “tidak mengedarkan harta hanya di kalangan orang kaya.”
Dinarayn
Dinar dan Dirham sebagai Standar Nilai
Pengertian yang tepat atas Dinar emas dan Dirham perak adalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghazali “sebagai hakim yang adil.” Maksudnya emas dan perak adalah penentu harga, standar nilai, bagi semua jenis komoditi dan jasa dan bukan sebaliknya, nilainya ditetapkan melalui fantasi yang dibubuhkan pada uang kertas. Jadi, melihat Dinar emas dan Dirham perak dengan cara menilai “berapa harga rupiahnya hari ini” adalah keliru. Dinar emas dan Dirham perak harus dilihat substansinya, yakni 4.25 gr emas dan 2.975 gr perak, dan menggunakannya sebagai penakar nilai atau harga.
Dangan cara pandang yang tepat ini, kita bisa buktikan bahwa yang disebut inflasi - atau kenaikan harga-harga komoditas dan jasa - sesungguhnya tidak ada. Urwah, seorang Sahabat Rasul SAW, meriwayatkan bahwa ia diberi uang satu Dinar untuk membeli seekor domba. Tapi dengan uang itu Urwah berhasil memperoleh dua ekor. Maka ia menjual salah satunya senilai satu Dinar dan membawa seekor yang lain, beserta sekeping Dinarnya, kepada Rasul SAW. Hari ini seekor domba, di Madinah, di Kuala Lumpur, dan di Jakarta, dapat dibeli dengan 0.5-1 Dinar emas. Dalam kurun 1400 tahun inflasinya nol. Secara ilmiah nilai emas yang tetap telah dibuktikan oleh Prof Joe Jastram, dalam bukunya The Golden Constant. Prof Jastram membuktikan dalam 500 tahun (1560-1997) nilai tukar emas atas komoditas adalah konstan. Sama halnya dengan Dinar emas, Dirham perak pun bebas inflasi (baca: Dirham Perak Dilupakan Jangan).
Tentu saja, sekali lagi, kita dapat memandangnya dengan “kacamata investasi” di atas, dengan membandingkan bahwa nilai 1 Dinar emas pada 2000 adalah 38 USD dan pada 2010 adalah 168 USD. Berarti ada kenaikan 130 USD atau 342%/10 tahun atau rata-rata 34%/tahun (lihat Tabel 1). Tetapi, akibatnya adalah fatal, para pemilik Dinar emas hanya akan memperlakukannya sebagai timbunan, untuk suatu saat dikembalikan menjadi uang kertas. Dengan kata lain, secara praktis, masyarakat memperlakukan koin Dinar emas (dan pasangannya Dirham perak) sebagai komoditi. Sementara sebagai penakar harganya justru dipakai uang kertas yang nilainya adalah fantasi belaka, terbalik dari yang dinyatakan oleh Imam Ghazali.
Tabel 1. Kurs Dinar Emas dalam Dolar AS (1999-2010)
Penerapan Dinar dan Dirham sebagai alat Tukar
Memperlakukan Dinar emas dan Dirham perak sebagai komoditi bukan saja tidak akan mengubah keadaan, justru memperburuknya, terutama bagi kalangan tidak berpunya. Sebaliknya, menjadikan Dinar emas dan Dirham perak sebagai alat tukar, berarti mengedarkan keduanya dari tangan ke tangan, memeratakan kekayaan di tangan semua orang, kaya maupun miskin. Saat ini, tentu saja, diperlukan transisi. Dinar emas dan Dirham perak berlaku secara paralel dengan mata uang kertas yang ada dalam masyarakat. Agar bisa beredar maka ada beberapa prasarana yang harus ada dan saat ini telah dirintis. Pertama, adalah para pedagang komoditas dan jasa, yang menerima kedua koin tersebut sebagai alat tukar. Ini ditempuh melalui pengembangan JAWARA (Jaringan Wirausahawan dan Pengguna Dirham dan Dinar Nusantara) yang jumlah pesertanya terus bertambah. Berkaitan dengan JAWARA (www.jawaradinar.com) ini juga dikembangkan Kampung Jawara, yakni tempat-tempat yang banyak pedagangnya yang menerima Dirham dan Dinar. Dua Kampung Jawara yang kini aktif ada di Kampung Nelayan, Cilincing, dan di Tanah Baru, Depok.
Kedua, diadakannya pasar-pasar terbuka, melalui rangkaian Festival Hari Pasaran (FHP), secara reguler yang menerima Dirham dan Dinar sebagai alat tukar. Untuk memfasilitasi masyarakat memperoleh Dinar dan Dirham pada tiap FHP beroperasi sebuah Wakala, yang berperan layaknya penyurup uang (money changer). Saat ini, di berbagai kota di Indonesia, telah beroperasi sekitar 80 Wakala Dinar Dirham, di bawah kordinasi Wakala Induk Nusantara (WIN, www.wakalanusantara.com).
Ketiga, di luar kegiatan bisnis, Dinar Dirham juga bersirkulasi melalui kegiatan sosial, berkaitan dengan sedekah, infak, zakat, serta hadiah dan mahar. Popularitas Dinar dan Dirham sebagai mahar, kado, sedekah dan wakaf, di samping zakat yang wajib hukumnya, akhir-akhir ini semakin tinggi (lihat situs Baitul Mal Nusantara, www.bmnusantara.com). Tiap ada FHP zakat berupa Dirham dibagikan kepada fakir miskin.
Keempat, pada saat transaksi semain banyak jumlahnya, adanya alat bantu, misalnya mekanisme elektronik dalam transaksi Dinar, akan diperlukan. Model yang paling cocok untuk keperluan ini adalah bentuk transaksi melalui telepon seluler, yang oleh Wakala Induk Nusantara (WIN), tengah dikembangkan dengan sebutan m-Badar (Mobile Pembayaran Barter Dinar). Saat ini m-Badar baru berfungsi sebagai sumber informasi kurs Dinar Dirham yang dapat diakses dari telepon seluler dari seluruh Indonesia.
Jadi, sekaranglah saatnya, Anda beralih ke Dinar dan Dirham! Gunakan dalam transaksi sehari-hari.
note: Tulisan ini pernah dimuat di harian umum REPUBLIKA Rabu, 16 Juni 2010
Bookmark and Share

Mengoptimalkan Wakaf: dari Liability ke Asset Management

June 28th, 2010
Pengelolaan harta wakaf perlu diluruskan agar harta umat lebih optimal mensejahterakan masyarakat.
Studi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (2006), menunjukkan bahwa harta wakaf di Indonesia secara nasional sangatlah besar. Jumlah unit wakaf yang terdata mencapai hampir 363 ribu bidang tanah, dengan nilai secara nominal diperkirakan mencapai Rp 590 trilyun! Ini setara dengan lebih dari 67 milyar dolar AS (kurs Rp 9.250/dolar). Jumlah ini tentu saja sangat besar. Andai saja seluruh harta wakaf ini dijual, hasilnya dapat menutupi 100% total utang luar negeri Pemerintah Republik Indonesia saat ini (awal 2008), yang besarnya ‘cuma’ 60 milyar dolar AS. Untuk memahami betapa besarnya harta wakaf ini, dalam konteks lain, bandingkan nilainya yang setara dengan sekitar 85% APBN RI sekarang ini, yang besarnya sekitar Rp 700 triliun/tahun.Tapi, menjuali aset wakaf tentu tidak dapat kita lakukan begitu saja, karena itu berarti menyalahi prinsip wakaf: mengelola aset pokoknya, dan memanfaatkan hasilnya. Dengan kata lain, kemungkinan yang dapat kita peroleh dari pengelolaan wakaf, justru jauh lebih hebat lagi. Bukan saja aset-pokok triliunan rupiah itu tetap dapat kita pertahankan, dan tidak dijuali seperti yang terjadi pada aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kini satu-per-satu berpindah ke tangan kapitalis asing, sumber utama persoalan bangsa kita (utang luar negeri) akan dapat kita selesaikan.
Tetapi mengapa saat ini wakaf yang begitu besar itu tidak memperlihatkan kontribusi sosialnya pada kehidupan umat, yang justru semakin terpuruk dalam kesulitan hidup? Mengapa kita, sebagai bangsa, masih juga harus terus-menerus mengemis utang kepada para kapitalis internasional?
Marilah kita tengok data-data kita dengan lebih rinci lagi. Ratusan ribu aset wakaf di atas tersebar di seluruh Indonesia, dengan luasan lahan yang sangat bervariasi, dari sekadar puluhan meter persegi sampai ratusan hektar. Kalau diambil rata-ratanya, luas lahan wakaf di Indonesia sekitar 0.5 hektar per unit, memang tidaklah luas. Namun, kalau diuangkan, nilainya sekitar Rp 1.6 milyar/unit, sebuah angka yang sebenarnya tidak terlalu gurem. Persoalan yang lebih mendasar tampaknya adalah pada pemanfaatannya: 79% dari perwakafan tersebut digunakan untuk pemebangunan masjid/mushola, 55% untuk lembaga pendidikan, 9% untuk pekuburan, dan 3% atau kurang untuk fasilitas umum lainnya (sarana jalan, sarana olah raga, WC umum, dan sejenisnya).
Data tersebut merupakan jawaban multiple dari survei UIN di atas, yang dapat kita simpulkan bahwa pemanfaatan wakaf di Indonesia hampir sepenuhnya untuk keperluan konsumtif. Tentu ada contoh-contoh pengelolaan wakaf yang lebih produktif, dan karenanya kontribusi sosialnya sangat dinikmati oleh umat. Ambilah kasus wakaf Pondok Modern Gontor, sebuah lembaga pendidikan yang sama-sama kita kenal mumpuni. Pondok Gontor ditopang oleh sekitar 320 hektar lahan wakaf, 212 hektar di antaranya adalah sawah produktif. Dari sini Pondok Gontor memperoleh hasil panen senilai Rp 726 juta, tiap dua musim panen (data 2003). Selain dari sawah padi, Pondok Pesantren Gontor juga memperoleh pendapatan dari kebun cengkeh dan kegiatan niaga lain di lingkungannya, meski relatif lebih kecil. Dengan dukungan dana wakaf ini, Pondok Gontor mampu menyediakan jasa pendidikan bermutu, bagi sekitar 35 ribu siswa, dengan relatif murah.
Dengan bercermin pada kasus Pondok Gontor kita dapat melihat bahwa pengelolaan wakaf di Indonesia umumnya mengikuti paradigma yang tidak tepat, yakni seperti mengelola sedekah biasa, dana wakaf dipakai untuk kegiatan cost center. Sumberdaya yang disumbangkan langsung dibelanjakan. Dalam bahasa finansial inilah yang acap disebut sebagai liability management, yang memang merupakan tujuan dari bentuk-bentuk sedekah umumnya, tapi bukan wakaf. Sedang wakaf, sebagaimana diajarkan oleh Rasul Sallallahualaihiwassalam dalam hadisnya yang terkenal, adalah ‘menahan pokoknya dan hanya memanfaatkan buah’-nya. Dalam bahasa finansial ini dikenal sebagai asset management. Dalam tradisi wakaf aset ini dapat berupa sawah, perkebunan, toko, pergudangan, serta aneka bentuk usaha niaga - intinya segala jenis kegiatan produktif. Di zaman modern ini kita memang menghadapi situasi yang berbeda, ketika umumnya aset tidak lagi berada di tangan masyarakat, tapi dikuasai segelintir elit, khususnya para pemilik modal. Jutaan hektar tanah (untuk real estate), perkebunan, sawah, bahkan hutan-hutan kita; serta aset lain berupa pabrik-pabrik dan usaha perdagangan, hampir sepenuhnya kini mereka kuasai. Sementara milyaran umat manusia hanya mendapatkan jatah gaji bulanan, sebagai buruh upahan, yang menjadikannya sulit bagi seseorang untuk mendapatkan aset, berupa sebuah rumah tipe 36 sekalipun, apalagi aset untuk diwakafkan.
BMNDalam konteks inilah kita perlu memahami peran penting wakaf, dan khususnya yang kini diperkenalkan sebagai ‘wakaf tunai’. Penghimpunan wakaf tunai, dari ribuan atau jutaan orang, adalah jalan bagi umat Islam untuk mengubah aset yang kini dikuasai segelintir orang tersebut, sedikit-demi-sedikit, kembali menjadi milik umum. Pengelolaan wakaf tunai harus mengikuti kaidah dasar wakaf, dalam paradigma asset management, sebagaimana diteladankan oleh Pondok Pesantren Gontor, dan bukan dibelanjakan langsung bagi sedekah sosial. Dengan kata lain, dana-dana wakaf tunai yang dimobilisasi para nadhir, pertama-tama haruslah dijadikan aset, dikelola secara produktif, barulah surplusnya digunakan sebagai sedekah.
Jadi, memanfaatkan dana wakaf untuk langsung membangun sebuah masjid, tentu tidak salah, tapi kurang tepat. Asas-asas wakaf yaitu keswadayaan, keberlanjutan, dan kemandirian, tidak dapat kita penuhi di sini. Dengan kata lain ‘ke-jariah-annya’ tidak kita peroleh.
Kemaslahatannya menjadi berkurang, bahkan sebaliknya, alih-alih memberikan kemaslahatan, acap kali harta wakaf tersebut justru menjadi beban bagi umat Islam secara keseluruhan, yang terus-menerus harus mengelola dan memeliharanya.
Kebun Kelapa SawitSemestinya dana-dana wakaf tersebut dipakai untuk membangun kompleks pertokoan, atau mengoperasikan sebuah pompa bensin, atau perkebunan kelapa sawit, dan dari hasilnya, barulah dibangun masjid-masjid atau sekolah-sekolah. Inilah tantangan dan tugas para nadhir kita saat ini. Peran para nadhir bukanlah cuma memobilisasi dana wakaf lalu langsung membelanjakannya sebagai sedekah, tetapi mewujudkannya terlebih dahulu menjadi aset, lalu mengelolanya secara produktif baru memanfaatkan hasilnya sebagai sedekah. Hal ini bukan saja memerlukan wawasan, tapi juga kemampuan, para nadhir dalam bernivestasi secara halal.
Insya Allah Baitul Mal Nusantara (BMN) telah menjadikannya sebagai paradigma dalam mengoptimalkan wakaf di Indonesia. Antara lain melalui Program Wakaf Imarah dan Wakaf Pasar. Dengan dukungan Anda semua, para wakif, tentunya.
Bookmark and Share

Habis Demokrasi, Terbitlah Pornografi

June 14th, 2010
Ada sebuah  artikel yang sangat menarik, Islamic Culture and Democracy: Testing the ‘Clash of Civilizations’ Thesis, karya Pippa Norris  (John F Kennedy School of Government, Harvard University) dan Ronald Inglehart (Institue of Social Research, University of Michigan). Tulisan  ini dimuat dalam jurnal ilmiah Comparative Sociology (Vol. 1, No 3-4, 2002), dan merupakan hasil penelitian empiris yang dilakukan secara masif: melibatkan ¼ juta  responden di 75 negara di lima benua, dalam kurun enam tahun (1996-2001). Metodenya mereka sebut sebagai World Values Survey/European Values Survey (WVS/EVS).
Sesuai dengan judulnya penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan bukti lapangan akan tesis Samuel P Huntington (1996) tentang ’benturan peradaban’  yang kontroversial itu. Pada intinya Huntington mengatakan bahwa, selain jurang sosial (kaya dan miskin),  ada jurang kultural di antara berbagai paradaban yang berbeda-beda di dunia ini. Selanjutnya ia mengatakan jurang kultural terbesar  saat ini adalah agama, dan yang paling tajam adalah antara ’peradaban Barat’ sebagai warisan Kristen dan ’peradaban Islam’. Secara khusus, menurut Huntington, titik api perbedaan keduanya ada pada kultur politik, yakni penerimaan atas mesin politik demokrasi. Pada isu politik inilah, dalam interpretasi yang simplistis, potensi benturan peradaban akan terjadi antara ’Barat Kristen’ dan ’Islam’.
Norris dan Inglehart rupanya tidak menerima tesis Huntington begitu saja. Tentunya, sebuah hasil penelitian memberikan implikasi luas, termasuk dalam kebijakan politik kongkrit. Dalam kenyataannya pengaruh tulisan Huntington begitu besar. Dengan interpretasi politis simplistis di atas lahirlah program masif di seluruh dunia non-Barat: demokratisasi. Demi ’memperkecil jurang perbedaan’ dan ’mencegah benturan peradabaan’ program ini dilakukan, tentu saja, oleh negara Barat dengan dana yang luar biasa besarnya. Tujuannya untuk menyeragamkan seluruh sistem politik di dunia ini menjadi hanya satu, demokrasi, yang lain dianggap tirani.
Gelombang demokratisasi, boleh dikatakan, merupakan tema besar program politik Barat di seluruh dunia (khususnya di negeri-negeri Islam, Eropa Timur bekas Komunis-Sosialis), dalam dua dekade terakhir. Isu-isu hak asasi manusia, kebebasan berkespresi, liberalisasi politik, perkembangan masyarakat sipil (civil society), indoktrinasi politik pada warga negara lokal, dilaksanakan di semua lini. Semua bantuan asing, bahkan utang luar negeri dari rentenir seperti Bank Dunia dan IMF, pun ditujukan untuk program ’cuci otak, tangan dan kaki’  massal ini.  Memang, tesis Huntington bukannya sama sekali  tidak ada dukungan ’bukti ilmiah’. Survei  Freedom House, sebuah organisasi yang tentu saja mendukung nilai-nilai liberal sesuai namanya, misalnya,  menunjukkan dari tahun ke tahun negara-negara dengan mayoritas Muslim,  adalah yang paling tidak atau kurang demokratis.
Norris dan Inglehart datang dengan keraguan: benarkah tesis Huntington ini, dan tepatkah ’terapi politik’ yang diberikan atas dasar tesis tersebut?  Keduanya menelusuri agak lebih dalam tentang akar perbedaan kedua peradaban di atas yang dicarinya dari sumbernya, yakni proses modernisasi. Ini adalah tema besar sebelum demokratisasi yang diusung Barat ke Timur pasca Perang Dunia II  sampai tahun 1980an. Ada perubahan atas dua nilai utama, menurut Norris dan Ingelhart,  yang dibawa bersama modernisasi, atau kongrkitnya industrialisasi yang sesungguhnya adalah penerapan kapitalisme itu. Dua nilai utama itu adalah peran wanita dan kebebasan seks. Kapitalisme yang didasarkan pada nilai-nilai materialis, rasional, sekuler, yang dibungkus sebagai modernisasi itu, memang harus ditopang oleh permisifisme.
Dengan sendirinya, nilai-nilai agama, dianggap sebagai penghambat kapitalisme. Tapi, karena tidak mungkin menghapuskan agama-agama, maka yang dilakukan adalah mereformasi doktrin-doktrinya.  Sasaran pertama, tentu saja, adalah agama yang dominan di Eropa saat itu. Datanglah ’reformasi katolisisme’ dalam dua ratus tahun pertama sejak lahirnya kapitalisme, dan sukses, dengan munculnya protestanisme yang mendukung kapitalisme. Giliran berikutnya, dalam satu abad terakhir ini, pembaruan Islam dilakukan dengan masif untuk melahirkan ’protestanisme Islam’, dan cukup sukses: mayoritas Muslim telah menerima riba (jantung kapitalisme) secara total dalam perbankan (Islam), dan, sebagaimana juga terbukti dari Norris dan Inglehart, mesin demokrasi dalam politik.
Kita kembali ke Norris dan Inglehart. Untuk mencari bukti-bukti yang lebih kongkrit, tentu dengan harapan bisa menghasilkan resep yang lebih cespleng, sebagai ’terapi kultural’ dari budaya dominan (Barat) kepada budaya pinggiran (Islam), mereka mengkontraskan sejumlah nilai-nilai budaya untuk dites di keduanya. Secara  umum bukti ilmiah dari mereka adalah, seperti kata tesis Huntington, budaya memang berperan penting dalam peradaban, tapi   sangat berbeda dalam empat kesimpulan.
Pertama,   praktis tidak ada perbedaan dalam perilaku politik (khususnya dalan kaitan dengan nilai dan praktek demokrasi) antara dua peradaban di atas. Kedua, ’benturan demokrasi’ kalaupun dapat disebut demikian, sangat potensial terjadi antara Barat dan Eropa Timur bekas Komunis, sebagai warisan  Perang Dingin. Ketiga, dukungan masyarakat atas otoritas agama lebih kuat pada masyarakat Islam dibanding di Barat. Keempat, ada jurang budaya– yang diabaikan Huntington – justru sangat lebar antara Barat dan Islam: dalam nilai persamaan jender dan kebebasan seks. Jurang ini, bukan cuma lebar, tapi terus melebar, karena generasi muda di Barat secara seksual sudah semakin  bebas, sementara generasi  muda Islam masih sama kolotnya dengan generasi orang tuanya. Ini, kata Norris dan Inglehart, berkat sukses ’revolusi seks’ yang dilakukan di Barat sejak 1960an.
Jadi? Para  profesor kita tidak secara eksplisit memberi resep. Mereka hanya mengatakan ‘segala klaim yang mengatakan bahwa ’’benturan peradaban’’ disebabkan oleh  jurang nilai politik antara Barat dan Islam adalah keblinger; yang lebih didukung bukti ilmiah adalah karena perbedaan pandangan atas kebebasan seks’.  Setelah ada konklusi ilmiah dari para pakar begini, para pengambil kebijakanlah yang lantas memberikan interpretasi dan mengambil tindakan politik. Tapi siapa yang tidak dapat menebak interpretasi yang mungkin muncul dari diagnosa pakar Harvard University  dan University of Michigan ini? Demokratisasi massal telah usai, pornografisasi massal (’revolusi seks’) harus dimulai.
Herankah kita pronografi makin marak saja hari-hari ini?
*)Artikel ini pernah dimuat di Republika, 27 Februari 2006
Bookmark and Share

·         Pages

Search for:

·         Categories

·          

March 2011
M
T
W
T
F
S
S



1
2
3
4
5
6
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

·         Recent Comments

·         Meta

·         Event Calendar

spinneriCalendar
Mon
Tue
Wed
Thu
Fri
Sat
Sun

1
2
3
4
5
6
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
  •  

Upcoming Events

    • No events.

·         Newsletter

Loading...Loading...





Usaha Berhasil

SIKLUS CHAPRA: STRATEGI GERAKAN (EKONOMI) ISLAM MENCAPAI TUJUAN

Para ekonom konvensional mulai menyadari bahwa sistem ekonomi yang ada saat ini sedang berbalik mendekonstruksi dirinya sendiri, setelah sekian lama mencapai lompatan kemajuan yang luar biasa. Robert Heibroner mengatakan, Pakar ekonomi mulai menyadari bahwa mereka telah membangun suatu bangunan yang canggih di atas landasan sempit yang rapuh. Perekonomian modern telah gagal memastikan keadilan distributif, pertumbuhan berkesinambungan, pembangunan manusia yang seimbang, keharmonisan sosial dan keadilan kawasan untuk sebagian besar manusia dan dihadapi di dalam negeri maupun di luar negeri dengan acaman resesi berkepanjangan, pengangguran yang tidak bisa dihilangkan, stagflasi, ekspansi moneter yang tidak terkendali, hutang dalam negeri dan luar negeri yang menggunung, dan wujud bersamanya secara ekstrim kekayaan dan kemisikinan yang parah di masing-masing negara maupun di antara masyarakat.

Ada semacam kecenderungan dalam kelompok kekuatan-kekuatan sekuler dan anti Islam yang menyimpulkan bahwa kemunduran Umat Islam adalah karena Islam itu sendiri. Sedangkan bagi aktivis Islam, menyatakan Islam is the only solution. Disini bertemulah titik singgung antara positivisme (what’s going on) dan normativisme (what should be going on). Muncul anggapan skeptis dengan ekonomi Islam sebagai ekonomi normative, bahkan cenderung utopia. Dan Ada yang hanya terkesima dengan tujuan, tanpa mau bersusah payah menguliti kerumitan dan kompleksitas untuk mencapainya. Dr. Chapra dalam buku ini mengkritik ekonom konvensional sekaligus ekonom Islam ABG (anak baru ghiroh).
Ekonomi Islam menurut Dr. Chapra adalah : branch of knowledge (cabang ilmu) yang membantu manusia untuk mencapai kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi dari kelangkaan sumber daya yang mengikuti maqashid syari’ah. Sedangkan tujuan dari maqashid sendiri adalah menjaga dien (agama), menjaga nafs (jiwa), menjaga kelangsungan aql (akal), menjaga nasl (keturunan) dan menjaga maal (harta).
Istilah siklus Chapra dipopulerkan oleh Adiwarman A. Karim dalam pengantar buku “The Future of Economic : An Islamic Perspective†. Siklus ini merupakan ‘syarah’ dari kitab Muqaddimah karya Ibnu Khaldun yang membahas tentang jatuh bangunnya sebuah peradaban.
Dalam buku The Future of Economic : An Islamic Perspective, kita dapat melihat dengan kacamata holistik bahwa untuk mencapai tujuan tercapainya sistem (ekonomi) Islam, bisa dimulai dari mana saja. Ada lima titik yang bisa dipilih sebagai ‘terminal pemberangkatan Sistem (Ekonomi) Islam, yaitu Syari’ah (S), kekuasaan politik atau waazi’ (G), masyarakat atau rijal (N), kekayaan atau sumber daya atau Maal (W), pembangunan atau immarah (g) dan keadilan atau adl (j).
Kelima variabel tersebut berada dalam satu lingkaran yang saling tergantung karena satu sama lain saling mempengaruhi. Karena cara kerja lingkaran ini menyerupai rantai reaksi selama bertahun-tahun; tiga generasi atau selama seratus dua puluh tahun, sebuah dimensi kedinamisan diperkenalkan dalam seluruh analisis.
Siklus di atas juga dapat diturunkan menjadi fungsi di bawah ini:
G = f (S,N,W, g dan j)
Dimana G merupakan naik turunnya sebuah dinasti,sedangkan S, N, W, g dan j merupakan implementasi syariah, well-being of the people, development and equitable distribution of wealth, aktualisasi pembangunan atau growth of development, dan justice. Kesemua faktor tersebut saling mempengaruhi, sehingga faktor dependent dapat menjadi independent demikian juga sebaliknya. Sebagai contoh Implementasi syariah sangat tergantung dari kebutuhan masyarakat yang dinamis, misalnya saat ini semakin banyak masyarakat muslim (N) yang ingin bermuamalah secara syariah, tentu konsekuensinya adalah implementasi sistem perekonomian/ perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah akan meningkat. Namun harus disadari juga implementasi syariah tidak dapat berlangsung dengan baik bila ulama terlalu liberal atau terlalu kaku atau pemerintahnya sangat sekular dan korup atau masyarakatnya terlalu miskin, ignorant dan tertekan sehingga tidak punya pengaruh yang signifikan. Sehingga
dapat dikatakan implementasi syariah tidak akan efektif jika G dan N (termasuk ulama) tidak berperan dengan sempurna dalam mendukung terimplementasinya prinsip-prinsip syariah dengan baik. Maka dalam hal ini jelas terlihat S menjadi dependent variable.
Dr. Chapra merumuskan untuk mengembangkan ekonomi Islam melalui tahapan S-N-W-j&g-G- S:
1.Tanamkan kesadaran syariah (S),
2.kemudian kembangkan masyarakat sehingga terciptalah Masyarakat (N) yang paham syariah.
3.Langkah selanjutnya adalah meningkatkan kekayaan (W) masyarakat paham syariah ini.
4.Bila ini tercapai maka aspek pembangunan lainnya tidak dapat diabaikan dan yang terpenting adalah pembangunan hukum dan keadilan (j&g). Pada tahap ini kita memiliki masyarakat paham syariah yang kaya dan berkeadilan.
5.Tahap selanjutnya adalah menegakkan pemerintah yang kuat (G).
Namanya siklus, artinya prosesnya dapat memulai dari komponen manapun, asal saja kita sadar konsekuensi logis tahapannya.
Di dalam buku ini juga disinggung kembali tentang ijma ulama bahwa bunga adalah riba. Dan sistem yang diajukan sebagai alternatif adalah kombinasi cara-cara primer seperti mudharabah(kemitraa n pasif), musyarakah (kemitraan aktif) dan cara-cara sekunder seperti murabahah (biaya ditambah pembebanan jasa) ijarah (sewa), ijarah wa iqtina’ (sewa beli) salam (kontrak jual beli penyerahan tertunda), dan ishtisna (kontrak produksi/job order). Yang pertama berdasarkan atas ekuitas dan relatif berisiko karena melibatkan pembagian keuntungan dan kerugian – artinya tingkat keuntungan tidak dinyatakan di muka dan mungkin positif atau negatif tergantung pada akhir usaha. Yang kedua melibatkan kredit dan relatif kurang berisiko karena tidak melibatkan pembagian keuntungan dan kerugian – yaitu tingkat keuntungan positif dan dinayatakan di muka.
Jadi menegakkan Pemerintahan Islami menjadi syarat pembangunan ekonomi syariah. Paradigma ini yang di banyak negara membuat perjuangan ummat Islam terfokus pada perjuangan politik dan mengabaikan komponen perjuangan ekonomi dan komponen lainnya. Dr. Chapra menempatkan pemerintah sebagai salah satu komponen saja dalam siklusnya. Dengan demikian upaya penegakan Islam sebagai pedoman hidup dan kehidupan yang komprehensif dapat dimulai dari komponen yang paling mungkin dilakukan di zaman tertentu dan di wilayah tertentu. Hal ini yang mungkin perlu difahami elemen-elemen gerakan Islam untuk mencapai tujuan bersama yakni menjadikan Islam pemimpin peradaban sekaligus rahmatan lil alamin.
Smber : nani3.wordpress.com




Sejarah Perkembangan Teori Ekonomi adalah suatu pemikiran kapitalisme yang terlebih dahulu yang harus dilacak melalui sejarah perkembangan pemikiran ekonomi dari era Yunani kuno sampai era sekarang. Aristoteles adalah yang pertama kali memikirkan tentang transaksi ekonomi dan membedakan diantaranya antara yang bersifat "natural" atau "unnatural". Transaksi natural terkait dengan pemuasan kebutuhan dan pengumpulan kekayaan yang terbatasi jumlahnya oleh tujuan yang dikehendakinya. Transaksi un-natural bertujuan pada pengumpulan kekayaan yang secara potensial tak terbatas. Dia menjelaskan bahwa kekayaan unnatural tak berbatas karena dia menjadi akhir dari dirinya sendiri ketimbang sebagai sarana menuju akhir yang lain yaitu pemenuhan kebutuhan. Contoh dati transaksi ini disebutkan adalah perdagangan moneter dan retail yang dia ejek sebagai "unnatural" dan bahkan tidak bermoral. Pandangannya ini kelak akan banyak dipuji oleh para penulis Kristen di Abad Pertengahan.
Aristotles juga membela kepemilikan pribadi yang menurutnya akan dapat memberi peluang seseorang untuk melakukan kebajikan dan memberikan derma dan cinta sesama yang merupakan bagian dari “jalan emas” dan “kehidupan yang baik ala Aristotles.
Chanakya (c. 350-275 BC) adalah tokoh berikutnya. Dia sering mendapat julukan sebagai Indian Machiavelli. Dia adalah professor ilmu politik pada Takshashila University dari India kuno dan kemudian menjadi Prime Minister dari kerajaan Mauryan yang dipimpin oleh Chandragupta Maurya. Dia menulis karya yang berjudul Arthashastra (Ilmu mendapatkan materi) yang dapat dianggap sebagai pendahulu dari Machiavelli's The Prince. Banyak masalah yang dibahas dalam karya itu masih relevan sampai sekarang, termasuk diskusi tentang bagaiamana konsep manajemen yang efisien dan solid, dan juga masalah etika di bidang ekonomi. Chanakya juga berfokus pada isu kesejahteraan seperti redistribusi kekayaan pada kaum papa dan etika kolektif yang dapat mengikat kebersamaan masyarakat.
Tokoh pemikir Islam juga memberikan sumbangsih pada pemahaman di bidang ekonomi. ibn Khaldun dari Tunis (1332–1406) menulis masalah teori ekonomi dan politik dalam karyanya Prolegomena, menunjukkan bagaimana kepadatan populasi adalah terkait dengan pembagian tenaga kerja yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang sebaliknya mengakibatkan pada penambahan populasi dalam sebuah lingkaran. Dia juga memperkenalkan konsep yang biasa disebut dengan Khaldun-Laffer Curve (keterkaitan antara tingkat pajak dan pendapatan pajak dalam kurva berbentuk huruf U).
Perintis pemikiran barat di bidang ekonomi terkait dengan debat scholastic theological selama Middle Ages. Masalah yang penting adalah tentang penentuan harga barang. Penganut Katolik dan Protestan terlibat dalam perdebatan tentang apa itu yang disebut “harga yang adil” di dalam ekonomi pasar. Kaum skolastik Spanyol di abad 16 mengatakan bahwa harga yang adil tak lain adalah harga pasar umum dan mereka umumnya mendukung filsafat laissez faire.
Selanjutnya pada era Reformation pada 16th century, ide tentang perdagangan bebas muncul yang kemudian diadopsi secara hukum oleh Hugo de Groot atau Grotius. Kebijakan ekonomi di Europe selama akhir Middle Ages dan awal Renaissance adalah memberlakukan aktivitas ekonomi sebagai barang yang ditarik pajak untuk para bangsawan dan gereja. Pertukaran ekonomi diatur dengan hukum feudal seperti hak untuk mengumpulkan pajak jalan begitu juga pengaturan asosiasi pekerja (guild) dan pengaturan religious dalam masalah penyewaan. Kebijakan ekonomi seperti itu didesain untuk mendorong perdagangan pada wilayah tertentu. Karena pentingnya kedudukan sosial, aturan-aturan terkait kemewahan dijalankan, pengaturan pakaian dan perumahan meliputi gaya yang diperbolehkan, material yang digunakan dan frekuensi pembelian bagi masing-masing kelas yang berbeda.
Niccolò Machiavelli dalam karyanya The Prince adalah penulis pertama yang menyusun teori kebijakan ekonomi dalam bentuk nasihat. Dia melakukannya dengan menyatakan bahwa para bangsawan dan republik harus membatasi pengeluarannya, dan mencegah penjarahan oleh kaum yang punya maupun oleh kaum kebanyakan. Dengan cara itu maka negara akan dilihat sebagai “murah hati” karena tidak menjadi beban berat bagi warganya. Selama masa Early Modern period, mercantilists hampir dapat merumuskan suatu teori ekonomi tersendiri. Perbedaan ini tercermin dari munculnya negara bangsa di kawasan Eropa Barat yang menekankan pada balance of payments.
Tahap ini kerapkali disebut sebagai tahap paling awal dari perkembangan modern capitalism yang berlangsung pada periode antara abad 16th dan 18th, kerap disebut sebagai merchant capitalism dan mercantilism. Babakan ini terkait dengan geographic discoveries oleh merchant overseas traders, terutama dari England dan Low Countries; European colonization of the Americas; dan pertumbuhan yang cepat dari perdagangan luar negeri. Hal ini memunculkan kelas bourgeoisie dan menenggelamkan feudal system yang sebelumnya.
Merkantilisme adalah sebuah sistem perdagangan untuk profit, meskipun produksi masih dikerjakan dengan non-capitalist production methods. Karl Polanyi berpendapat bahwa capitalism belum muncul sampai berdirinya free trade di Britain pada 1830s.
Di bawah merkantilisme, European merchants, diperkuat oleh sistem kontrol dari negara, subsidies, and monopolies, menghasilkan kebanyakan profits dari jual-beli bermacam barang. Dibawah mercantilism, guilds adalah pengatur utama dari ekonomi. Dalam kalimat Francis Bacon, tujuan dari mercantilism adalah :
"the opening and well-balancing of trade; the cherishing of manufacturers; the banishing of idleness; the repressing of waste and excess by sumptuary laws; the improvement and husbanding of the soil; the regulation of prices…"
Diantara berbagai mercantilist theory salah satunya adalah bullionism, doktrin yang menekankan pada pentingnya akumulasi precious metals. Mercantilists berpendapat bahwa negara seharusnya mengekspor barang lebih banyak dibandingkan jumlah yang diimport sehingga luar negeri akan membayar selisihnya dalam bentuk precious metals. Mercantilists juga berpendapat bahwa bahan mentah yang tidak dapat ditambang dari dalam negeri maka harus diimport, dan mempromosikan subsidi, seperti penjaminan monopoli protective tariffs, untuk meningkatkan produksi dalam negeri dari manufactured goods.
Para perintis mercantilism menekankan pentingnya kekuatan negara dan penaklukan luar negeri sebagai kebijakan utama dari economic policy. Jika sebuah negara tidak mempunyai supply dari bahan mentahnnya maka mereka harus mendapatkan koloni darimana mereka dapat mengambil bahan mentah yang dibutuhkan. Koloni berperan bukan hanya sebagai penyedia bahan mentah tapi juga sebagai pasar bagi barang jadi. Agar tidak terjadi suatu kompetisi maka koloni harus dicegah untuk melaksanakan produksi dan berdagang dengan pihak asing lainnya.
Selama the Enlightenment, physiocrats Perancis adalah yang pertama kali memahami ekonomi berdiri sendiri. Salah satu tokoh yang terpenting adalah Francois Quesnay. Diagram ciptaannya yang terkenal, tableau economique, oleh kawan-kawannya dianggap sebagai salah satu temuan ekonomi terbesar setelah tulisan dan uang. Diagram zig-zag ini dipuji sebagai rintisan awal bagi pengembangan banyak tabel dalam ekonomi modern, ekonometrik, multiplier Keynes, analisis input-output, diagram aliran sirkular dan model keseimbangan umum Walras.
Tokoh lain dalam periode ini adalah Richard Cantillon, Jaques Turgot, dan Etienne Bonnot de Condillac. Richard Cantillon (1680-1734) oleh beberapa sejarawan ekonomi dianggap sebagai bapak ekonomi yang sebenarnya. Bukunya Essay on the Naturof Commerce ini General (1755, terbit setelah dia wafat) menekankan pada mekanisme otomatis dalam pasar yakni penawaran dan permintaan, peran vital dari kewirausahaan, dan analisis inflasi moneter “pra-Austrian” yang canggih yakni tentang bagaimana inflasi bukan hanya menaikkan harga tetapi juga mengubah pola pengeluaran.
Jaques Turgot (1727-81) adalah pendukung laissez faire, pernah menjadi menteri keuangan dalam pemerintahan Louis XVI dan membubarkan serikat kerja (guild), menghapus semua larangan perdagangan gandum dan mempertahankan anggaran berimbang. Dia terkenal dekat dengan raja meskipun akhirnya dipecat pada 1776. Karyanya Reflection on the Formation and Distribution of Wealth menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang perekonomian. Sebagai seorang physiocrats, Turgot membela pertanian sebagai sektor paling produktif dalam ekonomi. Karyanya yang terang ini memberikan pemahaman yang baik tentang preferensi waktu, kapital dan suku bunga, dan peran enterpreneur-kapitalis dalam ekonomi kompetetitif.
Etienne Bonnot de Condillac (1714-80) adalah orang yang membela Turgot di saat-saat sulit tahun 1775 ketika dia menghadapi kerusuhan pangan saat menjabat sebagai menteri keuangan. Codillac juga merupakan seorang pendukung perdagangan bebas. Karyanya Commerce and Government (terbit sebulan sebelum The Wealth of Nation, 1776) mencakup gagasan ekonomi yang sangat maju. Dia mengakui manufaktur sebagai sektor produktif, perdagangan sebagai representasi nilai yang tak seimbang dimana kedua belah pihak bisa mendapat keuntungan, dan mengakui bahwa harga ditentukan oelh nilai guna, bukan nilai kerja.
Tokoh lainnya, Anders Chydenius (1729–1803) menulis buku The National Gain pada 1765 yang menerangkan ide tentang kemerdekaan dalam perdagangan dan industri dan menyelidiki hubungan antara ekonomi dan masyarakat dan meletakkan dasar liberalism, sebelas tahun sebelum Adam Smith menulis hal yang sama namun lebih komprehensif dalamThe Wealth of Nations. Menurut Chydenius, democracy, kesetaraan dan penghormatan pada hak asasi manusia adalah jalan satu-satunya untuk kemajuan dan kebahagiaan bagi seluruh anggota masyarakat.
Mercantilism mulai menurun di Great Britain pada pertengahan 18th, ketika sekelompok economic theorists, dipimpin oleh Adam Smith, menantang dasar-dasar mercantilist doctrines yang berkeyakinan bahwa jumlah keseluruhan dari kekayaan dunia ini adalah tetap sehingga suatu negara hanya dapat meningkatkan kekayaannya dari pengeluaran negara lainnya. Meskipun begitu, di negara-negara yang baru berkembang seperti Prussia dan Russia, dengan pertumbuhan manufacturing yang masih baru, mercantilism masih berlanjut sebagai paham utama meskipun negara-negara lain sudah beralih ke paham yang lebih baru.
Pemikiran ekonomi modern biasanya dinyatakan dimulai dari terbitnya Adam Smith's The Wealth of Nations, pada 1776, walaupun pemikir lainnya yang lebih dulu juga memberikan kontribusi yang tidak sedikit. Ide utama yang diajukan oleh Smith adalah kompetisi antara berbagai penyedia barang dan pembeli akan menghasilkan kemungkinan terbaik dalam distribusi barang dan jasa karena hal itu akan mendorong setiap orang untuk melakukan spesialisasi dan peningkatan modalnya sehingga akan menghasilkan nilai lebih dengan tenaga kerja yang tetap. Smith's thesis berkeyakinan bahwa sebuah sistem besar akan mengatur dirinya sendiri dengan menjalankan aktivits-aktivitas masing-masing bagiannya sendiri-sendiri tanpa harus mendapatkan arahan tertentu. Hal ini yang biasa disebut sebagai "invisible hand" dan masih menjadi pusat gagasan dari ekonomi pasar dan capitalism itu sendiri.
Smith adalah salah satu tokoh dalam era Classical Economics dengan kontributor utama John Stuart Mill and David Ricardo. John Stuart Mill, pada awal hingga pertengahan abad 19th, berfokus pada "wealth" yang didefinisikannya secara khusus dalam kaitannya dengan nilai tukar obyek atau yang sekarang disebut dengan price.
Pertengahan abad 18th menunjukkan peningkatan pada industrial capitalism, memberi kemungkinan bagi akumulasi modal yang luas di bawah fase perdagangan dan investasi pada mesin-mesin produksi. Industrial capitalism, yang dicatat oleh Marx mulai dari pertigaan akhir abad 18th, menandai perkembangan dari the factory system of manufacturing, dengan ciri utama complex division of labor dan routinization of work tasks; dan akhirnya memantapkan dominasi global dari capitalist mode of production.
Hasil dari proses tersebut adalah Industrial Revolution, dimana industrialist menggantikan posisi penting dari merchant dalam capitalist system dan mengakibatkan penurunan traditional handicraft skills dari artisans, guilds, dan journeymen. Juga selam masa ini, capitalism menandai perubahan hubungan antara British landowning gentry dan peasants, meningkatkan produksi dari cash crops untuk pasar lebih daripada yang digunakan untuk feudal manor. Surplus ini dihasilkan dengan peningkatan commercial agriculture sehingga mendorong peningkatan mechanization of agriculture.
Peningakatan industrial capitalism juga terkait dengan penurunan mercantilism. Pertengahan hingga akhir abad sembilan belas Britain dianggap sebagai contoh klasik dari laissez-faire capitalism. Laissez-faire mendapatkan momentum oleh mercantilism di Britain pada 1840s dengan persetujuan Corn Laws dan Navigation Acts. Sejalan dengan ajaran classical political economists, dipimpin oleh Adam Smith dan David Ricardo, Britain memunculkan liberalism, mendorong kompetisi dan perkembangan market economy.
Pada abad 19th, Karl Marx menggabungkan berbagai aliran pemikiran meliputi distribusi sosial dari sumber daya, mencakup karya Adam Smith, juga pemikiran socialism dan egalitarianism, dengan menggunakan pendekatan sistematis pada logika yang diambil dari Georg Wilhelm Friedrich Hegel untuk menghasilkan Das Kapital. Ajarannya banyak dianut oleh mereka yang mengkritik ekonomi pasar selama abad 19th dan 20th. Ekonomi Marxist berlandaskan pada labor theory of value yang dasarnya ditanamkan oleh classical economists (termasuk Adam Smith) dan kemudian dikembangkan oleh Marx. Pemikiran Marxist beranggapan bahwa capitalism adalah berlandaskan pada exploitation kelas pekerja: pendapatan yang diterima mereka selalu lebih rendah dari nilai pekerjaan yang dihasilkannya, dan selisih itu diambil oleh capitalist dalam bentuk profit.
Pada akhir abad 19th, kontrol dan arah dari industri skala besar berada di tangan financiers. Masa ini biasa disebut sebagai "finance capitalism," dicirikan dengan subordination proses produksi ke dalam accumulation of money profits dalam financial system. Penampakan utama capitalism pada masa ini mencakup establishment of huge industrial cartels atau monopolies; kepemilikan dan management dari industry oleh financiers berpisah dari production process; dan pertumbuhan dari complex system banking, sebuah equity market, dan corporate memegang capital melalui kepemilikan stock. Tampak meningkat juga industri besar dan tanah menjadi subject of profit dan loss oleh financial speculators. Akhir abad 19th juga muncul "marginal revolution" yang meningkatkan dasar pemahaman ekonomi mencakup konsep-konsep seperti marginalism dan opportunity cost. Lebih lanjut, Carl Menger menyebarkan gagasan tentang kerangka kerja ekonomi sebagai opportunity cost dari keputusan yang dibuat pada margins of economic activity.
Akhir 19th dan awal 20th capitalism juga disebutkan segagai era "monopoly capitalism," ditandai oleh pergerakan dari laissez-faire phase of capitalism menjadi the concentration of capital hingga mencapai large monopolistic atau oligopolistic holdings oleh banks and financiers, dan dicirikan oleh pertumbuhan corporations dan pembagian labor terpisah dari shareholders, owners, dan managers.
Perkembangan selanjutnya ekonomi menjadi lebih bersifat statistical, dan studi tentang econometrics menjadi penting. Statistik memperlakukan price, unemployment, money supply dan variabel lainnya serta perbandingan antar variabel-variabel ini, menjadi sentral dari penulisan ekonomi dan menjadi bahan diskusi utama dalam lapangan ekonomi. Pada quarter terakhir abad 19th, kemunculan dari large industrial trusts mendorong legislation di U.S. untuk mengurangi monopolistic tendencies dari masa ini. Secara berangsur-angsur, U.S. federal government memainkan peranan yang lebih besar dalam menghasilkan antitrust laws dan regulation of industrial standards untuk key industries of special public concern. Pada akhir abad 19th, economic depressions dan boom and bust business cycles menjadi masalah yang tak terselesaikan. Long Depression dari 1870s dan 1880s dan Great Depression dari 1930s berakibat pada nyaris keseluruhan capitalist world, dan menghasilkan pembahasan tentang prospek jangka panjang capitalism. Selama masa 1930s, Marxist commentators seringkali meyakinkan kemungkinan penurunan atau kegagalan capitalism, dengan merujuk pada kemampuan Soviet Union untuk menghindari akibat dari global depression.
Macroeconomics mulai dipisahkan dari microeconomics oleh John Maynard Keynes pada 1920s, dan menjadi kesepakatan bersama pada 1930s oleh Keynes dan lainnya, terutama John Hicks. Mereka mendapat ketenaran karena gagasannya dalam mengatasi Great Depression. Keynes adalah tokoh penting dalam gagasan pentingnya keberadaaan central banking dan campur tangan pemerintah dalam hubungan ekonomi. Karyanya "General Theory of Employment, Interest and Money" menyampaikan kritik terhadap ekonomi klasik dan juga mengusulkan metode untuk management of aggregate demand. Pada masa sesudah global depression pada 1930s, negara memainkan peranan yang penting pada capitalistic system di hampir sebagian besar kawasan dunia. Pada 1929, sebagai contoh, total pengeluaran U.S. government (federal, state, and local) berjumlah kurang dari sepersepuluh dari GNP; pada 1970s mereka berjumlah mencapai sepertiga. Peningkatan yang sama tampak pada industrialized capitalist economies, sepreti France misalnya, telah mencapai ratios of government expenditures dari GNP yang lebih tinggi dibandingkan United States. Sistem economies ini seringkali disebut dengan "mixed economies."
Selama periode postwar boom, penampakan yang luasa dari new analytical tools dalam social sciences dikembangkan untuk menjelaskan social dan economic trends dari masa ini, mencakup konsep post-industrial society dan welfare statism. Phase dari capitalism sejak awal masa postwar hingga 1970s memiliki sesuatu yang kerap disebut sebagai “state capitalism”, terutama oleh Marxian thinkers.
Banyak economists menggunakan kombinasi dari Neoclassical microeconomics dan Keynesian macroeconomics. Kombinasi ini, yang sering disebut sebagai Neoclassical synthesis, dominan pada pengajaran dan kebijakan publik pada masa sesudah World War II hingga akhir 1970s. pemikiran neoclassical mendapat bantahan dari monetarism, dibentuk pada akhir 1940s dan awal 1950s oleh Milton Friedman yang dikaitkan dengan University of Chicago dan juga supply-side economics.
Pada akhir abad 20th terdapat pergeseran wilayah kajian dari yang semula berbasis price menjadi berbasis risk, keberadaan pelaku ekonomi yang tidak sempurna dan perlakuan terhadap ekonomi seperti biological science, lebih menyerupai norma evolutionary dibandingkan pertukaran yang abstract. Pemahaman akan risk menjadi signifikan dipandang sebagai variasi price over time yang ternyata lebih penting dibanding actual price. Hal ini berlaku pada financial economics dimana risk-return tradeoffs menjadi keputusan penting yang harus dibuat.
Masa postwar boom yang lama berakhir pada 1970s dengan adanya economic crises experienced mengikuti 1973 oil crisis. “stagflation” dari 1970s mendorong banyak economic commentators politicians untuk memunculkan neoliberal policy diilhami oleh laissez-faire capitalism dan classical liberalism dari abad 19th, terutama dalam pengaruh Friedrich Hayek dan Milton Friedman. Terutama, monetarism, sebuah theoretical alternative dari Keynesianism yang lebih compatible dengan laissez-faire, mendapat dukungan yang meningkat increasing dalam capitalist world, terutama dibawah kepemimpinan Ronald Reagan di U.S. dan Margaret Thatcher di UK pada 1980s.
Area perkembangan yang paling pesat kemudian adalah studi tentang informasi dan keputusan. Contoh pemikiran ini seperti yang dikemukakan oleh Joseph Stiglitz. Masalah-masalah ketidakseimbangan informasi dan kejahatan moral dibahas disini seperti karena mempengaruhi modern economic dan menghasilkan dilema-dilema seperti executive stock options, insurance markets, dan Third-World debt relief.



1 komentar:

  1. Custom Tinted Sunglasses - Titanium Accessories
    Custom Tinted Sunglasses titanium or ceramic flat iron · Tinted Sunglasses · Tinted where is titanium found Sunglasses · mens titanium watches Tinted titanium daith jewelry Sunglasses · Tinted Sunglasses · Tinted Sunglasses · citizen titanium dive watch Tinted Sunglasses

    BalasHapus